Audit Khusus bagi Kepala Daerah

Sejujurnya, saya terkejut dan merasa sangat prihatin ketika melakukan kunjungan kerja ke daerah di masa reses pada akhir April hingga akhir Mei 2005. Berbagai manuver dan operasi politik para calon kepala daerah, terutama yang pernah menjabat, saat menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung memperlihatkan mereka begitu ''dermawan dan murah hati''. Dalam kegiatan-kegiatan yang disebut sebagai pengajian atau pengumpulan massa semacamnya dibagikan duit ratusan ribu rupiah per orang.

Kecuali bila orang-orang tersebut memperoleh warisan besar atau telah lama sukses dalam berbisnis, aksi semacam itu tidak dapat diterima akal bila hanya dibiayai dari gaji dan tunjangan resmi mereka. Bahkan, bila mereka memiliki penyumbang dan tim sukses yang sedemikian royal juga tidak mungkin secepat dan semudah itu mengumpulkan dana, sekaligus mendistribusikannya. Ini mengingat banyak daerah tersebut tidak memiliki fasilitas transportasi dan telekomunikasi yang memadai, meski dibandingkan dengan sebagian kawasan timur Indonesia sekalipun.

Sayangnya, semangat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan selalu terbentur dengan berbagai hambatan, baik bersifat sistemik maupun praktis dan personal. Padahal, baik selaku anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD), penulis berkewajiban untuk itu. Bagaimana pun, korupsi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan.

Tugas wakil daerah
Disebut begitu karena banyak orang telantar dan kelaparan karena berlanjutnya korupsi, suap menyuap dan sejenisnya. Perbuatan itu tidak manusiawi karena pada hakikatnya merampas hak milik orang lain. Bahkan, bila korupsi itu menimpa bantuan bencana alam bisa jadi akan ada yang meninggal karena bantuannya dikorup.

Disebut tidak adil sebab perbuatan-perbuatan itu mengakibatkan keuangan negara terkuras untuk mensubsidi mereka. Kemampuan negara merosot drastis untuk membantu rakyat miskin. Padahal, hak-hak mereka sudah dikorup sebelumnya. Kredit murah juga semakin sulit tersedia, dan kalau pun ada akan berbunga lebih tinggi, padahal seharusnya negara tidak perlu mengambil untung dari penyediaan kredit bagi masyarakat kecil. Akses pendidikan dan kesehatan semakin sulit. Begitu pula, ketersediaan infrastruktur dasar semacam air bersih, listrik, jalan, telekomunikasi dan transportasi. Akibatnya, kesenjangan ekonomi makin lebar.

Permasalahan ini sangat terasa bagi penduduk di daerah terbelakang, seperti kawasan barat Pulau Sumatra. Penyimpangan penyelenggaraan pemda berakibat lebih serius karena mereka sudah menderita sebelumnya. Oleh karena itu, semangat pemberantasan korupsi di daerah-daerah seperti itu seharusnya lebih baik lagi. Inilah yang harus menjadi perhatian utama bagi para wakil daerah (bedakan DPR sebagai wakil rakyat).

Bagaimanapun, para wakil daerah lebih mengetahui daerahnya sendiri ketimbang mereka yang memasuki parlemen dari jalur pusat dan selama ini tinggal di Jakarta. Apalagi, para wakil daerah yang dipilih langsung (tidak lewat partai politik) pastilah tokoh-tokoh di daerahnya, sehingga berkemungkinan lebih besar menyerap aspirasi dan masukan dari masyarakat, termasuk dari kalangan whistle-blower (peniup peluit), yakni orang-orang yang membuka kasus korupsi dan sejenisnya pertama kali.

Hal ini akan sangat terasa bila para wakil daerah itu rajin kembali mengunjungi warga daerahnya, dan tidak meninggalkan mereka begitu saja setelah duduk di parlemen. Bagi DPD sendiri, ada peluang melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah-daerah. Pasal 41 UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD menyatakan DPD mempunyai fungsi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu. Undang-undang yang dimaksud tidak sebatas UU yang khusus membahas daerah tertentu dan pemekarannya. Namun, juga bisa mengawasi hal-ihwal keuangan negara. Setiap APBN yang telah disetujui DPR dan disahkan pemerintah adalah undang-undang. Sementara setiap tahun semua pemda, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota, selalu menerima Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang merupakan turunan dari APBN.

Padahal, untuk banyak daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) justru menjadi sumber utama pemasukan APBD, dan bukan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekali pun hingga kini penyusunan APBN tidak wajib mengikutsertakan DPD saat pengambilan keputusan, namun masukan-masukan DPD haruslah diberikan tempat terhormat, terutama mengenai potensi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya di daerah-daerah, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Jadi, wewenang DPD tidak sebatas memberikan pertimbangan kepada DPR dalam penyusunan APBN (Pasal 44 UU 22/2003), tapi juga mengawasinya secara aktif pada bidang tertentu.

Hal ini diperkuat Pasal 47 UU 22/2003, dimana DPD berhak menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK. Pemeriksaan bisa merupakan pemeriksaan laporan keuangan, pemeriksaan kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu (Pasal 4 UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara). Memang, untuk laporan keuangan pemda, BPK menyerahkannya kepada DPRD, selain kepada kepala daerah (Pasal 17 UU 15/2004), namun untuk kategori pemeriksaan kinerja, apalagi untuk tujuan tertentu, misal investigasi korupsi, maka baik DPR, DPRD maupun DPD dapat meminta dan menerima hasil audit BPK. Selama ini, BPK memang sudah memberikan laporan Hasil Pemeriksaan Semester (Hapsem), baik untuk APBN, APBD, BUMN maupun BUMD. Namun, nanti dapat diperkuat dengan audit investigatif pada para penyelenggara negara.

Bila memungkinkan dapat digelar audit khusus untuk para calon kepala daerah yang ikut pilkada, setidaknya untuk periode pilkada mendatang. Pengawasan dan penyelidikan para kepala daerah juga dapat dilakukan KPTPK. Lembaga ini berwenang menyelidiki, menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara (Pasal 11 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), sementara gubernur, wakil gubernur, bupati, walikota termasuk penyelenggara negara (Pasal 2 dan Penjelasannya pada UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Sebenarnya, meski tidak mudah, KPK sudah dapat bertindak dalam masa kampanye ini karena dengan bukti permulaan yang cukup (minimal dua alat bukti), KPK dapat menggelar penyelidikan (Pasal 43 dan 44 UU 30/2002).

Peran DPD
Adanya arus uang yang sangat deras di masa kampanye bukan hanya merupakan bahan penyelidikan Pawas Pilkada ada dan KPUD, tapi juga semua aparat hukum dan lembaga penyelidik semacam KPTPK. Kesuksesannya sangat tergantung partisipasi masyarakat. Bahkan, semua kepala daerah dan wakilnya, juga sekretaris daerah juga bisa menegakkan fungsi pengawasan. Ini sesuai Pasal 27 UU No 32/2004 tentang Pemda bahwa mereka wajib menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik, serta melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah. Penulis sendiri telah menyurati Gubernur Sumatra Utara selaku wakil pemerintah pusat (Pasal 37 UU 32/2004) untuk memperkuat penegakan fungsi kontrol terhadap para bupati, wakil bupati, para walikota dan wakil wali kota, serta para sekretaris daerah kabupaten/kota.

Masalahnya, jalur pengawasan DPD atas penyelenggaraan pemerintahan daerah belum dioptimalkan. Barangkali, karena lembaga DPD masih berusia beberapa bulan, sehingga sistem dan perangkat kerja yang memadai belum dapat diterapkan. Sosialisasi juga belum optimal. Jangankan kewenangan DPD dan agenda mereka untuk memperkuat posisinya di Sidang Umum MPR tahun ini, nama dan eksistensi DPD pun mungkin belum diketahui banyak orang, termasuk di ibu kota. Padahal, dalam Sidang Paripurna ke-17 DPD tanggal 23 Maret 2005 DPD telah berhasil menyusun pedoman pengawasan DPD atas pelaksanaan UU tertentu. Ini akan kian kuat karena sekalipun belum berumur enam bulan, DPD telah mampu menyusun kode etiknya, bahkan menjadikannya sebagai keputusan resmi pertama dalam sejarah DPD (Keputusan DPD RI Nomor 1/DPD/2005).

Diakui, kemampuan para anggota DPD dalam melakukan investigasi dan kontrol juga perlu ditingkatkan. Untuk itu, rapat dengar pendapat dengan banyak pakar dan masyarakat perlu ditingkatkan di masa sidang berikutnya. DPD juga perlu menindaklanjuti setiap temuan dan masukan dari daerah-daerah. Masalah lain adalah kurangnya kerelaan hati berbagai pihak dengan bertambahnya lembaga dan orang yang berwenang mengawasi. Selain itu, tindakan nyata pemberantasan korupsi memang sangat minim dibanding berita dan wacana soal itu. (Raja Inal Siregar, Anggota DPD dari Sumatra Utara)

Tulisan ini diambil dari Republika, 9 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan