Bahaya Laten Kampanye
Luky Djani | Wakil Koordinator ICW
Tatanan demokrasi di suatu negara ditandai oleh dinamika realisasi prinsip-prinsip dasarnya. Pertama, adanya popular participation, yakni hak rakyat untuk terlibat dan mengontrol dalam pembuatan kebijakan publik. Kedua, political freedom, yang berarti hak setiap entitas politik dijamin untuk mengekspresikan keyakinan politiknya secara terbuka.
Ketiga, terciptanya political equality, yaitu kesetaraan politik ? yang lebih popular disebut level playing field - dalam kompetisi politik. Dalam sistem demokrasi perwakilan, kedaulatan rakyat direpresentasikan dalam parlemen dan pemerintah melalui pemilu yang bebas, adil dan reguler. Pemilu adalah wahana untuk penggantian pemerintahan dan kepemimpinan baik ditingkat nasional maupun daerah secara demokratis.
Dalam pemilu, ketiga prinsip itu berinteraksi secara bersamaan. Partai politik atau kandidat memiliki hak dan kesempatan untuk mengekspresikan dan mempromosikan visi, platform serta program kepada pemilih. Karakteristik kesetaraan politik (political equality) dalam pemilu adalah: satu orang, satu suara dan satu nilai (one person, one vote and one value). Semakin terpenuhinya ketiga prinsip diatas, maka kualitas demokrasi pun semakin baik.
Namun, mewujudkan tatanan yang ideal tentu saja bukan perkara yang mudah. Apalagi praktek politik uang (money politics) atau pengaruh berlebihan dari pendanaan kampanye merupakan musuh yang kerap membayangi. Tak jarang, penyimpangan itu mempengaruhi prinsip keseimbangan dalam demokrasi. Lalu bagaimana mewujudkan kesetaraan itu dalam hiruk pikuk pemilu, khususnya saat kampanye?
I. Korupsi Politik
Politik dan uang merupakan pasangan yang sangat sulit untuk dipisahkan. Aktivitas politik memerlukan sumber daya yang tidak sedikit, terlebih untuk kampanye pemilu. Empat faktor penentu dalam kampanye pemilu, yaitu kandidat, platform dan program kerja, organisasi kampanye dan sumber daya (uang). Akan tetapi uang merupakan faktor yang sangat berpengaruh; tanpa uang maka ketiga faktor lainnya menjadi sia-sia. Seorang pakar politik mengatakan:
?Money is not sufficient, but it is necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do have impact on election results and campaign cannot be run without it? (Jacobson, 1980)
Pendanaan politik merupakan fondasi bagi demokrasi. Peran uang dalam kompetisi politik sangat krusial. Uang adalah sumber utama untuk memenangkan atau mempertahankan kekuasaan politik. Uang memperkuat pengaruh politik bagi mereka yang memilikinya atau mereka yang memiliki wewenang untuk mendistribusikannya (Nassmacher, 2001,).
Dalam masa transisi, kelompok-kelompok politik berupaya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan ke dalam kontrol mereka. Konsolidasi tentunya memerlukan sumber daya (dana). Kebutuhan itulah yang dipenuhi dengan jalan pintas: korupsi.
Pertemuan kepentingan antara elit politik dan kelompok kepentingan (self-oriented interest group) membentuk hubungan politico-business yang saling menguntungkan. Produk kebijakan hanya berorientasi kepada kepentingan kroni untuk menguasai sumberdaya ekonomi belaka. Caranya, kekuasaan digunakan untuk mengembangkan bisnis kroni dan menguasai aset ekonomi. Sedangkan keuntungan dari ekonomi digunakan untuk memperbesar kekuasaan politik. Korupsi merupakan bentuk khusus dari pengaruh politik yang dilakukan untuk menopang keberlangsungan suatu rezim politik.
Dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan jamak dijumpai dalam bentuk donasi untuk kampanye. Hubungan patronase yang koruptif, membahayakan demokrasi karena mengingkari kepentingan publik. Akibatnya luntur kepercayaan publik dan legitimasi politik kepada lembaga-lembaga Negara.
II. Dana Kampanye: Donasi atau Investasi Politik?
Dalam politik, terutama pemilu, dana merupakan hal yang instrumental. Akan tetapi, sumber daya (dana) tidak terdistribusi secara merata sehingga mengakibatkan kesenjangan dalam kemampuan pendanaan kampanye. Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah ?bagaimana dan dari siapa politisi atau partai memperoleh dana serta bagaimana dana tersebut dibelanjakan untuk kampanye?.
Agar terpilih, seorang kandidat harus mengkomunikasikan visi dan program kerjanya kepada pemilih. Oleh karena itu, kampanye pemilu yang efektif memerlukan sumber daya yang memadai seperti tim kampanye yang handal, konsultan media yang berpengalaman, dan pilihan medium komunikasi yang tepat. Itu semua memerlukan dana.
Kelompok kepentingan jelas akan memberikan sumbangan hanya kepada partai politik atau kandidat yang punya potensi besar untuk menang. Mengapa? Karena mereka melihat sumbangan sebagai investasi yang nantinya akan memperoleh imbalan. Sehingga jelaslah mengapa donatur kelas kakap terkonsentrasi kepada partai politik yang besar ataupun kandidat yang berkuasa.
Selain ketidaksetaraan dalam kampanye, akses terhadap kebijakan publik pun menjadi tak imbang. Donatur besar tentu mempunyai ?arti? yang berbeda, yang menentukan besarnya akses dan pengaruh kelompok itu terhadap kebijakan publik.
Hubungan antara sumbangan dan kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu dapat menjadi indikator dari pengaruh donasi. Kebijakan-kebijakan kemudian dibuat untuk memenuhi kebutuhan kroni politik dan tidak mengindahkan aspirasi masyarakat secara luas. Inilah yang terbukti mendistorsi kesetaraan politik.
Sumber-sumber Dana Kampanye
Karakteristik dana kampanye dapat dibedakan dari sumber dana tersebut. Sumbangan dapat berasal dari simpatisan (baik perseorangan maupun badan hukum) atau dari negara (subsidi).
Partai politik mendapatkan sumbangan dari anggota, pengurus dan simpatisan partai politik. Mekanismenya dapat berupa iuran anggota, sumbangan wajib bagi pengurus maupun kandidat serta prosentase dari gaji anggota partai yang menjadi pejabat publik.
Partai politik juga dapat menggalang dana dari eksternal. Sumbangan dari masyarakat ini penting untuk melihat seberapa besar dukungan yang diberikan masyarakat. Akan tetapi, sumber eksternal dapat menciptakan ketergantung yang berpotensi mendistorsi kepentingan publik.
III. Akuntabilitas Dana Kampanye
Persoalan pengaruh donasi terhadap kebijkan publik serta ketimpangan dalam kompetisi pemilu mengharuskan adanya regulasi dana kampanye yang baik. Pendanaan politik khususnya pemilu haruslah membatasi atau bahkan menutup potensi penyimpangan yang mengkin terjadi. Pengaturan ini menjadi sangat penting agar fondasi demokrasi dapat kokoh menopang proses politik yang sehat dan dinamis.
Pelajaran Pemilu 99
Hingar bingar pemilu tahun 1999 ternyata tidak dibarengi dengan persiapan oleh partai-partai baru. Banyak partai baru yang tumbuh, tetapi, tidak dipersiapkan secara struktur kelembagaan, manajemen internal, serta mekanisme akuntabilitas yang baik. Hampir semua partai politik memiliki kelemahan institusional, tidak memiliki manajemen keuangan yang baku, dan sangat tergantung pada figur pemimpinnya.
Menurut laporan audit Price Waterhouse Coopers atas Bank Bali, Badan Pemenangan Pemilu Golkar, menerima sedikitnya Rp. 15 Milliar dari dana Bank Bali. Dari laporan tersebut jelas adanya keterlibatan dari pejabat tinggi pemerintahan dalam mengucurkan dana ke jaringan golkar. Perusahaan yang dikelola oleh pengurus Golkar mentransfer uang senilai Rp. 546 miliar ke lebih dari 100 rekening. Banyak kalangan memprediksi, uang tersebut akan digunakan untuk membeli dukungan bagi Habibie dalam pemilihan presiden Oktober 1999 (Notosusanto dan Gumay, 2000).
Kasus lain adalah skandal Bulog yang melibatkan ketua umum partai Golkar Akbar Tandjung, yang juga ketua DPR. Dana Bulog ini diperuntukkan bagi penyediaan sembako sebagai program pengentasan kemiskinan bagi masyarakat yang terkena dampak krisis ekonomi. Akan tetapi dana Bulog tersebut tidak pernah sampai kepada sasaran. Dana tersebut diyakini digunakan dalam rangka pemilu partai golkar tahun 1999. Kasus ini sudah disidang sampai ditingkat pengadilan tinggi dan Akbar Tanjung ditetapkan sebagai narapidana .
Dari laporan audit keuangan dana kampanye partai politik peserta pemilu 1999, terdapat beberapa kelemahan dan pelanggaran dari undang-undang pemilu no 3 tahun 1999. Beberap hal yang penting adalah:
1. Laporan keuangan yang tidak terkonsolidasi dari tingkat pusat sampai cabang-cabang parpol.
2. Tidak ada sistem administrasi keuangan yang standar dalam setiap partai politik.
3. Tidak dipenuhinya aturan mengenai sumbangan dan pengeluaran seperti dalam undang-undang:
- Pengeluaran dana untuk keperluan kampanye sering tidak dicatat.
- Tidak ada pemisahan antara dana kampanye dan dana rutin partai politik.
- Banyaknya sumbangan yang anonim (tanpa identitas yang jelas).
- Sumbangan dalam bentuk natura tidak dicatat sebagaimana sumbangan berbentuk uang.
- Hutang dalam jumlah yang besar diberikan untuk mengakali ketentuan perundangan.
Fakta diatas menunjukkan bahwa pengaturan dana kampanye masih jauh dari harapan. Selain kelemahan undang-undang, terlihat jelas bahwa partai politik tidak memiliki manajemen keuangan yang baik. Dana kampanye diperoleh dari praktek ilegal seperti korupsi dan ketergantungan pada donator untuk membiayai kampanye. Untuk itu, diperlukan aturan dana kampanye yang sesuai dengan prinsip-prinsip umum dan lebih tegas serta pengawasan dari masyarkat.
Prinsip Pengaturan Dana Kampanye
Uang mempunyai ?keuntungan? dibandingkan dengan sumber daya lainnya seperti jasa maupun bentuk natura lainnya. Uang sangat mudah untuk ditransfer dan dapat digunakan untuk aktivitias apa saja tanpa perlu diketahui sumbernya. Oleh karenanya, kita harus mendefinisikan ?bantuan?, ?sumbangan? secara luas dan terperinci untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan (conflict of interest), ataupun pengaruh berlebihan (excessive and abusive influence) sehingga segala benuk sumbangan harus diatur dalam undang-undang serta dapat dikontrol. Herbert Alexander mendefinisikan sumbangan dalam dana kampanye sebagai segala yang memiliki nilai (?anything of value?), termasuk barang dan jasa, dalam bentuk uang maupun natura (Alexander 1984,3).
Mengingat pentingnya pendanaan kampanye, maka peraturan dana kampanye memuat prinsip-prinsip umum yang digunakan dibanyak Negara seperti (Nassmacher, 2001):
1. Kesetaraan dalam kampanye yang kompetitif (political equality).
2. Memdukung partisipasi masyarakat dalam menyumbang untuk aktivitas politik/kampanye dan berpartisipasi dalam proses politik (political participation).
3. Mencegah pengaruh berlebihan dari sumbangan yang dapat mempengaruhi kebijakan publik (abusive influence) atau dalam proses pencalonan (candidacy buying).
4. Mencegah penggunaan uang dalam mengiming-imingi pemilih untuk memilih (vote buying).
5. Sistem yang sesuai dengan kemampuan manajemen terutama keuangan dari partai politik dan kandidat.
Dari prinsip-prinsip diatas, diturunkan dalam beberapa ketentuan dasar mengenai pengaturan dana kampanye seperti:
1. Definisi sumbangan secra jelas: donasi dalam bentuk uang, natura, hutang, hibah, discount, dll.
2. Pembatasan sumbangan perorangan maupun lembaga kepada partai politik, caleg dan capres.
3. Penentuan batas maksimum pengeluran dana kampanye,
4. Administrasi keuangan yang baik dan transparan: pencatatan pemasukan dan pengeluaran dana kampanye serta
5. Mekanisme pertanggungjawaban dana kampanye dan audit secara regular dari otoritas pemilu (KPU).
6. Pelarangan menerima sumbangan dari sumber-sumber illegal ataupun penggunaan fasilitas Negara.
7. Subsidi dana kampanye oleh Negara.
Sayangnya, di dalam undang-undang pemilihan umum untuk legislative (UU no 12 tahun 2003), dibuat dengan semangat minimalis. Beberapa ketentuan yang seharusnya mengatur dana kampanye secara detail tidak ada. Akibatnya, banyak celah bagi penyiasatan peraturan. Analisa terhadap bab dana kampanye untuk melihat sejauh mana peraturan dana kampanye dapat mencegah korupsi dalam pemilu.
Pengaturan Dana Kampanye dalam UU no 12 tahun 2003
Peraturan mengenai dana kampanye pemilu legislatif, kecil kemungkinannya bisa mencegah korupsi pemilu (electoral corruption). Beberapa ?peluang? dari kelemahan peraturan dan implikasi terhadap pemilu yang bersih tergambar pada poin-poin dibawah.
a. Jenis dan Batasan Sumbangan
Sumbangan dana kampanye pemilu yang diatur dalam undng-undang hanyalah dalam bentuk uang dan hutang. Sedangkan sumbangan natura, bantuan dalam bentuk jasa, diskon untuk barang ataupun fasilitas dari perseorangan atau badan hukum swasta tidak disebutkan sama sekali. Akibatnya, donator bisa saja memberikan bantuan yang melebihi ketentuan dengan menggunakan bentuk sumbangan seperti pemberian fasilitas transportasi, memberikan bahan-bahan cetakan untuk kampanye ataupun diskon untuk penggunaan fasilitas seperti hotel, dsb.
Donasi dapat diberikan oleh suatu badan hokum melalui anak-anak perusahan. Di dalam undang-undang hanya dijelaskan batasan bantuan dari badan hokum sebesar 750 juta rupiah, tanpa disebutkan apakah ini jumlah maksimal yang dpat diberikan oleh suatu holding company beserta anak perusahaan atau terpisah. Bantuan dalam jumlah besar berpotensi sebagai investasi terhadap partai atau kandiat tertentu.
b. Rekening Khusus Dana Kampanye
Dalam rangka pengumpulan dana kampanye, Partai Politik Peserta Pemilu dan calon DPD, berhak melakukan pengumpulan dana dari masyarakat. Mereka diwajibkan untuk membuka rekening khusus dana kampanye. Akan tetapi, tidak disebutkan jumlah saldo awal maksimal. Hal ini berakibat, partai atau kandidat yang memiliki dana dalam jumlah besar yang dikumpulkan jauh-jauh hari memiliki keuntunngan dalam belanja kampanye. Kampanye, terutama melalui media, menjadi tidak seimbang dan dikuasai oleh partai atau kandidat tertentu.
c. Pengeluaran Dana Kampanye
Aturan mengenai pengeluaran dana kampanye sama sekali tidak diatur dalam undang-undang. Tiadanya batas maksimum penggeluaran dana, mengakibatkan partai-partai maupun kandidat akan berlomba-lomba berkampanye melalui media. Juga tidak ada ketentuan pencatatan pengeluaran dana memungkinkan partai ataupun kandidat mengeluarkan dana untuk mempengaruhi atau mengiming-imingi pemilih (vote buying) secara sembunyi-sembunyi.
Juga tidak diatur mengenai pihak ketiga yang melakukan kampanye. Adanya pihak ketiga yang melakukan kampanye baik secara langsung maupun tidak langsung bisa menjadi celah pemanfaatan untuk mendukung partai maupun kandidat dalam jumlah yang tidak terbatas. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan mengkampanyekan seorang kandidat secara langsung maupun melalui isu-isu yang diusung oleh kandidat.
Peran Masyarakat
Ditengah minimnya peraturan yang menjamin akuntabilitas dana kampanye, maka masyarakat seharusnya pro aktif dalam mengawasi dana kampanye. Pemantauan oleh masyarakat menjadi penting agar timbul tekanan publik kepada partai politik maupun kandidat. Selama ini partai politik maupun kandidat terkesan sangat acuh dan tidak ragu dalam membelanjakan dana untuk kegiatan kampanye pemilu. Termasuk juga dana-dana yang digunakan untuk membeli suara (politik uang).
Hal ini dapat diminimalisir jika ada pemantauan yang efektif dari masayrakat. Yang paling mudah dilakukan adalah dengan mencatata pengeluaran kampanye. Pengeluaran tertentu bisa dan mudah untuk dicatat.
Ambil contoh kampanye yang menggunakan iklan di media massa. Kita dapat mendata berapa banyak iklan yang dipasang baik di media cetak, maupun elektronik (radio dan televisi). Kemudian dari data-data tersebut dapat dikonversi menjadi biaya dengan mengalikan kuantitas iklan dengan harga iklan. Dengan demikian, kita memiliki data dari jumlah kampanye yang dilakukan oleh aprtai politik atau kandidat melalui media.
Temuan ini kemudian dapat dibandingkan dengan laporan audit dana kampanye yang dilaporkan ke KPU. Jika terjadi perbedaan (di daerah pemilihan tertentu) masyarakat dapat melaporkan kepada Panwaslu dan KPU. Metoda ini dikembangkan oleh sebuah NGO di Argentina (Poder Cuidadano) untuk memantau penggunaan dana kampanye di sana. Poder Cuidadano kemudian berhasil memaksa partai-partai untuk membeberkan dana-dana kampanye kepada masyarakat dan meminta pertanggung-gugatan kepada publik dan Comission on Election Argentina. Metoda ini kemudian dilakukan dibeberapa Negara di Amerika Latin dan berhasil untuk mencipatakan transparansi dan akuntabilitas dana kampanye.
Pemantuaan dana kampanye akan menciptakan beberapa hal seperti :
1. Adanya partisipasi masyarakat sehingga mendorong tranparansi melalui kontrol publik dalam penggunaan dana kampanye.
2. Upaya untuk mencegah kemungkinan pengaruh negative dari donasi dalam penentuan kebijakan publik dan praktek politik uang.
3. Mendorong akuntabilitas manajemen keuangan dari partai politik.
Selama ini tidak ada pembanding ?yang tercatat- untuk melihat apakah laporan keuangan (khususnya dana kampanye) partai politik atau kandidat dibuat sesuai dengan kenyataan. Dengan eksisnya pemantauan terhadap dana kampanye, maka kontrol publik terhadap keuangan partai politik atau kandidat dapat memperkecil kemungkinan terjadinya korupsi dalam pemilu dan penyelewengan kekuasaan.
Daftar Pustaka
Alexander, Herbert E. (1984). Financing Politics: Money, Election, and Political Reform. Washington, D.C: Congressional Quarterly Press.
Djani, Luky (2002). Election Campaign Finance Reform, Thesis untuk National University of Singapore.
Doig, Alan and Robin Theobald, eds. (2000). Corruption and Democratization. London: Frank Cass and Co. Ltd.
Gierzynski, Anthony (2000). Money Rules: Financing Election in United States. Colorado: Westview Press.
Heidenheimer, Arnold J., Michael Johnston (eds) (2002). Political Corruption, 3rd Edition. New jersey: Transaction Publisher.
Hrebenar, Ronald J., Matthew J. Burbank, Robert C. Benedict (1999). Political parties, Interest Groups and Political Campaigns. Colorado: Westview Press.
ICW (Indonesia Corruption Watch) (Januari 2001). Corruption Outlook 2001: Transformasi Korupsi: Dari Istana ke Multipartai. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
ICW (Indonesia Corruption Watch) (2001). Mekanisme Keuangan Partai Politik dan Implikasinya Terhadap Proses Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
Kotler, Philip and Eduardo L. Roberto (1989). Social Marketing. New York: The Free Press.
Kunio, Yoshihara (1987). The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Jakarta: LP3ES.
Maarek, Philippe J. (1997). Political Marketing and Communication. London: John Libbey.
Nassmacher, Karl-Heinz (ed) (2001). Foundations for Democracy. Baden-baden: Nomos Verlagsgesselschaft.
Notosusanto, Smita and Hadar Gumay (2001). Political Financing in Indonesia: Prospect for Reform. Jakarta: Centre for Electoral Reform (CETRO).
Rose-Ackerman, Susan (1994), Corruption and Democracy, Budapest, Institute For Constitutional and Legislative Policy
Scott, J.C. (1972). Comparative Political Corruption, New Jersey: Prentice Hall.
Sulistyo, Hermawan, A. Kadar and Adi Sulistiono (2000). Uang dan Kekuasaan dalam Pemilu 1999. Jakarta: KIPP Indonesia.