Aspek Hukum Penyelesaian Kredit Macet
DUNIA perbankan Indonesia kembali dilanda kredit bermasalah. Berdasarkan audit BPK, setidaknya 24 kredit yang disalurkan Bank Mandiri senilai Rp2 triliun lebih macet. Pengucuran kredit tersebut diduga diwarnai kolusi antara pejabat Bank Mandiri dan debitur. Hal ini terindikasi dari adanya permohonan kredit yang semula dinyatakan tidak layak, namun kredit tetap dikucurkan. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap direksi Bank Mandiri dimaksudkan untuk menguak keterlibatan mereka dalam pengucuran kredit tersebut.
Sebenarnya skandal Bank Mandiri hanya sebagian kecil dari segudang kasus kredit macet yang terjadi di lembaga perbankan Indonesia. Masih banyak konglomerat menikmati fasilitas kredit, baik yang dikucurkan karena KKN atau kroniisme yang jumlahnya boleh jadi melebihi kredit Bank Mandiri.
Kita patut prihatin melihat tingginya angka kredit macet di Indonesia. Yang lebih memprihatinkan lagi, dari sejumlah kasus kredit macet tersebut, sebagian besar yakni sekitar 60-70%, diderita bank pemerintah.
Berbagai upaya telah ditempuh pemerintah untuk menekan kuantitas kredit macet di lembaga perbankan. Pemerintah pernah membentuk Tim Supervisi Kredit Bermasalah Bank Pemerintah guna memantau penyelesaian kredit macet. Kemudian diluncurkan program sistem informasi kredit (SIK) antarbank untuk mengetahui nasabah (debitur) yang mempunyai catatan buruk karena pernah memacetkan kredit.
Manakala langkah preventif mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan kredit macet, ditempuhlah upaya represif yaitu diselesaikan melalui pengadilan. Upaya tersebut dilakukan mengingat pengadilan merupakan benteng terakhir bagi setiap orang untuk menyelesaikan segala persoalan, termasuk kredit macet.
Sebelum ditempuh jalur pengadilan, biasanya bank mencoba mengupayakan penyelesaian secara musyawarah dengan melakukan rescheduling, reconditioning, dan restructuring terhadap perusahaan (debitur) penunggak kredit. Apabila upaya tersebut tidak juga berhasil, tidak tertutup kemungkinan diselesaikan melalui jalur hukum dengan melibatkan institusi pengadilan.
***
Sebelum ditempuh penyelesaian melalui jalur hukum, perlu kiranya diketahui apakah persoalan kredit macet termasuk dalam lingkup hukum perdata atau pidana. Pada asasnya kredit macet merupakan persoalan hukum perdata, yaitu hubungan personal antara perseorangan atau badan hukum yang satu dengan lainnya di bidang harta kekayaan.
Dalam terminologi hukum perdata hubungan antara debitur (peminjam kredit) dan kreditor (bank atau LKBB selaku pemberi kredit) merupakan hubungan utang piutang yang lahir dari apa yang disebut perjanjian, yakni kedua belah pihak berjanji untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing.
Pihak debitur dengan memperoleh kredit dari bank berjanji kepada kreditor (bank) untuk mengembalikan kredit beserta biaya dan bunga sesuai waktu yang telah disepakati bersama. Untuk menjamin dilaksanakannya janji tersebut debitur memberikan pengikat yang lazim disebut jaminan atau agunan, baik kebendaan maupun perorangan.
Dengan adanya jaminan tersebut, manakala debitur ingkar janji, yaitu tidak memenuhi kewajiban sesuai perjanjian, kreditor dapat menuntut pemenuhan utang dari barang jaminan. Kreditor dapat meminta dilakukan penyitaan dan penjualan lelang atas agunan dan aset lain milik debitur jika agunan tidak mencukupi untuk membayar utang.
Kasus kredit macet, yang pada dasarnya merupakan persoalan hukum perdata, tidak tertutup kemungkinan bersinggungan dengan hukum pidana. Tindakan cepat Kejaksaan Agung yang menjadikan empat debitur Bank Mandiri sebagai tersangka didasarkan pada adanya indikasi kuat telah terjadi tindak pidana dalam pengucuran kredit tersebut.
Aspek kriminal dari kasus kredit macet umumnya terjadi pada saat proses permohonan kredit dan pada saat pengucuran kredit. Ketika permohonan kredit diajukan, tidak jarang terjadi kenakalan debitur, baik sendiri atau atas kerja sama dengan pejabat bank, seperti melakukan kolusi dan konspirasi dalam penyaluran kredit.
KKN antara debitur dan pejabat bank agaknya sudah mentradisi dalam penyaluran kredit, terutama di bank pemerintah. Akibat diwarnai KKN maka banyak terjadi pengucuran kredit meski tanpa didahului akad kredit atau tanpa agunan yang safe. Dalam skandal Bapindo yang melibatkan Edy Tanzil beberapa tahun lalu terjadi penyuapan uang ratusan juta kepada direksi Bapindo dan pejabat terkait guna mengucurkan kredit Rp1,3 triliun.
Menurut Pasal 49 ayat 2 UU Perbankan (UU No 7/1992 jo UU No 10/1998) pejabat bank (komisaris, direksi, atau pegawai), baik pada bank swasta atau bank pemerintah, yang melakukan kolusi dengan debitur untuk mempermudah pemberian kredit, diancam penjara minimal 3 tahun maksimal 8 tahun dan denda minimal Rp5 miliar maksimal Rp100 miliar.
Apabila kolusi dilakukan oleh pejabat bank pemerintah yang mengakibatkan kerugian negara, dapat dijerat UU Korupsi (UU No 3/1971 jo UU No 31/1999) dengan ancaman hukuman seumur hidup, atau penjara paling lama 20 tahun dan denda paling tinggi Rp30 juta. Bahkan, jika korupsi tersebut merugikan negara dalam jumlah amat besar dan berpengaruh luas terhadap kehidupan masyarakat, diancam pidana mati.
Jadi, sudah jelas bahwa perangkat hukum pidana dan perdata telah memberikan pedoman dalam penyelesaian kasus kredit macet. Persoalannya sekarang adalah apakah peranti hukum yang tersedia tersebut telah didayagunakan secara optimal dan konsisten oleh pemerintah dalam menyelesaikan kasus kredit macet di Indonesia.
Penyelesaian secara internal, seperti rescheduling, reconditioning, dan restructuring tidak boleh mengabaikan aspek hukum perdata jika memang perlu dilakukan. Apabila kasus kredit macet semata-mata karena masalah perdata murni, penyelesaian melalui jalur hukum perdata hendaknya ditempuh dengan baik. Kesemuanya itu dimaksudkan agar skandal kredit macet dapat diminimalisasi dari panggung perbankan kita.
Namun, upaya penyelesaian melalui jalur hukum perdata tidak boleh menutup jalur hukum pidana jika memang terdapat indikasi terjadi tindak kriminal. Apabila dalam suatu kasus kredit macet terdapat bukti-bukti awal terjadinya pelanggaran hukum pidana, perbuatan tersebut harus ditindak secara tegas dan transparan.
Inkonsistensi penegakan hukum di samping mengakibatkan berlarut-larutnya penyelesaian kasus kredit macet, juga dapat menjadikan perangkat hukum kita mandul sehingga tidak mempunyai daya upaya untuk memaksa debitur nakal memenuhi kewajibannya. Ujung-ujungnya, yang dirugikan adalah lembaga perbankan dan negara secara keseluruhan.(M Khoidin, alumnus Program S-3 Ilmu Hukum Unair Surabaya)
Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 9 Mei 2005