Babak Baru Skandal Korupsi BI

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada akhirnya dijatuhkan untuk Burhanuddin Abdulah. Lima tahun penjara dan denda Rp250 juta.

Angka itu sangat jauh dari ancaman maksimal yang diatur undang-undang.Hakim mengatakan, Burhanuddin terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 jo Pasal 55 ke-1 KUHP. Kita tahu,ancaman maksimal pasal ini adalah seumur hidup atau 20 tahun. 

Dari kacamata integrated criminal justice system, putusan ini tentu tidak dapat dipisahkan dari tuntutan jaksa yang juga rendah, kurang dari setengah ancaman maksimal (8 tahun). Perdebatan rendah, ketidakpuasan atau sebaliknya atas sebuah tuntutan,dan putusan memang masih terjadi sampai saat ini. 

Jaksa penuntut umum (JPU) dengan subjektivitasnya punya kewenangan menuntut tinggi atau rendah, demikian juga hakim.Akan tetapi, masyarakat sangat ingin setiap koruptor divonis maksimal.Agar ada sebuah deterrence effect atau efek jera, baik bagi pelaku atau pun masyarakat luas. 

Harapannya, koruptor akan berpikir ulang untuk melakukan korupsi.Apalagi, mereka yang menduduki puncak jabatan publik. Memerhatikan tren putusan dan tuntutan di Pengadilan Tipikor, agaknya nanti perlu dibuat sebuah standardisasi bagi JPU agar menuntut maksimal.

Perlu juga mungkin digagas penyusunan semacam surat edaran untuk kalangan hakim di Pengadilan Tipikor agar mempertimbangkan untuk memutus maksimal.Tentu juga tetap memperhatikan asas independensi dan imparsialitas hakim. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, rata-rata vonis di Pengadilan Tipikor sampai pertengahan 2008 adalah 4,4 tahun. 

Tidak terlalu memuaskan sebenarnya, meskipun masih dapat dikategorikan berprestasi dibanding peradilan umum yang hanya 20 bulan. Namun, dalam konteks afirmasi dan keseriusan kita menempatkan korupsi sebagai musuh bersama, angka tersebut tentu masih sangat rendah. 

Tesis ini bukan tak beralasan. Selain sangat rendah secara kasatmata, vonis di bawah 10 tahun dinilai tidak akan signifikan memberi tekanan dan efek jera bagi koruptor. Karena sebenarnya, setelah selesai dari fase pengadilan, pemberantasan korupsi dihadapkan pada satu yurisdiksi "mafia baru", yaitu Rumah Tahanan atau Lembaga Permasyarakatan. Fasilitas khusus terhadap koruptor bukan kabar baru. 

Ruangan yang lega,AC, izin keluar—baik legal atau ilegal—hingga kesempatan untuk berkomunikasi dengan telepon seluler (ponsel) menjadi rahasia umum.Pasalnya sederhana,koruptor punya akses besar pada petinggi lembaga pemasyarakatan karena uang. Selain itu, fasilitas legal, seperti remisi yang menjadi langganan di setiap momen khusus akan mengurangi secara signifikan efek penghukuman untuk koruptor. 

Tidak jarang, narapidana hanya menjalani sekitar setengah masa vonis yang dijatuhkan kepadanya. Sebagai "pedagang", koruptor akan berhitung, potensi kentungan dan risiko yang akan dihadapi jika melakukan korupsi.Poin inilah yang menjadi salah satu latar belakang belum efektifnya pemberantasan korupsi di Indonesia

Pelaku lain 

Apakah Burhanuddin sendirian? Tentu tidak. Divonisnya mantan Gubernur BI ini akan menegaskan fakta hukum, bahwa norma "penyertaan dalam pidana" seperti diatur pada Pasal 55 ke-1 KUHP terbukti benar.Dengan begitu,semua pihak yang melakukan, ikut melakukan, dan menyuruh melakukan harus bertanggung jawab. 

Ada sejumlah nama yang harus ditindaklanjuti statusnya menjadi tersangka,minimal orang-orang yang menandatangani penyediaan dan penyaluran Rp100 miliar dari Bank Indonesia. Dari fakta persidangan dan empat dokumen surat rapat Dewan Gubernur, maka Syahril Sabirin, Anwar Nasution,Miranda Goeltom, Maulana Ibrahim,Bunbunan Hutapea,Maman Sumantri, Oey Hoey Tiong, Aslim Tadjudin,Roswita Roza, Rusli Simanjuntak, dan Purwantari Budiman harus diproses oleh KPK.

Sebagian di antaranya memang sudah menjadi tersangka. Seperti diketahui, beberapa saat setelah vonis Burhanuddin,KPK langsung menetapkan empat mantan Dewan Gubernur lain sebagai tersangka (Aulia Pohan,Aslim Tadjudin,Maman Sumantri, dan Bunbunan Hutapea). Publik tentu harus mengapresiasi tindakan ini. 

Tapi,cukupkah? Sulit mengatakan cukup. Berangkat dari asas equality before the law dan kepastian hukum, akan timbul pertanyaan pada KPK. Bagaimana dengan Dewan Gubernur lain yang juga menandatangani skandal Rp100 miliar tersebut? Bagaimana pula dengan 52 anggota Komisi IX DPR periode 1999–2004 yang menerima gratifikasi haram itu? Termasuk di situ dua menteri aktif di kabinet SBY-JK. 

Sebuah Pesan 

Tapi apakah sebuah rapat mendadak yang dilakukan Presiden bersama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan staf khusus pada hari itu berhubungan dengan perumusan sikap pemerintah pascaputusan skandal BI? Mungkin ya, mungkin juga tidak.Apa pun itu,mau tidak mau ketegasan Presiden sangat dibutuhkan. 

Perihal ditetapkannya Aulia Pohan sebagai tersangka, SBY harus konsisten dengan ucapannya dan komitmen antikorupsi. Kita tidak persis paham, apakah momen ini justru akan digunakan untuk kampanye tentang program pemberantasan korupsi kabinetnya. Lalu perihal dua menteri aktif, SBY sebaiknya tidak menunggu penetapan sebagai tersangka untuk memberhentikan dua pembantunya tersebut. 

Fakta persidangan sudah membenarkan bahwa aliran uang benar terjadi. Dengan demikian, demi pembersihan kabinet di ujung pemerintahan,Presiden tidak boleh memelihara kekuatan koruptif dalam jajarannya. Pertaruhan ini harusnya dijawab dengan ketegasan. 

Dua tindakan, baik dari sisi KPK untuk memproses tanpa tebang pilih maupun dari sisi Presiden untuk segera memberhentikan dua menteri yang diindikasikan kuat terlibat, sangat dibutuhkan demi membuka babak baru skandal di bank sentral ini.(*) 

FEBRI DIANSYAH, Peneliti Hukum dan Anggota Badan Pekerja ICW 

Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 30 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan