Audit Sumbangan Dana Kampanye Hanya Wacana? [06/08/04]

Hiruk-pikuk kampanye pemilihan presiden beberapa waktu lalu yang serba meriah dan serba jor-joran seolah masih membuat orang banyak terlarut. Keterlarutan dalam sebuah event yang pada masa Orde Baru disebut dengan istilah pesta demokrasi. Saat itu, kampanye dimeriahkan panggung besar lengkap dengan para artis nan jelita, ditambah pernak-pernik kampanye serba gratis dan mobilitas tinggi para kandidat untuk sekadar mendatangi calon konstituen, lomba iklan kampanye di media massa, serta semua aktivitas yang jelas menuntut ongkos tidak sedikit.

KETIKA pesta demokrasi tengah berlangsung, tidak seorang pun ambil pusing dari mana uang untuk membiayai itu semua. Semua orang larut dalam keriaan dan sedapat mungkin mengambil kesempatan dan keuntungan.

Lantas dari mana kandidat punya cukup dana untuk membiayai semua itu? Pertanyaan itu mungkin baru muncul sejak beberapa minggu terakhir, ketika kampanye usai.

Dimulai dengan pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal dana sumbangan kampanye setiap pasangan kandidat calon presiden awal Juli ditambah kontroversi yang kemudian mengikutinya. Setelah itu, sekitar seminggu lalu, organisasi nonpemerintah Transparency International Indonesia (TII) dan Indonesia Corruption Watch (ICW), yang memaparkan kemungkinan adanya dana sumbangan kampanye capres-cawapres fiktif.

Seperti pernah diwartakan Kompas, baik TII maupun ICW menemukan sebanyak 22 perusahaan menyangkal pernah menyumbang dana untuk pasangan kandidat Megawati- Hasyim Muzadi. Besarnya mencapai sekitar Rp 9,75 miliar. Sementara, empat penyumbang perorangan, yang jika dijumlah besaran dananya mencapai Rp 75 juta, juga mengatakan hal serupa.

Untuk pasangan kandidat Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, setelah diverifikasi diketahui sebanyak lima perusahaan dengan total sumbangan mencapai Rp 2,2 miliar mengaku tidak pernah mengeluarkan dana sumbangan, dan sebanyak delapan penyumbang individu senilai total Rp 550 juta, juga mengatakan hal sama. Namun, hal itu dibantah cawapres Jusuf Kalla. Jumlahnya pun tidak sebesar itu. Menurut Kalla, tak ada dana fiktif. Yang terjadi adalah kesalahan alamat, kesalahan ketik, atau kesalahan dari penyumbang sendiri dalam memberikan alamat (Kompas, 5/8).

Berbagai keanehan terungkap dari hasil temuan ICW dan TII. Beberapa modus seperti meminjam nama, menggunakan nama fiktif, atau adanya indikasi sejumlah sumbangan dipecah menjadi beberapa nama baik perorangan atau perusahaan dengan maksud menyiasati aturan batas maksimal jumlah sumbangan.

Menanggapi laporan TII dan ICW mengenai penyumbang bermasalah itu, anggota KPU Mulyana W Kusumah yang juga ketua kelompok kerja dana kampanye mengatakan, Kami akan meminta data yang lebih spesifik dan rinci dari ICW dan TII, katanya.

Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti mengatakan, pokja akan membahas persoalan dan mengkaji data yang ada, selanjutnya membawa hasilnya ke dalam rapat pleno KPU. Dalam rapat pleno akan ditentukan, apakah perlu dilakukan penelitian terhadap laporan mengenai penyumbang fiktif tersebut atau tidak. Jika dimungkinkan, KPU dapat saja meminta Kantor Akuntan Publik untuk mengkaji lebih jauh data jumlah sumbangan dan penyumbang yang ada dalam laporan pasangan calon, kata Ramlan.

Mulyana menegaskan, penyumbang yang dikategorikan sebagai penyumbang tidak layak berdasarkan kemampuan ekonomi oleh TII dan ICW tidak berkaitan dengan sanksi. Oleh karena itu, KPU lebih cenderung menanggapi laporan yang menyebutkan adanya penyumbang fiktif. Pasalnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye, dapat dikenai sanksi pidana.

Tapi, harus diketahui dulu, apakah nama yang disebutkan oleh ICW dan TII sudah dikonfirmasi Kantor Akuntan Publik (KAP) sebelumnya. Kalau belum, KPU dapat meminta akuntan melakukan konfirmasi ulang, tutur Mulyana.

Sementara, penelusuran dan penyelesaian pelanggaran dana kampanye oleh pasangan calon yang dapat berujung pada diskualifikasi atau pembatalan pasangan calon oleh KPU, memiliki sejumlah keterbatasan. Selain batasan waktu, Mulyana juga menyebutkan bahwa pembatalan itu bukan semata-mata peristiwa hukum, melainkan juga memiliki implikasi politik yang sangat luas.

Hal itu disadari Panwas, selaku pihak yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu presiden serta meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang. Sebagaimana dikemukakan anggota Panwas Siti Noordjannah Djohantini, sehari setelah menerima laporan temuan dari ICW dan TII, Panwas sudah melangsungkan rapat pleno membahas laporan tersebut. Diputuskan, Panwas mengkaji dan menindaklanjuti laporan dengan meminta Panwas provinsi untuk mengonfirmasi data penyumbang fiktif yang dilaporkan TII dan ICW.

