Balada Demokrat
Untuk kedua kalinya Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat (PD), mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nazaruddin yang kabur ke Singapura kembali berkelit bahwa dia akan memenuhi panggilan KPK jika kesehatannya sudah pulih.Ke mana arah kasus ini dan apa dampaknya bagi PD?
Sulit dipungkiri bahwa partai pemenang Pemilu Legislatif 2009 ini sesungguhnya tengah “gamang”,tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan terkait dugaan keterlibatan Nazaruddin, baik dalam kasus dugaan suap proyek wisma atlet SEA Games di Palembang maupun kasus suap terhadap Sekretaris Jenderal Komisi Konstitusi Janedjri M Gaffar.
Selain itu,PD juga gamang,apakah sebaiknya Nazaruddin kembali ke Tanah Air memenuhi panggilan KPK, atau membiarkannya tetap bersembunyi di Singapura seperti berlangsung saat ini.
Sumber kegamangan PD bukan hanya karena ancaman Nazaruddin yang hendak membongkar “borok”partai,melainkan juga khawatir jika sebagian borok PD tersebut terkait secara langsung ataupun tidak langsung dengan figur sentral partai seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan keluarga Cikeas.
Soalnya, bukan tidak mungkin sosok temperamental seperti Nazaruddin akan “bernyanyi” se-suka hati jika tidak ada garansi partai untuk melindungi dan menyelamatkannya dari jerat hukum.
Problematik Demokrat
Alih-alih memenuhi panggilan KPK,dari Singapura Nazaruddin justru mengeluarkan “peluru” baru dengan menyebut Angelina Sondakh (PD), Wayan Koster (PDI Perjuangan), dan Mirwan Amir (PD) sebagai pihak-pihak yang “bermain” di Badan Anggaran DPR.
Menurut pengakuan sepihak politisi muda yang dipromosikan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum ini, tim pencari fakta (TPF) bentukan PD sebenarnya telah memiliki data tentang ini.Namun, sejauh ini para anggota TPF seperti Ruhut Sitompul membantah keterlibatan Nazaruddin dan Angelina dalam permainan panas di Badan Anggaran Dewan.
Barangkali inilah problematik besar PD saat ini, yakni bagaimana memperlakukan Nazaruddin agar partai dapat diselamatkan dari kemungkinan terkena badai akibat sikap“mutung”mantan bendahara umum yang tampaknya tak mau menjadi “tumbal” seorang diri.
Ibarat buah simalakama, jika PD tidak proaktif mendorong Nazaruddin pulang, partai ini akan dituduh bersekongkol dengan mantan bendahara umumnya.Sebaliknya, bila Nazar kembali ke Tanah Air,“nyanyiannya” dikhawatirkan akan menuai badai besar bagi PD. Karena itu, yang tampak di permukaan dewasa ini adalah kecenderungan PD untuk membiarkan Nazaruddin untuk tetap “berobat” di Singapura.
Untuk sementara, pilihan ini tampaknya dianggap lebih aman bagi PD ketimbang menyerahkan Nazaruddin ke KPK.Itu artinya, KPK akan dibiarkan berusaha memburu sendiri keberadaan Nazar. Sedangkan PD tampaknya mencoba “melokalisasi”kasus hukum yang dialami Nazar sebagai perkara pribadi yang terpisah dengan partai secara institusi.
Tergantung SBY
Satu-satunya kekuatan politik yang dapat memaksa Nazaruddin kembali ke Tanah Air barangkali hanya Presiden SBY. Apabila SBY sungguhsungguh dengan komitmennya untuk berdiri paling depan dalam pemberantasan korupsi, semestinya tidak sulit menjemput Nazaruddin.
Juga,jika SBY benar-benar hendak membersihkan partainya dari borok korupsi, seharusnya segenap aparat penegak hukum bisa dikerahkan untuk memburu mantan bendahara Demokrat tersebut. Namun, kesungguhan itu hingga kini belum terbukti. Berbagai komitmen berapi-api SBY tentang pemberantasan korupsi akhirnya berhenti sekadar sebagai pidato.
Setelah tim penjemput yang dibentuk DPP PD gagal membawa pulang Nazaruddin, Presiden SBY bahkan terkesan tidak serius menghadirkan Nazar untuk memenuhi panggilan KPK.
Kini satu-satunya harapan publik akan terbongkarnya skandal suap yang diduga melibatkan Nazaruddin adalah kemampuan KPK melacak keberadaan dan kemudian menjemput paksa anggota DPR tersebut untuk dihadirkan sebagai saksi di Jakarta. Pertanyaannya, apakah KPK bisa menjemput paksa Nazar yang berstatus saksi tanpa dukungan dan kerja sama dengan jajaran PD?
Dampak Kisruh
Kisruh internal yang dialami PD ini adalah buah dari “salah urus”partai yang terlalu mengandalkan figur SBY sebagai satu-satu faktor kohesi partai.Ketika pada kesempatan pertama SBY segera bereaksi dan meminta jajaran partai menjemput Nazaruddin, segenap petinggi partai bergambar segitiga biru ini menyatakan “koor” setuju.
Namun, tatkala belakangan Nazaruddin mengancam untuk membongkar borok partai dan SBY cenderung diam, silang pendapat pun segera tampak di antara petinggi PD. Realitas ini memperlihatkan bahwa PD sebenarnya belum memiliki sikap jelas,tegas, dan tunggal terkait kasus Nazaruddin.
Para petinggi partai tidak hanya berusaha menyelamatkan partai mereka, tapi juga berupaya menyelamatkan kepentingan masingmasing. Para petinggi partai yang merasa tersisih dari lingkaran dalam kekuasaan PD yang berpusat di Cikeas berusaha menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk membersihkan partai dari “faksi Nazaruddin”.
Sebaliknya, kelompok terakhir berusaha menyelamatkan partai dan Nazaruddin yang dianggap turut “berjasa”bagi PD. Karena itu, sebelum benarbenar terlambat,Presiden SBY selaku figur sentral PD semestinya mengambil sikap jelas dan tegas dalam mendukung upaya KPK menghadirkan kesaksian Nazaruddin.
Tidak ada ruginya bagi PD untuk menerima kenyataan pahit jika Nazar membongkar borok partai seperti ancamannya selama ini. Bukankah mengobati borok partai lebih awal jauh lebih baik ketimbang membiarkan PD berangsur-angsur keropos dari dalam dan akhirnya hanya menjadi sumber bancakan para politisi yang tidak bertanggung jawab?
SYAMSUDDIN HARIS Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 21 Juni 2011