Aspek Hukum Kegagalan Tes CPNS di Jawa Timur

Profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ternyata diimpikan banyak orang. Terbukti dari membludaknya pendaftar ketika lowongan PNS dibuka, bahkan sampai ada yang meninggal dunia seperti tahun 1987. Demikian pula ketika dilakukan penerimaan CPNS di Provinsi Jatim tahun 2004, jumlah peserta jauh melebihi kapasitas penerimaan. Sudah barang tentu para peserta tes CPNS harus bersaing ketat mengalahkan peserta lain.

Sayangnya proses testing penerimaan CPNS juga sama sulitnya seperti saat mendaftar dan meniti karir sebagai PNS. Terbukti dari gagalnya pelaksanaan tes CPNS di Jatim yang seharusnya digelar serentak 24 November 2004. Kegagalan itu terjadi akibat tak siapnya panitia penyelenggara tes yang disebabkan belum selesainya naskah ujian yang harus dibagikan kepada seluruh peserta tes.

Setelah ditunda dua kali dalam hitungan jam, tes tetap tidak dapat dilangsungkan sehingga akhirnya Gubernur Jatim memutuskan menunda tes sampai 2 Desember 2004. Penundaan tsb tentu merugikan peserta tes CPNS yang sudah mengeluarkan tenaga dan biaya, lebih-lebih lagi bagi peserta luar kota. Juga kerugian imateriil berupa kekecewaan dan perasaan stres akibat penundaan tsb.

Kegagalan tes CPNS itu menandakan manajemen panitia dan penanggung jawab tes CPNS masih amburadul. Memang kesalahan utama ada pada perusahaan yang bertugas mencetak soal-soal tes, namun Pemprov Jatim dan panitia tak dapat lepas dari tanggung jawab. Apalagi pemberian pekerjaan kepada PT Panca Wira Usaha (PWU) selaku pencetak naskah ujian dilakukan melalui penunjukan langsung tanpa tender.

Aspek Perdata
Dalam perspektif hukum kegagalan pelaksanaan tes CPNS tsb dapat ditinjau dari aspek perdata dan pidana. Dari aspek hukum perdata merupakan wanprestasi oleh PT PWU selaku pencetak naskah ujian yang tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai perjanjian. Pemberian order dilakukan melalui penerbitan Surat Perintah Kerja (SPK) kepada PT PWU dan telah disanggupi untuk mencetak soal-soal ujian sesuai kontrak.

PT PWU menyerahkan pekerjaan pada anak perusahaannya, Percetakan Puri. Karena banyaknya jenis item soal ujian yang harus dicetak serta adanya libur Lebaran, maka pencetakan naskah tidak dapat diselesaikan tepat waktu. Seharusnya hal itu dapat diprediksi oleh PT PWU dan Percetakan Puri, namun mereka tetap percaya diri dapat menyelesaikan pekerjaan.

Seharusnya PT PWU tak rakus menyelesaikan pekerjaan jika dirasa tak mampu. Selaku penerima order (proyek) PT PWU sebenarnya dapat membagi pekerjaan kepada perusahaan lain sehingga prestasi (pekerjaan) dapat diselesaikan sesuai isi perjanjian (SPK) yang diberikan pemprov. Namun hal itu tidak dilakukan PT PWU sehingga dia harus menanggung sendiri semua kerugian yang timbul.

Kegagalan menyerahkan soal ujian CPNS sesuai perjanjian jelas menimbulkan kerugian pada pemprov baik materiil maupun moril. Atas kerugian tsb PT PWU dapat dituntut membayar ganti kerugian materiil maupun immateriil. Kerugian materiil dapat dihitung sesuai jumlah kerugian yang diderita, sedang kerugian immateriil tidak dapat diukur secara pasti, namun tetap dapat dikalkulasi dalam bentuk sejumlah uang.

Praktis soal ujian yang sudah tercetak tidak dapat dipakai untuk pelaksanaan tes tanggal 2 Desember 2004. Pada pelaksanaan tes mendatang harus dipakai soal-soal baru dan itu harus dicetak ulang lagi. Sudah barang tentu biaya pencetakan soal ujian baru seluruhnya harus ditanggung PT PWU --termasuk jika pencetakan diserahkan kepada perusahaan lain-- tanpa hak untuk menuntut biaya tambahan atau pembaharuan nilai kontrak.

Akibat wanprestasi PT PWU tak hanya merugikan Pemprov Jatim, juga merugikan ratusan ribu peserta tes yang sudah telanjur datang ke tempat tes. Kerugian yang diderita peserta tes CPNS dapat dituntut kepada Pemerintah Provinsi (Gubernur) Jawa Timur selaku penanggung jawab. Dalam peristiwa tsb gubernur dapat dikualifikasikan melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad).

Menurut pasal 1365 KUH Perdata setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya memberikan ganti kerugian. Gugatan atas dasar 1365 KUH Perdata harus dapat dibuktikan adanya 4 unsur, yaitu unsur perbuatan, unsur melanggar hukum, unsur kerugian dan kausa antara perbuatan dan kerugian.

Keempat unsur perbuatan melanggar hukum tsb tidak terlalu sulit dibuktikan dalam kasus penundaan tes CPNS oleh Gubernur Jatim. Para peserta tes CPNS dapat mengajukan gugatan secara perorangan atau gugatan kelompok (class action). Hanya saja karena objek atau materi sengketanya bersifat homogen dan jumlah penderita kerugian sangat banyak, maka akan lebih menguntungkan jika diajukan gugatan class action.

Kerugian materiil yang diderita masing-masing peserta tes CPNS tidaklah terlalu besar sehingga tidak efisien jika diajukan gugatan perorangan. Pengajuan class action akan lebih efektif dan menghemat biaya dibanding pengajuan gugatan perorangan oleh masing-masing peserta tes CPNS. Di samping itu tidak semua peserta tes CPNS yang gagal tsb mau mengajukan gugatan, sehingga class action merupakan suatu pilihan tepat.

Ketentuan mengenai class action diatur dalam Peraturan MA No. 1 Tahun 2002. Menurut Pasal 1.a Perma No. 1/2002, gugatan kelompok adalah pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

Pengajuan gugatan class action dapat dikuasakan kepada advokat atau kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang yang sesuai kepentingan penggugat. Di samping itu seorang atau beberapa orang penderita dalam kelompok tsb juga dapat diangkat sebagai wakil kelompok untuk mengajukan gugatan class action.

Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Pihak yang menjadi wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Sedang anggota kelompok adalah sekelompok orang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan.

Penggugat dapat meminta tergugat membayar ganti kerugian kepada seluruh anggota kelompok. Apabila dikabulkan, hakim wajib menentukan jumlahnya, kelompok dan atau subkelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh wakil kelompok dalam menetapkan dan mendistribusikan ganti rugi, termasuk kewajiban melakukan pemberitahuan dan notifikasi kepada anggota kelompok.

Pihak yang kalah dapat melaksanakan putusan secara sukarela, yakni memenuhi diktum dalam putusan hakim, termasuk pembayaran ganti kerugian. Namun jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka penggugat dapat meminta kepada Ketua PN agar mengeksekusi putusan secara paksa. Ketua PN wajib melakukan eksekusi dan menjamin pemohon eksekusi memperoleh hak-haknya.

Meski peserta tes CPNS yang dirugikan mempunyai hak untuk mengajukan gugatan, namun belum tentu hak tsb digunakan. Mereka diperbolehkan mengikuti tes CPNS saja sudah dianggap sebagai pemberian peluang untuk mengubah nasib. Kalaupun akhirnya gagal dalam tes atau tidak lulus seleksi, baik karena dicurangi atau memang tidak layak, hal itu diterima sebagai nasib dan suratan takdir. Mereka tidak terpikir untuk mengajukan gugatan.

Aspek Pidana

Peristiwa kegagalan pelaksanaan tes CPNS juga terdapat kemungkinan mengandung unsur pidana. Seperti ramai diberitakan bahwa pemberian order kepada PT PWU dilakukan melalui penunjukan langsung, tanpa tender seperti yang ditentukan oleh peraturan yang berlaku. PT PWU langsung diberi SPK oleh Panitia (Pemprov Jatim) untuk mencetak soal ujian CPNS dengan nilai kontrak Rp 959 juta.

Bila dalam proses penunjukan PT PWU terdapat unsur Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), maka dapat dijerat UU No 28/ 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Setiap penyelenggara negara melakukan KKN dipidana dengan penjara minimal 2 tahun maksimal 12 tahun dan denda minimal Rp 200 juta maksimal Rp 1 miliar.

Di samping itu harus diteliti apakah kasus gagalnya pelaksanaan tes CPNS terdapat unsur sabotase dan kesengajaan oleh sindikat mafia untuk memperkeruh keadaan seperti ditengarai Menko Kesra Alwi Sihab. Meski kemungkinan tsb sangat kecil, namun tak ada salahnya jika aparat hukum menyelidiki kemungkinan adanya unsur sabotase, baik oleh pihak pencetak soal ujian atau pihak lain, karena dampak dan akibatnya sangat luas.

Berdasarkan hasil inspeksi mendadak Komisi A DPRD Jatim ke Percetakan Puri, ternyata proses pencetakan dilakukan secara serabutan sehingga membuka peluang terjadinya pembocoran soal tes. Padahal, dokumen yang dicetak berkualifikasi rahasia dan sangat rahasia. Peluang terjadinya kebocoran atau pembocoran soal-soal tes dengan imbalan sejumlah uang sangat terbuka.

Meski pihak PT Puri mengaku telah mengarantina petugas pencetak, kemungkinan terjadinya pembocoran soal tes CPNS dapat saja terjadi. Dalam pelaksanaan tes CPNS di beberapa daerah, seperti di Jogjakarta diberitakan terjadi pembocoran soal dan jawaban. Beberapa peserta mengaku telah memperoleh bocoran soal dan jawaban dari familinya yang menjadi pejabat atau bekerja di percetakan.

Menurut pasal 322 dan 323 KUHP perbuatan membocorkan rahasia yang menurut jabatan atau pekerjaannya wajib dirahasiakan, dipidana dengan penjara paling lama 9 bulan. Demikian pula jika pegawai suatu perusahaan membocorkan rahasia di tempat kerjanya maka diancam hukuman sama. Pasal tsb dapat dijeratkan pada petugas atau pegawai percetakan yang membocorkan rahasia negara yang dicetak di perusahaannya.

Peristiwa gagalnya tes CPNS di Provinsi Jatim kemarin memberi pelajaran kepada pemerintah agar lebih baik dalam menjalankan tugas sesuai asas-asas pemerintahan yang baik. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi dan koordinasi dalam penyelenggaraan tes serupa pada masa mendatang. Di sisi lain apabila terdapat unsur pidana dalam kasus gagalnya tes CPNS tsb aparat kepolisian harus melakukan pengusutan secara tuntas.(Oleh M. Khoidin, Dosen FH UJ dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Putra Bangsa Surabaya)

Tulisan ini diambil dari Surya, 30 November 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan