Bangkit Melawan Korupsi
DARI catatan sejarah, kita membaca proses berdirinya Budi Utomo (Boedi Oetomo) sangatlah sederhana. Deklarasinya tahun 1908 jauh dari hiruk-pikuk kemewahan, dukungan, spanduk, ataupun baliho. Organisasi itu lahir dari pertemuan dan diskusi di perpustakaan Stovia (sekolah kedokteran pada zaman kolonial) oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman.
Mereka memikirkan penderitaan masyarakat, ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan perilaku pongah penguasa kolonial, kemudian merumuskannya guna memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu.
Kini, sebagian saudara kita juga masih hidup dalam penderitaan, kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan, yang antara lain disebabkan oleh korupsi. Sedemikian melembaganya sehingga Indonesia belum beranjak secara signifikan dari peringkat nilai korupsi berdasarkan indeks persepsi korupsi (IPK) dalam 5 tahun terakhir. Pemberantasan korupsi kerapkali dijadikan jargon politik kekuasaan, sementara pada bagian lain menjadi program membangun tata pemerintahan yang baik melalui gerakan reformasi tata pemerintahan (governance reform). Jadi walaupun perangkat hukum dan beberapa lembaga penegak hukum sudah dibentuk, faktanya pemberantasan korupsi belum berjalan efektif karena sifat korupsi sudah institutionalizing.
Mencermati luasnya dampak dan sifatnya yang sangat merusak, sistemik serta melembaga maka korupsi dinyatakan sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) sehingga perlu penanggulangan yang luar biasa (extraordinary enforcement) dan tindakan yang luar biasa pula (extraordinary measures). Artinya pemberantasannya harus memakai cara-cara di luar kebiasaan: membebaskan dirinya dari upaya-upaya hukum biasa (text) menuju hukum luar biasa (context) dengan tanpa meninggalkan content teksnya.
Kekuatan Progresif
Meski pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam mencegah, menekan, dan menuntaskan korupsi, kenyataannya pemberantasan korupsi belum mendapatkan apresiasi signifikan dari aparat penegak hukum, yang pada gilirannya belum mampu memberikan efek jera bagi koruptor berikutnya. Monitoring KP2KKN misalnya, di Jateng selama 2010 ditemukan 174 kasus korupsi, dengan kerugian negara Rp 192,8 miliar lebih.
Di Jateng, tidak ada satu daerah pun steril dari korupsi, dan hal itu menandakan perilaku korupsi ini telah menjangkiti dan melekat pada sendi-sendi pemerintahan. Ironisnya dalam kasus korupsi itu yang diputus bebas atau lepas mencapai lebih dari 50%.
Melihat meluasnya perilaku korupsi ini, hampir tidak mungkin apabila upaya pemberantasannya hanya mengandalkan pendekatan hukum pidana an-sich dan menaruh seluruh beban berat tersebut di pundak aparatur penegak hukum. Karena itu, Hari Kebangkitan Nasional yang beberapa hari lalu kita peringati menjadi relevan untuk dijadikan momentum kebangkitan melawan korupsi.
Contohnya, di Sumatera Utara ada komunitas PNS antikorupsi. Jika hal ini ditiru oleh komunitas PNS di tempat lain maka optimisme terbangunnya good governance bukanlah pepesan kosong, dan itu merupakan bukti nyata pengejawantahan semangat kebangkitan nasional. Diharapkan nanti ada deklarasi polisi antikorupsi, tentara antikorupsi, jaksa antikorupsi, hakim antikorupsi, pengusaha antikorupsi, pemuda antikorupsi dan komunitas lainnya di tingkat desa/kelurahan, kecamatan dengan fokus pantauannya lebih spesifik.
Satjipto Rahardjo (2009) mewanti-wanti berhimpunlah kekuatan progresif dalam pemberantasan korupsi untuk menyelamatkan dan menyejahterakan manusia. Pada abad 18 Inggris adalah negara paling korup tetapi kini bersih dan tata kelola pemerintahannya teratur. Contoh lain adalah Hong Kong, negeri koloni yang harus berjuang 20 tahun melawan korupsi sehingga menjadi baik dan tertib.
Mengutip ungkapan hakim Taverne, berikan aku jaksa dan hakim yang baik meski dengan aturan hukum yang sekalipun buruk maka akan terlahir putusan yang adil dan membahagiakan manusia. Jika kekuatan progresif bangkit bersama melawan korupsi maka suatu saat peringkat korupsi negeri kita bisa sejajar dengan Singapura. (10)
Mahfudz Ali, doktor Ilmu Hukum Undip, Koordinator KP2KKN Jateng
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 26 Mei 2011