Konfirmasi yang dilakukan Panwas daerah itu merujuk pada laporan TII dan ICW, sehingga diutamakan pada tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, dan Lampung. Selain itu, Panwas juga akan meminta konfirmasi kepada KPU, apakah pelanggaran pasangan calon yang ditandai dengan adanya penyumbang fiktif itu sudah disampaikan kepada KPU.

Selanjutnya, Panwas akan memfokuskan perhatian pada laporan TII dan ICW, serta memastikan kebenarannya. Jika laporan itu benar-benar terbukti, maka Panwas akan mengkaji temuan dan bukti yang ada, kemudian meneruskan pelanggaran yang bersifat administratif kepada KPU dan pelanggaran bersifat pidana kepada polisi.

Problemnya adalah kasus ini tanpa bukti. Kalaupun sudah ada bukti, sulit berujung pada pemberian sanksi tegas pada pasangan calon dan tim mereka, kata Noordjannah.

Seandainya kasus tersebut berhasil diteruskan Panwas kepada KPU atau polisi, namun tanpa hasil-dalam arti tidak menghasilkan sanksi bagi tim pasangan calon-Panwas tetap bertekad memaparkan hasil klarifikasi dan kajian kepada publik. Pasalnya, masyarakat berhak mengetahui realitas sesungguhnya dari dana kampanye dan sumbangan dana kampanye, sebagai wujud pertanggungjawaban moral dari pasangan calon.

JAUH-jauh hari, anggota Panwas Didik Supriyanto sudah mengingatkan KPU mengenai besarnya kemungkinan rekayasa laporan dana kampanye. Waktu yang terbatas menjadi alasan pokok, disamping tidak adanya wewenang KPU untuk menelusuri secara langsung sumber dana kampanye tersebut.

Berdasarkan UU No 23/2003, dana kampanye dilaporkan pasangan calon kepada KPU selambat-lambatnya tiga hari setelah hari pemungutan suara. KPU wajib menyerahkan laporan dana kampanye kepada KAP selambat-lambatnya dua hari setelah KPU menerima laporan dana kampanye dari pasangan calon. Berikutnya, KAP menyelesaikan audit selambat-lambatnya 15 hari setelah menerima laporan dana kampanye dari KPU.

Namun, sebagai penyelenggara pemilu dan pelaksanaan undang-undang, KPU sendiri tidak pernah melakukan gebrakan dalam menyikapi sumbangan dan penggunaan dana kampanye Pemilu 2004. Sejak pelaporan saldo awal rekening khusus dana kampanye sampai dengan penyerahan laporan hasil audit Kantor Akuntan Publik, KPU tidak pernah memberikan peringatan atau sanksi tegas bagi peserta pemilu.

KPU hanya dapat mengumumkan laporan yang disampaikan pasangan calon kepada publik melalui pers. Selanjutnya, seperti selalu ditegaskan anggota KPU, biarlah masyarakat yang menilai. Dalih yang selalu ditegaskan, KPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi atas pelanggaran aturan dana kampanye.

Padahal, dalam suatu kesempatan jumpa pers untuk memaparkan hasil audit KAP terhadap laporan sumbangan dan penggunaan dana kampanye pasangan calon presiden, Ramlan dan Mulyana menegaskan, belum semua aturan tentang dana kampanye dipatuhi pasangan calon. Namun, KPU tidak dapat berbuat banyak.

Sikap KPU ini seiring dengan pernyataan Wakil Koordinator ICW Luky Djani, bahwa sampai saat ini belum ada upaya konkret KPU terhadap laporan dana kampanye. Padahal, hasil audit KAP nyata-nyata belum mulus, karena masih ada sejumlah aturan yang belum dipatuhi. Termasuk masih adanya sumbangan tidak jelas.

Misalnya, hasil audit dana kampanye pasangan Megawati-Hasyim menunjukkan, terdapat sumbangan tidak beridentitas sebesar Rp 5,32 juta yang berasal dari sembilan penyumbang. Sesuai aturan dalam UU No 23/2003, dana yang berasal dari penyumbang yang tidak jelas identitasnya, harus dilaporkan kepada KPU, selambat-lambatnya 14 hari setelah masa kampanye berakhir dan menyerahkan sumbangan tersebut ke kas negara.

Menurut Mulyana, tim pasangan Megawati-Hasyim sudah menyerahkan dana tersebut ke kas negara, sehingga tidak akan dikenai sanksi. Sebagaimana ditegaskan dalam UU No 23/2003, sanksi yang dapat dijatuhkan adalah sanksi pidana dan sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU. Dengan catatan, selama pasangan calon melanggar aturan UU, yang ditandai dengan tidak dikembalikannya sumbangan tanpa identitas penyumbang.

Maka, sumbangan dana kampanye dan auditnya hanya akan menjadi wacana. Pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon yang mungkin terjadi pun, hanya menjadi semacam data yang tidak bermakna, karena tidak pernah memiliki dampak dan sanksi yang tegas. Pada akhirnya, masyarakat yang bermimpi memiliki pemerintahan bersih yang diawali dengan niat dan modal awal yang bersih, segera tersadar dan paham, bahwa semua itu memang sekadar mimpi. (WISNU DEWABRATA/ DEWI INDRIASTUTI)

Tulisan ini merupakan features yang diambil dari Kompas, 6 Agustus 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan