Bagir Manan dan Teorema Coase
Beberapa waktu lalu, Bagir Manan menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu mencari tersangka dalam kasus meluapnya lumpur panas milik Lapindo Brantas di Sidoarjo.
Menurut dia, yang lebih penting adalah mengganti kerugian masyarakat. Lebih jauh lagi, Bagir Manan juga memberikan pernyataan tentang keharusan menggunakan penyelesaian di luar pengadilan (selanjutnya disebut ADR -alternative dispute resolution) agar tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah (Jawa Pos, 4/8/2006).
Pernyataan Bagir tentang tidak perlu sanksi pidana tentu saja menyulut reaksi keras dari berbagai kalangan. Dari kalangan pengamat hukum sendiri, kritik atas komentar Bagir dilakukan dengan mengacu pada UU No 23/1997 tentang Lingkungan Hidup. Dalam penjelasan umum UU tesebut dinyatakan untuk kasus tertentu, penegakan hukum pidana dapat tetap diberlakukan, tanpa melihat efektivitas perangkat penegakan hukum lainnya.
Hanya Ganti Kerugian?
Berdasarkan analisis ekonomi terhadap hukum, ganti kerugian yang sempurna (perfect compensation) dicapai ketika para korban memperoleh sejumlah uang sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan merasa adanya perbedaan antara situasi menderita kerugian tetapi memperoleh ganti kerugian dengan situasi sebelum menderita kerugian (R. Cooter dan T. Ulen, 2004: 313).
Apabila ganti kerugian sempurna tersebut dapat dicapai, bisa dikatakan bahwa sistem pertanggungjawaban telah optimal, tidak hanya untuk melindungi korban, tapi juga untuk mendorong upaya pencegahan pencemaran.
Dengan adanya ancaman pertanggungjawaban perdata tersebut, para pelaku usaha/kegiatan akan terdorong untuk bertindak lebih hati-hati dan untuk mengurangi risiko dari usaha/kegiatannya.
Karena itu, jika ganti kerugian secara sempurna terwujud, sah-sah saja jika Bagir Manan memberikan pernyataan bahwa ganti kerugian bagi para korban sudah cukup sebagai instrumen penegakan hukum lingkungan.
Meskipun demikian, tentu saja kita bisa menyatakan bahwa dalam kasus-kasus pencemaran serius, semacam banjir lumpur ini, ganti kerugian secara sempurna sangatlah sulit dicapai. Dalam hal ini, kerugian akibat pencemaran serius sering tidak dapat diukur (baca: diuangkan) secara mudah. Banyak dari kita bahkan akan beranggapan bahwa seberepa besar pun ganti kerugian yang diterima, tidak akan bisa mengganti penurunan kualitas kesehatan dan lingkungan hidup yang dialami.
Atas dasar ini, saya berpendapat, ketika terlalu banyak kerugian yang tidak bisa diganti dengan uang, ganti kerugian secara sempurna adalah khayalan semata.
Karena itu, untuk kasus-kasus semacam ini, ganti kerugian secara perdata menjadi sangat tidak memadai, baik untuk melindungi korban dan maupun untuk mendorong adanya kehati-hatian pelaku usaha/kegiatan.
Lebih jauh, perlindungan terhadap lingkungan hidup harus dilihat sebagai sebuah kebutuhan yang muncul karena semakin banyaknya dampak buruk pembangunan yang tidak tertangani dengan baik. Dari kebutuhan ini muncul desakan agar perlindungan terhadap lingkungan dianggap sama penting dengan kebutuhan akan perlindungan terhadap hak milik, nyawa, dan kebebasan (M.G. Faure, 2002: 157).
Atas dasar ini pula UUD 1945 telah menganggap hak atas lingkungan hidup yang baik sebagai salah satu hak asasi manusia. Sanksi pidanalah yang akan menjamin terpenuhinya hak konstitusional ini, yaitu hak untuk bebas dari ancaman penurunan tingkat kesehatan dan kualitas hidup. Peristiwa meluapnya lumpur panas milik Lapindo di Sidoarjo telah layak dianggap sebagai sebuah peristiwa pidana sesuai dengan pasal-pasal tentang Ketentuan Pidana dalam UU No 23/1997.
Dalam teori hukum, kewajiban bagi pembuat kerugian untuk mengembalikan semua keuntungan yang diperoleh dari perbuatannya dan memberikan ganti kerugian kepada korban, disebut sebagai complete disgorgement.
Kewajiban seperti ini sudah mencukupi sebagai pertanggungjawaban perdata, tetapi tentu saja tidak memadai sebagai sanksi pidana. Bila pelaku tindak pidana hanya dituntut mengembalikan kewajiban ini, berdasarkan analisis ekonomi terhadap hukum, keuntungan yang diperoleh dari perbuatan pidana menjadi lebih tinggi dari konsekuensi yang harus diterima pelaku apabila dia tertangkap. Akibatnya jelas: tindak pidana menjadi sangat menguntungkan para pelaku.
Karena itu, agar dorongan untuk melakukan tindak pidana menjadi hilang, sanksi yang dijatuhkan harus lebih dari sekadar complete disgorgement. Semakin tinggi keuntungan yang diperoleh pelaku tindak pidana dan semakin tinggi bahaya tindak pidana terhadap masyarakat, sanksi pidana yang akan dijatuhkan harus menjadi semakin berat (S. Shavell, 2004: 498-499).
Dengan ancaman hukuman seperti ini, ditambah kepastian adanya pendeteksian dan penjatuhan sanksi, tindak pidana akan menjadi hal yang sangat merugikan si pelaku. Dengan ancaman seperti ini, diharapkan dorongan untuk melakukan tindak pidana akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Jadi, saya berpendapat pernyataan Bagir Manan bukan hanya tidak sesuai dengan UU Lingkungan Hidup, tetapi juga berbahaya, karena dapat semakin merusak penaatan hukum lingkungan.
Andri G. Wibisana, pengajar hukum lingkungan pada Fakultas Hukum UI, Depok. Saat ini sebagai kandidat doktor pada Fakultas Hukum Universitas Maastricht, Belanda
tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 18 Agustus 2006