Balada Tukang Pos Memburu Pencuci Uang
Ada julukan tepat untuk menyebut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yakni tukang pos.
Ini karena fungsi PPATK hanya bertugas menyerahkan laporan transaksi berbau pencucian uang ke polisi atau kejaksaan. Per 25 Januari 2005, ada 440 transaksi memenuhi kriteria itu yang sampai ke tangan polisi atau jaksa, tapi tak satu pun yang sampai ke pengadilan. Tak pernah terdengar ada jaksa di sebuah pengadilan menuntut seseorang karena mencuci uang.
Sebetulnya, menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita yang ikut merumuskan konsepnya, sebelum resmi didirikan pada 17 April 2002, lembaga ini akan diberi nama Komite Nasional Antipencucian Uang. Namun, komite di sana dianggap terlalu lebar kekuasaannya. Maka dengan kesepakatan di sana-sini, nama itu diketok menjadi pusat pelaporan. Ya, sudah, jadi tukang pos saja lu kerjaannya, ujar Romli terbahak.
Nama pusat pelaporan membuat lembaga itu tak punya satu kewenangan utama: menyidik. Padahal, dengan disokong Undang-Undang Nomor 25/2003 tentang pencucian uang, PPATK punya peluang meringkus dengan cepat seseorang yang dicurigai mencuci uang. Di sana diatur, PPATK bisa mengaudit sebuah lembaga keuangan dengan mengabaikan ketentuan kerahasiaan bank--sebuah modal yang ampuh.
Undang-undang itu tak sedikit pun memberi celah seseorang melarikan duit haram. Penyedia jasa keuangan hanya diberi waktu tiga hari menyampaikan laporan sejak menemukan transaksi berbau money laundering. Pengertian pencucian uang sendiri sudah didefinisikan dengan amat sederhana. Siapa saja yang menyimpan, menyembunyikan, memindahkan, menukar duit hasil kejahatan sudah masuk kategori pencucian uang.
Masih ada memang bolong di sana-sini. Seperti kemungkinan pemindahan duit haram jika sebuah penyedia jasa keuangan kongkalikong dengan penjahat lewat penyembunyian transaksinya. Kepatuhan itu memang masih minim. Dari sekitar seribu lebih penyedia jasa tak sampai 10 persen yang sudah patuh menyampaikan transaksinya ke PPATK. Belum lagi kewajiban melaksanakan apa yang disebut prinsip know your customer.
Ini pula yang menyebabkan Indonesia selama tiga tahun lebih bercokol dalam daftar hitam negara pencuci uang di gugus tugas internasional antipencucian uang (FATF), sebelum dicoret dua pekan lalu. Indonesia satu kelompok dengan Nauru, Myanmar, Cook Island, dan negara kecil lainnya yang terkenal sebagai surga mencuci uang.
Menurut Wakil Ketua PPATK I Gde Made Sadguna, dalam soal pemberantasan cuci uang, Indonesia kalah jauh dibanding Filipina. Negeri seribu kudeta itu mencontoh Thailand ketika membentuk lembaga semacam PPATK. Di sana PPATK dilengkapi dengan kewenangan membekukan rekening pencuci uang, menyidik, menangkap sampai menyerahkan pelakunya ke pengadilan.
Sadguna mengakui bahwa tak adanya kewenangan menyidik itu membuat PPATK jadi ompong. Kami ini jadi seperti pedagang bunga, katanya, buahnya tak pernah bisa dipetik. Ia menambahkan, di negara-negara yang telah lama dicap bersih, PPATK-nya dilengkapi dengan pelbagai kewenangan itu.
Tumpulnya taring PPATK ini sebenarnya sudah diakali dengan dibentuknya Komite Nasional Koordinasi Pemberantasan Pencucian Uang akhir 2003 lalu. Komite yang diketuai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan itu beranggotakan hampir semua menteri dan bertanggung jawab langsung ke presiden.
Romli bercerita, dibentuknya komite ini ditujukan untuk meminta Kepala Polri atau Jaksa Agung menuntaskan kasus-kasus pencucian uang yang tak kunjung sampai ke pengadilan. Prakteknya, komite ini pun tumpul dan tak pernah terdengar ada keputusannya yang menggembirakan.
Tak lengkapnya hukum di Indonesia dalam menangani pencucian uang, membuat Romli bersikap dingin dengan kabar baik yang berembus awal pekan lalu. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyambut tawaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membuka kembali pembicaraan traktat ekstradisi.
Selama ini, ketiadaan traktat itu menyebabkan puluhan koruptor eksodus--lalu mencuci uang--ke negeri jiran itu dan leluasa berongkang kaki. Menurut Romli, langkah politis yang ditempuh SBY sebagai salah strategi. Seharusnya, kata dia, sebelum langkah itu ditempuh, pemerintah menyiapkan dulu Undang-Undang Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura dan pelbagai perangkat administrasi lainnya.
Penolakan Singapura selama 30 tahun lebih membicarakan soal ini tak lepas dari selalu belum siapnya Indonesia ketika mengajak duduk satu meja. Perbedaan sistem hukum kedua negara, kata Romli, bukan alasan utama Singapura selalu menolak tawaran Indonesia. Selain alasan ekonomis, tentu saja.
Pemerintah tak becermin pada perburuan aset pengemplang bantuan likuiditas Bank Indonesia, Hendra Rahardja, di Australia dua tahun lalu. Selain terikat ekstradisi, Hendra ketika diburu sudah divonis penjara seumur hidup. Adanya hukuman tetap itu membuat Australia berbaik hati mengurus pengembalian aset Hendra yang terindikasi pencucian uang senilai Rp 4 miliar.
Jika ekstradisi pun nantinya sukses diteken Singapura dan Indonesia, perangkat itu tak serta-merta memuluskan polisi menyeret pelaku pencucian uang. Menurut Sadguna, sebelum seseorang divonis bersalah, pemerintah negara yang dijadikan tempat pelarian pencuci uang tak akan memprosesnya.
Dan vonis pengadilan tak mungkin terjadi jika sejak awal sebuah kasus pencucian uang diselewengkan menjadi kejahatan lain. Proses penanganan yang cepat dan tepat hanya mungkin terjadi jika lembaga yang khusus mengurusnya tidak cuma berfungsi seperti tukang pos. bagja hidayat
Sumber: Koran Tempo, 21 Februari 2005