Asep Iwan Iriawan, Berhenti dari Hakim karena Sering Melihat Ketidakberesan

Gerah Permainan Pasal, Simpan Palu Ketua MA Pertama

Nama hakim Asep Iwan Irawan pernah menjadi momok para terdakwa kasus narkoba. Selama 1999-2000, lima bandar gede dia vonis mati di PN Tangerang. Tapi, sejak empat tahun lalu namanya menghilang dari dunia penegakan hukum Indonesia. Ke mana dia?

Anggit Satriyo-Ridlwan, Bandung

EMPAT TAHUN lalu Asep Iwan Iriawan mengambil keputusan sangat penting. Dia mundur dari profesi sebagai hakim yang telah digelutinya belasan tahun. Padahal, saat itu karir yang ditekuninya tengah berada di puncak. Karir tersebut memberikan kehormatan dan kewibawaan bagi dirinya. Jabatan yang disandang ketika itu juga amat terpandang, yakni hakim dengan kedudukan sebagai wakil ketua Pengadilan Negeri Pemalang, Jateng.

Sebagai hakim, prestasi pria kelahiran Bandung itu juga terbilang gemilang. Sebab, jabatan itu diraih saat usianya masih terbilang muda, yakni 44 tahun. Hakim-hakim lain biasanya meraih posisi itu pada usia sekitar 50 tahun. Namun, karena tak kerasan dengan lingkungan peradilan yang disebutnya selalu bertentangan dengan hati nurani, Asep memutuskan keluar.

Asep memilih jalan hidupnya sendiri dengan mengajar di berbagai universitas swasta di Jakarta dan Bandung. Tentu, yang diajarkan juga tak jauh dari ilmunya selama ini, yakni mata kuliah hukum.

"Saya ingin menjadi orang bebas. Saya tak bisa bekerja dengan menentang hati nurani. Lama-lama juga makan ati kan?" ujar Asep kepada Jawa Pos di ruang dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung.

Dia mengungkapkan, profesi barunya sebagai dosen adalah dunia dinamis yang sesuai dengan hatinya. "Sekarang hidup yang saya jalani membikin saya lebih awet muda. Tiap hari bertemu mahasiswa yang cantik-cantik," jelas Asep yang wajahnya memang terlihat lebih muda dari usianya yang kini 48 tahun itu.

Dari Senin hingga Kamis, Asep mengajar di Universitas Trisakti, Jakarta. Pada akhir pekan dia harus ke Bandung. Di sana dia mengajar di beberapa universitas. Selain Universitas Parahyangan, dia mengajar di Unikom dan beberapa universitas swasta lain.

Gaya mengajar Asep yang santai dan sesekali diselingi humor juga membuatnya populer di kalangan mahasiswa. "Kata mereka (mahasiswa) saya seperti anak muda. Saya selalu bicara dengan gaya mereka," jelasnya. Asep juga gemar mengajak mahasiswa berdiskusi soal kasus hukum yang lagi panas. "Mereka biasanya duduk melingkar mendengarkan analisis kasus dari sisi hukum," jelasnya.

Yang pasti, melihat Asep sekarang, sama sekali tak disangka bahwa sosok tersebut dulu adalah orang yang paling ditakuti para terdakwa di pengadilan. Di tangan Asep, terdakwa pasti diganjar vonis berat.

Asep bercerita bahwa karirnya sebagai hakim banyak dipengaruhi para dosennya. Salah satunya adalah Prof R Soebekti, seorang petinggi di Universitas Parahyangan yang juga mantan hakim agung. Nama Soebekti juga pasti dikenal seluruh mahasiswa di tanah air yang pernah belajar hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tebalnya hampir lima sentimeter itu merupakan salah satu karya besarnya.

"Saya masih ingat. Dulu Pak Soebekti memberikan nasihat, Sep (Asep) kalau kamu mau jadi orang bebas, berkarirlah sebagai hakim," jelas pria yang masih betah melajang itu. Nasihat itu dituruti, dan Asep muda pun mengawali karir sebagai hakim di Pengadilan Negeri Bandung, tak jauh dari tempat tinggalnya.

Berkarir sebagai hakim, Asep mengaku beruntung. Istilahnya dia tak pernah "dibuang" ke PN yang jauh dari rumahnya. "Paling jauh saya dimutasi di PN Muara Enim," ujarnya. Selebihnya, dia bertugas sebagai asisten ketua Mahkamah Agung (MA) hingga pengadil di PN Tangerang dan Jakarta Pusat.

Saat bertugas di PN Tangerang sekitar 1999 dan 2000, palu yang diketukkan Asep menghukum mati lima terdakwa narkoba. "Lima orang di sana (PN Tangerang) saya hukum mati. Ini murni hati nurani yang bicara," jelasnya.

Namun, setelah putusan itu, berbagai kecaman datang silih berganti, Asep tak gentar. "SMS ancaman berdatangan. Saya balas saja, kalau berani datang ke kantor (pengadilan). Buktinya, juga nggak pernah nongol," ucapnya.

Sejak itu PN Tangerang mulai dikenal sebagai momok bagi para terdakwa narkoba. Tahun lalu saja, 34 terdakwa narkoba "dimatikan" oleh ketukan palu para hakim PN tersebut.

Sebelum menjatuhkan putusan mati, Asep yang menjadi ketua majelis hakim mengaku menyempatkan salat tahajud. "Saya salat tahajud dulu. Begitu saya konsultasikan dengan anggota, ternyata mereka sepakat (menjatuhkan hukuman mati)," ungkap pria yang seangkatan dengan mantan hakim Pengadilan Tipikor Teguh Haryanto itu. Teguh dikenal karena vonis beratnya terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang terlibat kasus kongkalingkong dengan si ratu lobi Artalyta Suryani.

Asep juga masih mengingat palu yang diketukkan kala itu. Palu itu merupakan pemberian mantan hakim agung Gunanto. Dia merupakan sosok hakim agung yang mendidik para hakim muda agar berpikir progresif.

Palu tersebut, kata Asep, dulu selalu digunakan ketua MA pertama Kusuma Atmaja. "Pak Gun bilang, bawa palu ini, tapi jangan disalahgunakan," ucapnya. Amanah itu digenggam Asep hingga kini. Setelah keluar sebagai hakim, Asep tak menurunkannya lagi ke teman seprofesi yang lain. Dia memilih menyimpan palu tersebut hingga sekarang. "Masih ada di rumah saya," jelasnya.

Sebagai hakim yang berusia relatif muda, dia juga sudah menginjakkan kaki di PN Jakarta Pusat. Bertugas di pusat adalah dambaan para kebanyakan hakim. Maklum, di pengadilan itu mereka akan menangani kasus-kasus besar. Berbeda halnya bagi hakim daerah, karena kasus yang mereka tangani biasanya hanya kasus kecil.

Di pusat, setidaknya dia menyidangkan dua kasus besar, yakni dugaan korupsi Cessie Bank Bali yang melibatkan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Sjahril Sabirin. "Gara-gara kasus ini saya pernah dinilai sebagai orangnya BI," katanya. Maklum, saat bertugas sebagai asisten ketua MA, kantornya banyak bekerja sama dengan bank sentral itu dalam pelaksanaan berbagai seminar. Sjahril divonis tiga tahun penjara.

Kasus besar lain adalah Hendra Rahardja yang terlibat dalam dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Harapan Sentosa (BHS) senilai Rp 305 miliar. Kakak kandung buron Edi Tansil itu pun divonis seumur hidup.

Dan, empat tahun lalu, ketika menjabat wakil ketua PN Pemalang, dia memilih mengundurkan diri. Apa sebabnya? Dia menyebut banyak hal. Di antaranya, nuraninya selalu berperang dengan tugasnya sebagai hakim. "Saya tidak mau makan hati terus-terusan. Saya lebih baik keluar," jelasnya tanpa mau menjelaskan apa yang dimaksud dengan makan hati.

Saat mengambil keputusan mundur, dia sempat dipanggil petinggi MA. Mereka meminta agar Asep mengurungkan niat itu. Namun, karena tekadnya sudah bulat, Asep pun keluar dari institusi yang membesarkannya. "Saya hanya tulis surat pengunduran diri, lalu keluar begitu saja," jelasnya.

Asep memang keras dalam bersikap. "Saya selalu mengomel kalau ada yang nggak pas dengan putusan mereka (para hakim). Sikap itu saya ungkapkan saja dengan terbuka kepada siapa saja, termasuk pimpinan," jelasnya. Baginya, peradilan adalah persoalan memutuskan hitam dan putih yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Banyak hal yang membuat Asep mengkritisi institusinya saat itu. Misalnya, adanya hakim yang bermain-main pasal. "Seharusnya bandar narkoba, tapi diputus sebagai pemakai. Ini sudah nggak benar," jelasnya. Namun, dia sendiri tak pernah melihat bagaimana mafia peradilan itu. "Terasa baunya. tapi tak bisa dilihat," ungkapnya.

Dia mengklasifikasikan tingkah para hakim menjadi tiga. Yakni, hakim yang pintar plus jujur. Kedua, tidak begitu pintar namun juga setengah jujur. Yang paling parah adalah tidak pintar dan tidak jujur. "Yang terakhir itu yang parah dan membahayakan," ucapnya.

Sikap Asep itu membawa akibat. Positifnya, pimpinan menjadi segan mengintervensi sikapnya. Akibat lain, dia dicueki oleh rekan-rekan seprofesinya. (*)

Sumber: Jawa Pos, 25 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan