Banalitas Kejahatan Korupsi
Kasus tindak pidana di tubuh KPU mencapai babak baru: evolusi dari dugaan penyuapan menjadi korupsi. Dimulai dengan ditangkapnya Mulyana W Kusumah oleh KPK dengan dugaan penyuapan terhadap anggota BPK, Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin pun ditahan dan statusnya sudah menjadi tersangka kasus korupsi.
Kendati petaka kejahatan korupsi sudah begitu mewabah di republik ini, namun yang terjadi akhir-akhir ini amat mengejutkan. Mengejutkan karena korupsi juga dilakukan anggota KPU yang kebanyakan anggotanya direkrut dari kalangan akademisi dan terdidik (intelektual). Banyak kalangan bertanya-tanya dan tidak habis pikir, bagaimana mungkin kalangan yang amat terdidik dan kemudian menjabat birokrasi (anggota) KPU bisa terlibat korupsi? Pertanyaan lebih lanjut, apakah tidak ada gunanya kapasitas intelektual mereka dalam menolak semua bentuk korupsi? Mengapa kemampuan berpikir kritis itu seakan tumpul saat godaan korupsi datang? Bagaimana kita bisa memahami dan mengerti terhadap perilaku kejahatan semacam ini?
PERILAKU kejahatan, menurut seorang filsuf perempuan, Hannah Arendt, bukanlah radikal, tetapi banal (dangkal). Berbagai peristiwa kejahatan besar pada satu abad terakhir ini digoreskan dengan tajam oleh Arendt dalam buku Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1977) sebagai tindakan kejahatan yang tidak dipikirkan secara mendalam. Dalam buku itu Arendt memberi contoh tindakan kejahatan yang dilakukan Adolf Eichmann-sebagai sosok birokrasi di masa rezim Hitler.
Eichmann adalah sosok yang terdidik, intelektual, dan tidak punya kebencian terhadap orang Yahudi, namun yang mengherankan ia bisa melakukan tindakan yang amat kejam (dengan pengaturan secara sistematis dan terorganisasi) terhadap orang-orang Yahudi untuk dikirim ke kamp-kamp pembantaian. Apakah Eichmann tidak lagi punya kemampuan berpikir kritis? Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada kalangan intelektual yang diduga terlibat kejahatan korupsi. Apakah mereka tidak lagi punya kemampuan berpikir kritis?
Saya cenderung menyejajarkan perilaku Eichmann dengan kalangan intelektual kita yang melakukan tindak korupsi. Mereka adalah sosok manusia modern yang larut dalam keseharian, dengan pekerjaan birokrasi, sehingga lupa untuk berpikir kritis. Padahal, modal untuk berpikir kritis ada pada mereka. Berpikir kritis sebenarnya bisa menjadi benteng terakhir menolak tiap kejahatan. Ketika seseorang tidak lagi kritis, ia bisa jatuh pada banalitas kejahatan.
Banalitas kejahatan, bagi Arendt, bukan suatu konsepsi teoretis, tetapi sebagai fenomena faktual dan konkret. Banalitas kejahatan bukan suatu tindakan kejahatan luar biasa, tetapi tindakan yang dianggap biasa oleh pelakunya. Contohnya adalah pelaku penyuapan yang beralibi bahwa persoalan suap sudah merupakan persoalan wajar karena realitas memang sudah demikian.
Banalitas kejahatan merupakan serangkaian tindakan kejahatan yang tidak bisa dilacak pada gangguan kejiwaan yang diidap pelaku. Para pelaku banalitas kejahatan adalah orang yang normal-sehat secara psikologis. Namun, patologi banalitas kejahatan adalah tumpulnya nurani dan kedangkalan berpikir.
Dalam kasus yang dialami Mulyana W Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin misalnya, mereka tidak berani mengambil keputusan berdasar evaluasi pikiran kritis dan nurani. Padahal, nurani dibutuhkan sebagai pembimbing dalam memutuskan tindakan. Sebuah tindakan sudah semestinya diuji dengan pikiran kritis agar tahu bahwa yang akan diputuskan merupakan perbuatan baik atau jahat. Namun justru yang kita dapati adalah jawaban yang banal. Misalnya berdalih bahwa ia sedang menjalankan perintah atasan atau tidak tahu dengan apa yang sudah ia tanda tangani. Inilah gejala ketidakmampuan berpikir mendalam dan mengevaluasi perbuatan secara kritis yang mendasari banalitas kejahatan.
Menurut Arendt, sekiranya kejahatan itu radikal, suatu tindakan pasti sudah dipikirkan mendalam (direfleksikan). Kejahatan korupsi, misalnya, tidak bersifat radikal (justru banal) karena dan terutama ditandai ketidakmampuan berpikir kritis. Artinya, meski seseorang itu terdidik, namun tidak bisa menggunakan pikiran kritisnya dalam memutuskan tindakan. Akibatnya para pelaku banalitas kejahatan menjadi manusia satu dimensi. Yang lupa dimensi berpikir kritis, dimensi lain yang sebenarnya dimiliki tiap orang. Mereka mengabaikan upaya kritis untuk mengevaluasi tindakan lantaran sudah larut dalam pekerjaan sehari-hari.
TATKALA kejahatan korupsi bersifat banal, maka berbahaya sekali. Kejahatan korupsi menjadi perkara lumrah sehari-hari dan dianggap persoalan biasa. Tak ada keraguan eksistensial lagi bagi pelakunya dalam menimbang-nimbang akan korupsi atau tidak. Nurani tidak terketuk lagi dan moralitas menemui ajal. Sebuah dukacita yang menyesakkan jika banalitas kejahatan seperti korupsi menjadi budaya bangsa.
Budaya modern telah membuat manusia kian cerdas dalam masalah instrumentalis, namun pada saat sama juga membuat manusia kian jahat dan tumpul nurani karena ketamakan. Karena itu, pencegahan yang bisa dilakukan adalah kita harus tidak lengah dan senantiasa mengandalkan pikiran kritis serta nurani dalam tindakan sehari-hari. Agar banalitas tidak menjadi budaya kita.
Banalitas kejahatan terjadi karena seseorang yang tidak berani berpikir kritis dan mengambil keputusan berdasar nuraninya. Orang harus berani bertanya kepada nurani dan berpikir kritis dalam memutuskan tindakan sehingga manusia punya kemampuan mengevaluasi diri dan tidak terjebak banalitas kejahatan.
Semoga kasus korupsi yang terjadi bisa menjadi nisan pelajaran yang berharga agar kita selalu berpikir kritis dan selalu bertanya kepada hati nurani.(Eko Wijayanto Pengajar Ilmu Filsafat Program Pascasarjana Universitas Indonesia)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 17 Juni 2005