Badan Anggaran DPR Harus Direformasi

Praktik percaloan anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah sedemikian menggurita. Minimnya transparansi proses penganggaran di dewan mengakibatkan praktik ini terus terjadi tanpa ada kontrol.

Koalisi Anti Calo Anggaran mendesak DPR segera mereformasi sistem agar praktik kongkalikong antara pejabat daerah dengan oknum anggota DPR yang menjadi calo anggaran tidak lagi terjadi. DPR diminta membangun sistem yang lebih transparan dan akuntabel serta melibatkan partisipasi publik sebagai alat kontrol. Desakan ini menguat setelah salah seorang anggota badan Anggaran DPR Waode Nurhayati mengungkap praktik percaloan anggaran di Senayan. "Harus ada reformasi pada sistem penganggaran, agar kasus ini tidak hanya menjadi komoditas politik setelah terungkap ke publik," tegas peneliti Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Minggu (19/6/2011).

Pendapat senada diungkapkan Arif Nur Alam, peneliti Indonesia Budget Center (IBC). Arif meminta DPR segera membentuk tim investigasi untuk mengungkap praktik mafia anggaran yang terjadi, bukan justru berusaha membungkam Waode yang menjadi peniup peluit kasus ini. Menurutnya, saat ini tampak adanya upaya perlawanan secara sistematis dari unsur pimpinan DPR dan Badan Anggaran, termasuk desakan untuk meminta Waode dinonaktifkan. "Ada reaksi berleihan oleh pimpinan DPR, tidak sejalan dengan penyelidikan atas apa yg disampiakan Waode," tukasnya.

Mafia anggaran bukan isu baru di DPR. Anggota DPR periode 2004-2009 Abdul Hadi Djamal dan Bulyan Royyan, telah divonis oleh Pengadilan Tipikor akibat keterlibatannya dalam kasus suap pejabat daerah untuk mendapatkan tender proyek dari parlemen. Kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga juga disinyalir melibatkan sejumlah oknum di Badan Anggaran DPR.

Koordinator ICW Danang Widoyoko mengatakan, selama ini Badan Anggaran diam-diam menjadi sumber perndanaan bagi politisi. Otoritas anggota Banggar untuk menentukan spesifikasi proyek, banyak dimanfaatkan untuk mengarahkan tender kepada perusahaan rekanan yang membantu biaya kampanye saat pemilihan umum. "Ini salah satu cara mengembalikan investasi saat kampanye. Dengan proyek-proyek lewat Banggar, untuk membayar perusahaan kroni," kata Danang.

Kecurangan ini terjadi karena proses pembahasan anggaran dilakukan secara tertutup, sehingga memungkinkan terjadinya transaksi politik untuk memuluskan kucuran dana bagi pihak yang mau memberikan fee besar. Terlebih, Banggar punya kuasa besar untuk meneken proyek-proyek di daerah yang diatur dalam Dana Penguatan Infrastruktur Daerah (DPID) yang bernilai ratusan triliun rupiah. Daerah yang mampu menyediakan fee besar, akan segera mendapatkan kucuran dana, sementara daerah miskin yang tak mampu melobi, harus mengalah tak menerima aliran dana.

Kecurangan ini telah menjadi perhatian Kementerian Keuangan, yang pada 13 Desember 2010 melayangkan surat kepada pimpinan Banggar guna meminta klarifikasi atas alokasi dana DPID 2011 di 32 daerah. Sebanyak 3 provinsi dan 29 kabupaten/kota yang tidak menerima dana DPID padahal telah memenuhi syarat yang ditentukan. Pemerintah dan DPR, sebelumnya juga sudah menyepakati alokasi DPID untuk seluruh daerah itu.

Misalokasi dana DPID ini, menurut Waode Nurhayati, mengkhianati keputusan yang telah dibuat bersama antara Banggar DPR dan Kementerian Keuangan yang tertuang dalam Putusan Menteri Keuangan (PMK) nomor 25 yang diteken pada Oktober 2010. "Yang beredar di Senayan itu PMK bodong, karena tidak sesuai seperti yang telah dibahas di Wisma Kopo," tukas Waode. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan