Bank Century; Kesalahan Kebijakan Tetap Bisa Dipidana

Sanksi pidana tetap bisa dilakukan terhadap kesalahan dalam membuat kebijakan. Namun, hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap pembuat kebijaksanaan.

Demikian keterangan ahli hukum tata negara, yang juga mantan hakim konstitusi, HAS Natabaya, saat jadi saksi ahli di depan Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat tentang Hak Angket Bank Century, Senin (25/1) di Jakarta. Natabaya memberi keterangan bersama ahli hukum ekonomi dari Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk.

Natabaya mencontohkan jalur khusus bus transjakarta untuk membedakan antara kebijakan dan kebijaksanaan. Pembuatan jalur itu adalah kebijakan. ”Kebijaksanaan itu jika ada polisi yang memperbolehkan kendaraan melewati jalur itu untuk mengurangi kemacetan. Kebijaksanaan polisi itu hanya sesaat dan tidak dapat dihukum,” ujarnya.

”Pengambil kebijaksanaan tak bisa dihukum jika tindakan itu dilakukan masih dalam koridor,” kata T Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Pansus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang juga guru besar Administrasi Negara dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Koridor itu, harus ada motivasi, harus ada kompetensi, tak menguntungkan diri sendiri atau kelompok, dan tak melanggar hukum.

Gayus menegaskan hal ini terkait pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agar jangan mengkriminalisasi kebijakan pemerintah, terutama terkait pengucuran dana talangan (bail out) Bank Century (Kompas, 25/1). Ia menambahkan, Pansus juga sudah memutuskan menyita data terkait pengambilan kebijakan bail out, terutama dokumen dan transkrip rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada 13-19 November 2008.

Erman mengatakan, kebijaksanaan yang dilakukan dengan mengubah peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. ”Pengadilan tak dapat menilai kebijaksanaan penguasa, kecuali ada perbuatan melawan hukum oleh penguasa,” tuturnya.

Ia menambahkan, kebijaksanaan juga diambil untuk menyikapi keadaan yang tak dapat diduga lebih dahulu atau kondisi darurat. Misalnya, dana talangan Century dimaksudkan untuk menyelamatkan ekonomi nasional.

Namun, Natabaya mempertanyakan kebijaksanaan dana talangan tidak keluar atau keluar dari kebijakan yang ditentukan. ”UUD 1945 memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang lalu menjadi salah satu dasar hukum bailout Bank Century. Jadi, Presiden punya hak subyektif. Namun, ia harus memerhatikan situasi dan perhitungannya,” katanya.

”Kapan kebijaksanaan dinilai merupakan penyalahgunaan wewenang?” tanya Andi Rahmat, anggota Pansus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.

”Setiap organisasi ada aturan. Misalnya, pada aturan DPR diberi kekuasaan membentuk UU dan punya hak angket. DPR tak boleh keluar dari itu. Kalau keluar, berarti penyalahgunaan wewenang,” tutur Natabaya.

Secara terpisah, mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, Senin, di Istana Negara, Jakarta, menjelaskan, kebijakan yang diambil pemerintah tidak bisa dikriminalkan meski sebagian kalangan di luar pemerintah menilai kebijakan itu tak tepat. Terkait Bank Century, wajar saja ada perbedaan pandangan tentang dana talangan tersebut adalah langkah paling tepat untuk mencegah krisis perekonomian nasional atau tidak. ”Pemerintah menilai kebijakan itu tepat, sementara beberapa anggota DPR dan cendekiawan mengatakan itu tidak tepat. Perbedaan pandangan itu wajar, tetapi tak bisa dipidanakan,” ujar Adnan.

Penjelasan Presiden
Dalam rapat pimpinan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, Presiden menjelaskan latar belakang keputusan pemerintah untuk menalangi Bank Century, yang dinilai mengalami krisis likuiditas. Presiden menjelaskan pula soal kesepakatan pemimpin tujuh lembaga negara terhadap sistem ketatanegaraan, khususnya dalam pemahaman terhadap mosi tidak percaya yang harus sesuai dengan UUD 1945.

Presiden menyatakan, penyelamatan pada Bank Century adalah agar tak berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional. ”Kita harus melihat konteks, melihat circumstances, keadaan waktu itu seperti apa. Jangan membayangkan seperti sekarang, Januari 2010, ketika Pansus sedang bekerja,” ungkapnya.

Presiden menambahkan, ”Mari kita bawa memori kita akhir tahun 2008. Baca kembali surat kabar, majalah, statement, simak kembali, putar kembali rekaman televisi. Putar kembali rekaman global, termasuk Asia, Indonesia pada bulan-bulan itu.”

Menurut Presiden, hal ini penting agar semua pihak dapat memiliki pemahaman yang sama. ”Kita juga harus jernih, kontekstual, dan lurus untuk menyelidiki dan mencari tahu seluk beluk dibentukya kebijakan. Bisa saja ditanyakan apa ada korupsi, benturan kepentingan. Jika ada, kebijakan bisa benar, tetapi ada masalah, itu penyimpangan. Namun, manakala tak dapat dibuktikan dan tidak terbukti, misalnya, setelah Pansus DPR nanti berakhir, kita harus kembali kepada tujuannya,” ujarnya.

Dalam keterangannya, Natabaya dan Erman berbeda pendapat soal masa berlaku Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Natabaya berpendapat, perppu itu tidak berlaku sejak DPR tidak menyetujui pada 18 Desember 2008, sedangkan Erman menyatakan, perppu itu tidak berlaku sejak 30 September 2009. (mzw/day/nwo/har)

Sumber: Kompas, 26 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan