Bagir Manan dan Janji Pembersihan Itu...
Saya ingin membuang perasaan yang tidak begitu berarti untuk memperbaiki badan peradilan. Perasaan pribadi itu, ya sudahlah, begitu komentar Bagir Manan dalam wawancara dengan Kompas, 20 Mei 2001.
Begitu komentar Bagir Manan dua hari setelah dilantik menjadi Ketua MA. Bagir seolah ingin menepis perasaan pernah ditolak Presiden sehingga perasaan itu tidak mengganggunya memimpin MA maupun memperbaiki kinerja dan citra peradilan.
Pria kelahiran Lampung, 6 Oktober 1941, yang pernah menjabat Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman ini adalah salah satu calon Ketua MA yang diusulkan DPR. Calon lain adalah mantan Menteri Kehakiman Muladi. Kisah Muladi dan Bagir adalah kisah panjang. Saat Muladi menjadi Menteri Kehakiman, Bagir tersingkir dari posisi Dirjen Hukum dan Perundang-undangan.
Kedua calon Ketua MA ini terkatung-katung hampir enam bulan karena Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menolak, dengan alasan keduanya bagian dari Orde Baru.
Awal Maret 2001, Muladi mengajukan surat pengunduran diri ke DPR karena merasa tersandera secara politik. Akhirnya awal Mei 2001, Presiden Wahid menandatangani SK pengangkatan Bagir Manan sebagai Ketua MA.
Janji pembersihan
Di dalam wawancara pada pertengahan Mei 2001 itu, Bagir mengemukakan sejumlah pandangan untuk membersihkan mesin cuci. Analogi lembaga peradilan sebagai mesin cuci dilontarkan pertama kali oleh Ketua Komisi II DPR (saat itu) Amin Aryoso. Peradilan ibarat mesin cuci, semua barang kotor ketika keluar sudah bersih.
Di awal jabatannya, Bagir sudah mengungkap pandangannya soal mafia peradilan. Saat ditanya Kompas apakah ia percaya mafia peradilan itu ada, Bagir menjawab, Pengertian saya mengenai mafia berbeda dengan pengertian orang lain. Pengertian mafia itu selalu dikaitkan dengan well organized. Kalau soal mafia peradilan kita bicara soal well organized itu, ya tidak akan ketemu. Saya mengartikan mafia peradilan sebagai behavior, tingkah laku yang tidak terpuji. Jadi criminal behavior.
Lanjut Bagir, Hakim tidak mempunyai kesempatan untuk korupsi. Korupsi itu kan terkait dengan keuangan negara. Hakim tak mengelola uang negara. Masalah kita adalah suap. Saya berharap masyarakat memiliki keberanian melapor.
Pernyataan yang diungkapkan Ketua MA ini seolah menjanjikan perubahan dunia peradilan. Kini, 4,5 tahun setelah menjadi orang nomor satu MA, Bagir mengeluarkan pernyataan serupa. Dalam jumpa pers pada 12 Oktober 2005, di tengah tudingan yang menyudutkan namanya pascapenangkapan pengacara Probosutedjo dan lima pegawai MA, Bagir menyatakan, Mafia peradilan sebagai organized crime tidak ada. Yang ada adalah orang dari dalam maupun luar peradilan yang melakukan perbuatan melawan hukum. Praktik suap terjadi karena ada pihak yang ingin mendesakkan agar putusan berpihak kepadanya.
Bagir Manan merancang sejumlah langkah untuk mengembalikan kekuasaan kehakiman sebagai tempat menemukan keadilan dan menjadi lembaga terhormat dan dihormati.
Bagir menyatakan, kalau ada persepsi publik bahwa putusan bisa dibeli, berarti integritas dan kejujuran hakim diragukan. Untuk itu perlu langkah preventif dan represif. Untuk langkah represif perlu fact finding commission sebagai dasar penindakan. Hal lain adalah mengatasi tunggakan perkara.
Belum setahun Bagir memimpin MA, kritik keras dilontarkan kalangan pengacara. Dalam catatan akhir tahun 2001, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) menyatakan, MA walaupun dipimpin seorang ketua dari hakim agung nonkarier sampai kini tidak menunjukkan kinerja terbaik mewujudkan rasa keadilan. MA malah memperpanjang ketidakpastian hukum.
Kondisi MA
Bagir Manan sungguh memahami kondisi di lembaga yang ia pimpin. Di pengujung tahun 2002, Bagir mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Di dalam seminar internasional di Jakarta, Bagir mengatakan, dari pemeriksaan yang dilakukan MA, ternyata ada pengacara atau kantor pengacara yang mempunyai perwakilan tetap di MA. Untuk itu, karyawan MA maupun hakim agung dilarang menerima tamu berkaitan dengan perkara.
Komentar Bagir mengundang tanggapan para pengacara. Tindak lanjutnya cukup cepat, tiga hari kemudian Bagir menyatakan pimpinan MA telah memecat seorang karyawan MA. Petugas satuan pengamanan (satpam) juga diganti dengan tenaga sewaan untuk mengurangi praktik perwakilan tetap. Namun setelah itu, tak terdengar lagi siapa yang dijatuhkan sanksi.
Setiap sore di MA amat ramai oleh orang yang ingin mengetahui perkembangan perkaranya. Mereka bertemu dengan karyawan MA. Saya kan tidak mungkin menegur satu per satu mereka, ujar Bagir kepada wartawan pada 23 Desember 2002.
Itu sebabnya, sejak itu, pimpinan MA memasang tulisan berisi larangan menerima tamu yang berperkara. Namun, setelah 4,5 tahun Bagir memimpin MA, situasi MA seperti pasar tetap tak berubah.
Bagi siapa pun yang sering berkunjung ke MA, pemandangan lazim bila melihat pengacara, pencari keadilan, mondar-mandir masuk ruangan hakim agung, ruangan panitera, ruangan asisten koordinator, ataupun ruangan karyawan MA lainnya.
Kompas pernah memergoki pertemuan seorang pengacara yang menangani kasus korupsi besar dengan seorang berpakaian seragam MA. Pertemuan terjadi di sebuah ruangan hakim agung yang kebetulan kosong. Di waktu bersamaan, di sebuah ruangan lain, majelis hakim agung yang menangani perkara itu sedang bermusyawarah.
Fenomena menarik lainnya adalah orang-orang bawaan sang hakim agung atau pejabat MA. Mereka ini bisa istri atau kenalan sang hakim yang dipekerjakan menjadi stafnya. Bahkan, beberapa di antaranya secara resmi tercatat sebagai pegawai di instansi lain. Namun, penampilan fisik mereka sama dengan pegawai MA, berseragam hijau dengan emblem kain MA.
Problem lain adalah penanganan perkara di MA yang tak transparan. Banyak pencari keadilan harus menunggu bertahun-tahun perkara mereka diputus, tanpa ada kepastian yang bisa mereka peroleh.
Akibatnya, untuk mengetahui perkara sudah sampai pada tahap apa, para pencari keadilan terpaksa mengeluarkan uang. Sistem Informasi MA RI yang didengung-dengungkan sebagai solusi transparansi penanganan perkara di MA tak kunjung berfungsi.
Bahkan, meskipun perkara itu sudah diputus, para pencari keadilan tidak serta-merta mengetahui soal putusan itu. Pernah ada peristiwa sebuah salinan putusan baru sampai ke tangan jaksa penuntut umum lima tahun kemudian.
Kondisi ini terus berlangsung, hingga pada suatu malam 30 September 2005, KPK menangkap pengacara Probosutedjo dan lima pegawai MA. Pimpinan MA terkejut. MA pun memperketat dan mendisiplinkan pegawainya.
Sejak hari itu, para pencari keadilan maupun pengacara dilarang keras naik dan masuk ke ruang-ruang hakim maupun pegawai MA lain. Petugas satpam dan pengawasan lapangan parkir, kantin, maupun wartel yang disinyalir menjadi tempat transaksi pun menjadi pengawasan.
Beberapa kalangan mengkritik MA. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai Bagir Manan selaku Ketua MA gagal melaksanakan fungsi pengawasan internal peradilan, terutama menjaga wibawa Mahkamah Agung.
Bagir dan blueprint
Fakta-fakta di atas memang masih terjadi, terutama sebelum penangkapan yang dilakukan KPK. Namun, selama 4,5 tahun menjabat, Bagir bukan tak melakukan perubahan meski bagi mata awam wajah MA sekarang tetap sama. Tanpa perubahan.
Bagir dan segelintir pimpinan MA bersama Partnership for Governance Reform in Indonesia, The Asia Foundation, LeIP, dan USAID membuat cetak biru (blueprint) peradilan. Salah satunya cetak biru pembaruan MA.
Di dalam cetak biru pembaruan MA itu diidentifikasi sejumlah persoalan dan solusinya. Misalnya, soal distribusi perkara. Meski sudah ada 8 tim di MA, pembagian perkara belum sepenuhnya menganut Sistem Kamar.
MA juga meniadakan pembuatan resume perkara karena sering terjadi penyimpangan. Problem lain adalah pemeriksaan perkara yang berlarut-larut, meski sudah diatur pembuatan adviesblad (pendapat hukum) harus selesai paling lambat 30 hari.
Satu yang menarik dari cetak biru pembaruan MA adalah pengawasan dan pendisiplinan hakim. Sejak tahun 2001, di MA ditunjuk pejabat Ketua Muda MA Urusan Pengawasan dan Pembinaan (Tuada Wasbin).
Di dalam cetak biru sudah tertera jelas MA perlu menyusun sistem pengawasan dan memberikan laporan kemajuan mengenai tindak lanjut laporannya. MA juga perlu menginstruksikan semua hakim serta pejabat pengadilan melaporkan daftar kekayaan mereka. Instruksi itu disertai sanksi administratif bagi yang melanggar.
Ketua Muda Bidang Pengawasan Gunanto Suryono dalam rapat kerja nasional MA, 18-22 September, mengakui masih ada diskriminasi dalam penanganan kasus hakim nakal, sanksi yang dijatuhkan kurang keras dan tak terpublikasi.
Pernyataan Gunanto bukan tak berdasar. MA memang pernah memecat Ketua Pengadilan Negeri Semarang karena menerima suap, tetapi kasus-kasus hakim nakal yang lain tidak juga berkabar hingga sekarang.
Semua hasil laporan pengawasan, baik yang ditangani oleh Pengawasan MA maupun Komisi Yudisial, bermuara kepada Ketua MA. Karena itu, Ketua MA sendirilah yang menentukan ditindak atau tidaknya terlapor dan tindakan apa yang akan dilakukan. Dari surat-surat pengaduan yang masuk, masyarakat berharap terlalu banyak atas tindakan pengawasan, ujar Gunanto yang terangkum dalam hasil Rakernas MA di Bali.
Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Asep Rakhmat Fadjar mengatakan, pembenahan yang dilakukan MA selama ini terkesan instrumentalis saja. Belum ada upaya yang progresif untuk melakukan pengawasan terhadap para hakim dan aparat peradilan yang nakal.
Proses pengawasan internal MA harus dikembangkan lewat intelijen peradilan. Caranya harus progresif, tidak bisa lagi normatif, seperti memanggil hakim yang nakal, papar Asep.
Menurut Advisor dari Partnership for Governance Reform in Indonesia Mas Achmad Santosa, meski telah memiliki blueprint, MA belum melakukan perubahan berarti. Ini disebabkan sikap Bagir Manan yang terlalu egaliter untuk mengimplementasikannya.
Pengawasan hakim nakal harus membutuhkan gerakan radikal, yang tidak tercantum di dalam blueprint. Solusi-solusi cepat dan radikal bisa memulihkan MA dari mafia peradilan, kata Mas Achmad Santosa.
Pendapat Jeremy Bentham, seorang filsuf asal Inggris, telah jauh-jauh hari mengingatkan, Dalam gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada di puncak kekuatannya.
Dengan kata lain, Bentham mencoba mengingatkan, transparansi adalah prasyarat utama menghapus semua kepentingan jahat. Bersediakah, Pak Bagir?!
Vincentia Hanni S
Sumber: Kompas, 16 November 2005