Baca Pledoi, Anggodo Tak Mengaku Menyuap

Anggodo Widjojo, terdakwa kasus suap dan upaya menghalangi penyidikan KPK, tetap tak merasa bersalah. Dia mengaku tak pernah menyuap. Hal itu dia sampaikan ketika membacakan pleidoi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kemarin (24/8).

Pleidoi yang dibacakan secara bergantian oleh kuasa hukum Anggodo dan Anggodo tersebut sangat tebal, yakni 787 halaman. Karena itu, kuasa hukum Anggodo, O.C. Kaligis, mengusulkan hanya poin-poin pleidoi berjudul Peranan Makelar Kasus di KPK tersebut yang dibaca.

"Sebab, kalau dibacakan semua, bisa sampai magrib. Bahkan, sampai imsak pun tidak selesai, Yang Mulia," papar Kaligis di hadapan majelis hakim pada awal sidang.

Kaligis menuturkan, proses hukum yang dialamatkan kepada kliennya sangat kental akan aroma rekayasa. Dia menegaskan, Anggodo hanya merupakan korban rekayasa kasus oleh KPK dan Ari Muladi. "Proses hukum untuk terdakwa terlalu dipaksakan. Selain itu, sangat terasa aroma rekayasanya," urainya.

Ketika mendapatkan giliran membaca, Anggodo, adik kandung buron Anggoro Widjojo, menuturkan tidak mengetahui secara pasti alasan penahanan dirinya terkait dengan tuduhan suap dan upaya menghalangi penyidikan KPK.

"Saya ditetapkan sebagai tersangka pada 12 Januari lalu. Saya sudah tujuh kali diperiksa KPK. Tapi, sampai saat ini saya tidak mengerti percobaan suap mana yang dituduhkan kepada saya dan upaya menghalangi pemeriksaan korupsi yang mana pada 2008," jelas Anggodo, yang kala sidang mengenakan batik bernuansa merah muda.

Dia berkilah, pada rentang 2008-2009 KPK menangani banyak kasus korupsi. Di samping itu, Anggodo membantah tuduhan bahwa dirinya merupakan pihak yang melaporkan pejabat KPK ke Mabes Polri dan melakukan pemerasan. Alasannya, Anggodo tidak pernah bertemu dengan pimpinan maupun pegawai KPK.

Namun, dia tidak berkelit soal pemberian uang Rp 5,1 miliar milik Anggoro kepada Ari. Anggodo mengakui memenuhi permintaan Ari, yang menyatakan bahwa uang tersebut merupakan bentuk atensi untuk pimpinan KPK. "Saya adik kandung (Anggoro, Red). Saya berikan uang kepada Ari Muladi setelah dengan terpaksa mengiyakan permintaan atensi dari KPK," urai Anggodo.

Di bagian lain, jaksa penuntut umum (JPU) akhirnya mampu menghadirkan call data record (CDR) dari Bareskrim Mabes Polri. JPU I Kadek Wiradana menguraikan baru menerima bukti CDR tersebut pada 23 Agustus lalu, tepatnya pukul 15.12, dengan surat bernomor R/877/VII/Bareskrim/2010. Barang bukti itu tidak menyebutkan keterlibatan Ari maupun Ade Rahardja. "Hanya tertulis CDR di amplop (pembungkus, Red). Tapi, tidak ada nama-namanya," ujar I Kadek.

Namun, saat barang bukti tersebut diajukan di sidang kemarin, majelis hakim menolak memutarnya. Polemik soal rekaman pembicaraan antara Ade Rahardja dan Ari Muladi akhirnya sampai pengadilan. Kapolri dan jaksa agung dianggap telah melakukan kebohongan publik.

Gugatan tersebut diajukan oleh advokat-advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Suara Rakyat Antikriminalisasi.

Dalam gugatan tersebut, Kapolri menjadi pihak tergugat I dan jaksa agung adalah tergugat II. "Tergugat harus minta maaf kepada masyarakat melalui lima media cetak nasional, yakni Kompas, Jawa Pos, Rakyat Merdeka, Seputar Indonesia, dan Media Indonesia, serta sebelas stasiun televisi," kata Sugeng Teguh Santosa, wakil tim pembela di PN Jaksel kemarin (24/8). Selain itu, Kapolri dan jaksa agung secara tanggung renteng mengganti kerugian materiil Rp 10 juta. (ken/fal/c11/c4/kum/agm)
Sumber: Jawa Pos, 25 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan