Balada Khairiansyah
Kebenaran telah menjadi barang langka. Pejuang kebenaran lebih langka lagi. Karena itu, ketika Khairiansyah, makhluk langka tersebut, hadir di tengah-tengah deru perasaan asing mengenai kebenaran, sebagian kalangan tergelincir menyoroti ulahnya sebagai manifestasi pencarian popularitas.
Memperjuangkan kebenaran tidak identik lagi dengan
menegakkan supremasi hukum. Kebenaran adalah utopia.
Dan, terlalu miris untuk berharap bahwa hukum akan
mungkin bisa difungsikan menggapai utopia tersebut. Dalam keyakinan distortif semacam itu, Khairiansyah, sang pejuang tersebut, berusaha membumikan kembali kebenaran.
Akibatnya, jangankan masyarakat awam, Mulyana W. Kusumah tidak terpukau menyaksikan bahwa Khairiansyah telah gemilang menggapai idealisme yang Mulyana gembar-gemborkan selama ini.
Ironis, Mulyana yang nyata-nyata kadung diidentikkan s
ebagai penjunjung Dewi Yustisia itu malah menggugat Khairiansyah dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Birokrasi ditegakkan untuk mempermudah aktivitas manusia. Bukan sebaliknya, manusia harus menyesuaikan diri dengan birokrasi. Di tengah kesimpang-siuran paradigma birokrasi yang menggurita, Khairiansyah, pegawai negeri (baca: birokrat) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, mencoba mengajukan antitesis cerdas terhadap citra mekanistis, tuna-inisiatif, dan antidiskresi yang melekat pada para birokrat negeri ini.
Hasilnya getir, dia tidak dinilai sebagai pengabdi negeri yang baik dan pantas diteladani. Oleh birokrat atasannya, Khairiansyah dinistakan. Oleh Mulyana selaku figur lembaga swadaya masyarakat, dia dianggap memiliki motif yang setali tiga uang dengan para birokrat umumnya. Yakni, birokrat pemeras yang mencari keuntungan pribadi melalui statusnya sebagai aparatur negara.
Benar atau salah merupakan urusan orang-orang besar. Merekalah yang merumuskan, melaksanakan, sekaligus menilai. Tak ada kewenangan sedikit pun bagi orang kecil untuk bersentuhan dengan perkara benar atau salah.
Dengan kata lain, tidak akan ada pemahaman, apalagi kemampuan, yang mampu dimiliki orang-orang kecil atas hal benar dan salah. Karena itu, ketika Khairiansyah, representasi orang kecil tersebut, tampil penuh siasat membangun demarkasi yang tegas antara haq dan bathil, publik justru mengecapnya sebagai individu yang tidak tahu diri.
Kampungan dan setumpuk cibiran lainnya dimuntahkan kepada Khairiansyah; menegaskan kepongahan orang-orang besar saat menyaksikan medan permainannya direcoki tamu tak diundang.
Pada saat yang sama, pejabat tinggi tidak lagi merasa diharuskan mengekspresikan emosinya ke dalam cara-cara yang penuh gezah tanpa kehilangan kekuatan makna. Teguran tajam kepada bawahan adalah wajar, bahkan merupakan wujud pertanggungjawaban si atasan atas tindak tanduk bawahannya.
Namun, ketika amarah sang atasan dipertontonkan ke p
elataran masal, apalagi ketika si pejabat sama sekali belum berbicara langsung dengan bawahannya, publik tidak akan lagi melihat unsur akuntabilitas di balik luapan amarah tersebut.
Saat pembuncahan emosi lewat media massa sudah dianggap biasa, Khairiansyah, objek kemarahan si pejabat tinggi itu, tidak memiliki daya apa pun untuk membalas atau -setidaknya- memberikan keterangan sebagai wujud akuntabilitas kepada atasannya. Dia memilih diam seolah membenarkan ungkapan berani karena benar, takut karena salah.
Orang seperti Khairiansyah jelas dibutuhkan negeri ini.
Dengan masuk ke dalam jajaran Badan Pemeriksa Keuangan, terletak di pundaknya sebuah kewenangan formal untuk merealisasikan misi membasmi tikus hingga ke sarang-sarangnya. Ini adalah misi besar. Luar biasa besar.
Alhasil, tidak cukup hanya satu Khairiansyah untuk berhasil mencapai misi tersebut. Agar paripurna necessary dan sufficient, harus ada Khairiansyah-Khairiansyah lain dari sesama institusi penegak hukum. Sehingga, berkumpullah sekelompok orang cerdas, berani, tangkas, idealis, dan masih belia ke dalam barisan the untouchables.
Problemnya, dengan sistem pembinaan sumber daya manusia seperti yang berlaku saat ini, institusi manakah yang bisa diandalkan melahirkan Khairiansyah-Khairiansyah sejenis?
Mungkin ada banyak Khairiansyah potensial di kantor-kantor pemerintah. Tapi, ada terlalu banyak pengooptasian dan proses learned helplessness yang harus mereka tanggulangi dulu di kantornya sendiri.
Atau, barangkali Khairiansyah lebih pantas mengaktualisasikan kediriannya melalui organisasi-organisasi swadaya nonpemerintah. Kata barangkali kiranya perlu digarisbawahi.
Sebab, Mulyanagate sudah menjadi bukti telanjang bahwa tidak ada seorang pun, termasuk mereka yang berkarir sebagai aktivis LSM, yang benar-benar imun dari syahwat membusukkan negeri.
Jadi, berhati-hatilah, Khairiansyah! Sungguh manusiawi apabila engkau merasa terjepit, bahkan ciut nyali, saat ini. Akhir kasus ini bagi dirimu, happy ending atau sad ending, akan menjadi tolok ukur keberadaban bangsa ini.
Wallaahu a