Awas (Korupsi) Bencana

Gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah pada Sabtu pagi (27 Mei 2006) semakin memperpanjang cerita bencana yang melanda negeri ini. Namun, seringnya bencana mendera ternyata tidak berbanding lurus dengan banyaknya pelajaran yang dipetik untuk memperbaiki sistem penanganan bencana. Kondisi penanganan gempa yang tidak terkoordinasi serta data korban dan kerusakan yang tidak akurat dapat menyebabkan proyek penanganan bencana menjadi sangat rawan korupsi.

Ancaman bencana di Indonesia bukan persoalan pinggiran. Dari jumlah korban, bisa jadi lebih besar daripada konflik sosial atau separatisme. Data Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB) menyebutkan pada 1997-2004 telah terjadi lebih dari seribu kali bencana alam dan epidemi yang terjadi di Indonesia. Pada periode ini tidak kurang dari 40 ribu korban jiwa dengan nilai kerugian mencapai lebih dari Rp 4 triliun. Data ini belum termasuk bencana tsunami mahadahsyat yang menimpa Aceh-Nias akhir Desember 2004. Dengan tingginya frekuensi bencana dengan dampak korban manusia dan kerugian fisik yang tidak sedikit, seharusnya Indonesia telah memiliki standar minimum penanganan bencana, baik pada fase tanggap darurat maupun rehabilitasi dan rekonstruksi. Perkembangan penanganan bencana di Yogyakarta dan sekitarnya mengingatkan orang pada berbagai permasalahan dalam penanganan pascatsunami di Aceh yang tampaknya akan terulang lagi.

Koordinasi buruk
Dari pemberitaan yang ada dan pengamatan secara langsung penulis di lapangan, tergambar berbagai permasalahan, seperti rumitnya birokrasi yang menyulitkan masyarakat dalam mendapat bantuan. Pembagian bantuan pun masih berjalan sporadis dan tidak merata. Tidak berjalannya fungsi koordinasi, baik pada tingkat Bakornas, Satkorlak Provinsi, maupun Satlak Kabupaten/Kota, juga departemen dan instansi terkait, menjadikan penanganan bencana berjalan sendiri-sendiri. Beberapa tempat telah mendapat bantuan dengan jumlah yang memadai, bahkan berlebih, sedangkan tempat lainnya masih belum mendapat bantuan sama sekali. Proses penyaluran juga berjalan sangat lamban, karena setiap bantuan yang datang harus melalui proses pemeriksaan yang memakan waktu lama karena harus bongkar-muat berkali-kali.

Fenomena ini kurang-lebih sama dengan pengalaman di Aceh. Subkomisi Monitoring Komisi Darurat Kemanusiaan, yang dikoordinasikan Indonesia Corruption Watch (ICW), mencatat, hingga dua bulan pascatsunami, pengungsi yang mendapat bantuan pangan baru 350 ribu jiwa atau kurang-lebih 60 persen dari total pengungsi yang ada. Persoalannya, kondisi Aceh pascatsunami jauh lebih parah dengan akses jalan dan komunikasi lumpuh, sedangkan aparatur dapat dikatakan tidak berfungsi karena banyak yang menjadi korban empasan tsunami. Kondisi Yogyakarta dengan komunikasi yang langsung pulih pada hari kedua pascagempa, birokrasi pemerintahan tidak lumpuh, serta akses ke lokasi pengungsi relatif mudah, seharusnya pembagian bantuan bisa lebih baik, cepat, dan merata.

Tidak jelasnya koordinasi antarinstansi yang menangani bencana dapat membuka peluang terjadinya korupsi. Akibat koordinasi yang buruk, tidak ada yang tahu daerah mana saja yang sudah mendapat bantuan dan mana yang belum, apalagi jika pengiriman dan penerimaan bantuan tidak disertai bukti pengiriman dan penerimaan. Jenis bantuan yang sangat rentan bocor terutama dalam bentuk uang tunai dan jenis bantuan yang dapat diuangkan di kemudian hari. Pada tingkatan kebijakan, persoalan koordinasi dapat menyebabkan tumpang-tindihnya kebijakan, termasuk sasaran kebijakan. Proyek bencana dapat rawan manipulasi ketika proyek yang sama dengan sumber anggaran yang berbeda dilaksanakan di wilayah sasaran yang sama.

Akuntabilitas rendah
Rendahnya akuntabilitas penanganan bencana sudah mulai terlihat di masa awal penanganan, terutama soal data. Fenomena tidak meratanya pembagian bantuan, misalnya, menunjukkan lemahnya data yang dimiliki, baik jumlah korban, kondisi kerusakan, maupun penyebarannya. Pendataan kondisi pascabencana seharusnya menjadi prioritas. Pemerintah dan instansi yang bertanggung jawab atas penanganan bencana seperti Bakornas PB. Pendataan seharusnya dilakukan secara terkoordinasi dengan melibatkan semua pihak.

Data yang memadai sangat dibutuhkan terutama untuk penanganan pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Seberapa besar kebutuhan jatah hidup serta berapa lama jatah hidup ini dibagikan sangat bergantung pada penilaian kondisi pengungsi. Kondisi rumah, sekolah, pasar, dan instansi pemerintah yang rusak juga harus terdata dengan baik menyangkut jumlah, besarnya kerusakan, serta lokasinya. Kerawanan korupsi biasanya terjadi dengan penggelembungan jumlah pengungsi, jumlah kebutuhan perbaikan rumah korban, serta fasilitas umum. Hal ini kemudian diperparah dengan tidak adanya sistem pengawasan, baik oleh instansi terkait maupun masyarakat.

Pengalaman Aceh menunjukkan upaya pendataan yang melibatkan semua pihak, terutama masyarakat dan universitas, akan sangat membantu. Masyarakat korban adalah pihak yang paling mengerti kondisi kerusakan serta kebutuhan perbaikan sesuai dengan standar sosial dan ekonomi sebelum bencana. Keterlibatan universitas dapat membantu menilai mana rumah yang masih layak dan tidak layak serta pembangunan kembali dengan standar yang sesuai dengan posisinya terhadap kerawanan gempa.

Keputusan pemerintah untuk mengirimkan dana bantuan Rp 10-30 juta--untuk perbaikan rumah korban gempa--langsung ke kelompok masyarakat merupakan keputusan yang tepat. Dengan memberikan secara langsung kepada kelompok masyarakat, dana yang ada akan relatif lebih efektif dan efisien. Melibatkan pihak ketiga atau kontraktor dalam rekonstruksi rumah penduduk, selain akan mematikan partisipasi dan semangat gotong-royong, akan memboroskan anggaran karena sebagian besar anggaran hanya akan mengalir sebagai keuntungan pengusaha.

Ibrahim Fahmy Badoh, ANGGOTA BADAN PEKERJA INDONESIA CORRUPTION WATCH, TINGGAL DI YOGYA

Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 8 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan