Artijo Alkostar:

Sistem penegakan hukum Indonesia perlu ditinjau ulang karena belum banyak berarti mengatasi dan menjerat pelaku korupsi. Hal ini disebabkan sistem penegakan itu masih berasas oportunistis dan terkesan feodalis.

Konsekuensi atas penerapan asas itu adalah munculnya fenomena tebang pilih. Seorang jaksa bisa memilih siapa yang akan dituntut atau yang tidak akan dituntut. Tidak heran jika banyak warga masyarakat menilai pemberantasan korupsi di Indonesia masih kurang adil dan merata, satu dituntut dan diadili, tetapi yang satu lagi dibiarkan saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seharusnya penindakan para koruptor di kalangan pejabat tinggi tidak perlu meminta izin presiden. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27, yaitu segala warga negara berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintahan. Untuk itu sistem penegakan hukum yang berasas oportunistis dan terkesan feodalis itu harus ditinjau ulang dan asas oportunistis diganti dengan asas legalis dengan belajar dari Jerman.

Itulah inti dari disertasi hakim agung Artidjo Alkostar yang diuji oleh tim penguji program doktor Universitas Diponegoro. Di kantor ICW Jalan Kalibata Timur IV/D No 6 di siang yang panas pada Rabu, 23 Mei 2007, Artidjo mendiskusikan disertasinya tersebut dengan segenap staf ICW dan beberapa wartawan media. Illian Deta Artasari dan Lais Abid mencoba mencatatnya untuk antikorupsi.org.
---------------------
Artidjo Alkostar
Kalau melihat hukum sebagai holoyuridis, itu seperti buah yang berisi. Bagaimana menegakkan hukum dan keadilan seperti mengeluarkan isi dari kulitnya. Meskipun setiap hukum ada dalil menimbang bahwa korupsi sudah sistematik dan merampas hak-hak rakyat, itu artinya hukum tak lepas dari lingkungan sosial. Setiap penegak hukum mempunyai ideologi. Artinya konsepnya dia pada nilai yang dipakai. Ada yang mengandalkan nilai logis saja atau UU, tapi ada juga yang pada keadilan.

Mengapa saya dulu berbeda dalam mengadili Soeharto, karena ada masalah ideologi, yaitu sistem nilainya. Seperti kue lapis, ada yang menempatkan diatasnya nilai moralnya. Ada pertanyaan dalam disertasi saya, yaitu teori yang membedakan pelaku dan pertanggungjawaban pidana. Itu dari pancingan Prof Barda, pembimbing saya itu, bahwa perbuatan pidana dengan pelaku itu berbeda. Jadi saya masih ingat Pengadilan Tinggi mengadili kasus Soeharto, kan Soeharto harus hadir. Kalau antara pelaku dan pertanggungjawaban itu dibedakan, maka pelakunya tidak hadir, tapi perbuatannya diadili. Terakhir kan juga ada perdebatan apakah Soeharto harus diadili in absentia. Itu ada landasan teoritisnya. Ini bagian dari perdebatan akademik

Korupsi politik itu kan termnya baru, di KUHP tidak ada. Ada kaitan-kaitan saja, kalau dikaitkan kejahatan jabatan yaitu suap dan kejahatan politik. Bertumpang disitu.

Korupsi politik ini kualifikasinya adalah subyek pelakunya. Suatu korupsi yang dilakukan oleh seseorang yang punya posisi politik baik raja, atau perdana menteri. Di seluruh negara di dunia pernah saya komparasikan, baik di Pakistan Benazir Bhuto. Itu subyek pelakunya. Dengan cara melawan hukum. Dampak korupsi politik akan beda dengan dampak yang lain: karena dampaknya luas, dampak politik, ekonomi, dan moral karena akan ditiru. Perbuatan pejabat itu kan mudah ditiru. Kalau di Indonesia, ada pejabat diadili kemudian sakit, maka banyak yang meniru. Tadi saya baca, ketua DPRD Sidoarjo, semaput setelah tahu diivonis MA. di PN bebas, di MA terkena. Jadi banyak sekali itu yang ditiru masyarakat

Kekuasaan itu kan luar biasa. Dalam agama diperingatkan bahwa manusia takkan sanggup memegang kekuasaan, karena itu kekuasaan jangan diberikan pada orang yang ingin sekali jabatan itu dan jangan pula diberikan pada orang yang tidak ingin jabatan itu. Jadi jangan dipaksa, kalau yang tidak mau kan kalau suatu hari ada pelanggaran akan menghindar dan bilangnya dipaksa-paksa.

Kekuasaan yang lemah menimbulkan korupsi yang absolute juga. Kewenangan, kesempatan politik itu kan banyak sekali bagi pejabat. seperti Suharto. Pada waktu akhirnya, dia banyak mengeluarkan perpres-perpres yang mengarah korupsi. Jadi Clinton pun menjelang akhir jabatannya juga memberikan disepnsasi-dispensasi pada pengusaha yang diduga melakukan kejahatan. Disamping Clinton juga menggunakan kekuataannya untuk memperdaya Monica Lewinski. Jadi karena lebih banyak kesempatan ini, maka harus diawasi. Kekuasaan itu tidak memandang suku ras agama. Baik negara kapitalis, Islam atau apa, pasti rentan kejahatan politik atau korupsi politik itu.

Dampaknya korupsi politik paling banyak ke HAM. Pemerintah yang korup biasanya pertama akan mempertahankan kekuasaanya atau kedua memperluas. Dengan kritik kritik maka dengan kekeuasaannya akan memberangus yang tidak setuju sehingga akan ada pelanggaran HAM. Misal Reza Pahlevi, Marcos, Suharto dan semuanya ada dampaknya pada HAM. Juga Chun Do Hwan di Korea. Dia bisa dijadikan contoh mau diadili dan mengaku salah dan minta maaf pada rakyatnya. Dari segi moral dia ksatria mengaku dan minta maaf. Dari segi politik di korea tidak ada beban politik, di Indonesia kan mahal. sepanjang Suharto belum diadili maka rakyat akan terus menagih. Dalam mengadili Soeharto saya kan, keluarganya sebenarnya ingin Suharto tidak sakit permanen. Alangkah indahnya kalau dia mengaku dan minta maaf pada rakyat Indoneisa.

Begitu juga soal HAM. HAM harus diadili bukan karena balas dendam tapi terkait masa depan. Saya pernah ditanya di Birmingham, untuk apa sih melacak kesalahan HAM di masa lalu. Saya bilang demi martabat bangsa dan demi sejarah. Kalau ketemu di Jerman dan bicara soal Hitler maka orang sana akan turun mentalnya, begitu juga ketika ketemu orang Jepang dan bicara pendudukan Jepang. Saya waktu seminggu di Jerman, kalau menyebut Bavaria atau Nurenberg wajahnya bisa merah. Ini supaya tidak ada sejarah gelap di negara kita. Ini akan memberikan kontribusi perjalanan politik dan ekonomi di Indonesia. Itu yang saya kira menyangkut korupsi politik itu. Perkara orang lain beda pandangan mungkin ada definisi lain.

Bicara soal korupsi dan faktor faktor pengaruh, dari segi budaya kita, akan sulit dilacak bangsa kita dulunya menghargai hukum. Itu harus dilacak ada tidak. Kalau di Amerika di depan gedung putih ada jalan konstitusi, jalan keadilan. Itu mengisyaratkan negara itu menghargai hukum. Ketika saya di Denmark, orang-orang sana juga bilang nenek moyangnya tidak ada sejarah korupsi, tidak ada budaya atau track record korupsi. Sedang saya tidak bisa mengatakan seperti itu.

Pola-pola korupsi bisa terjadi di mana saja. Dijepang orientasi pada perusahaan. di China, orientasi biasanya pada keluarga. Jadi saya perbandingkan itu budaya-budaya. Yang jelas, di negara kita saya belum melihat dari dulu, baik jaman kerajaan yang menghargai hukum. Tapi ada yang saya kutip, ada raja di Sulawesi Selatan yang saat itu paceklik. Dia kemudian memanggil semua pejabatnya dan bertanya kenapa terjadi paceklik dan siapa yang salah. Tapi tidak ada yang menjawab. Kemudian dia menghukum dirinya sendiri bahwa dirinyalah yang salah. Inilah yang kita cari, pemimpin yang kesatria. Selama kampanye pemilu lalu, saya kira hanya ada satu yang mengatakan siap dihukum bila korupsi yaitu Mukhtar Pakpahan. Saya kira dalam pemilu yang akan datang itu yang dicari, yang ksatria bukan yang retorik-retorik.

Korupsi pada umumnya dilakukan oleh pengusaha, atau pejabat. Di MA hampir setiap hari saya ketemu kasus korupsi, illegal loging, HAM dan sebagainya. Korupsi politik ini tingkat berbahayanya tinggi. Pegawai yang gajinya 3 juta korupsi itu beda. Disertasi saya lebih menekankan pada korupsi yang dilakukan pejabat pemerintahan tingkat tinggi. Dimanapun itu, semakin otoriter pemerintahannya, kemungkinan korupsi lebih luas.

Upaya pemberantasan korupsi dulu tahun 1957 dipelopori oleh pak nas ( Jenderal AH Nasution). Sebelumnya ada konsep konsep misal dari Prof Muljatno mentri kehakiman saat itu, atau usulan DPR, tapi tidak pernah menjadi UU tahun 50-an. Kita baru punya UU tahun 60-an. Tahun 71, kata tindakan seseorang dirubah menjadi barang siapa yang melawan hukum. Kata barang siapa itu lebih luas. Sebelumnya UU itu pernah dikatakan sebagai UU sapu jagat, atau tidak ada lalatpun yang bisa lolos. Tapi kenyataannya ya tidak. Jadi mungkin benar ada yang bilang makin banyak aturan makin banyak korupsi.

Secara filosofis keberadaan korupsi itu tidak dikehendaki masyarakat. Jadi pada proses kriminalisasi perbuatan itu ada perbuatan yang tidak dikehendaki masyarakat. Secara ontologisme, korupsi tidak dikehendaki. Secara aksiologis atau nilai-nilai, korupsi itu tidak punya nilai di masyarakat.

Dalam UU 31/1999 kata barang siapa diganti setiap orang. Kenyataannya sudah banyak PP yang dibuat, tapi korupsi di Indonesia masih marak, komentarnya juga banyak ini merupakan suatu permasalahan.

Ini adalah hukum alam bahwa kalau selalu terjadi chaos atau revolusi di mana saja, maka akan menimbulkan cosmos atau timbul aturan. Setelah revolusi dunia muncul deklarasi HAM. Setelah revolusi 45 di Indonesia muncul UUD 1945. Setelah ada reformasi juga ada amandemen amandemen. setelah itu muncul logos perangkat hukum dan diikuti technologos, atau hukum acaranya.

Di negara kita ini, hukum acara yang banyak menjadi masalah. Termasuk di HAM. UU mengatakan seperti itu, tapi hukum acaranya masih menggunakan KUHAP. Saya menilai kalau ini caranya, ibarat KPK harus menangkap hiu tapi dia diberi jaring lele. Katanya luar biasa tapi perangkatnya tidak luar biasa. Ini artinya bangsa kita memberantas korupsi setengah hati. Di UU-nya kan tidak serius. Juga ancaman hukuman mati. Itu sangat kontroversial dan tidak akan jalan. Di UU korupsi, itu dilakukan kalau dilakukan dalam keadaan bahaya. seharusnya kalau serius menerapkan hukuman mati, maka diletakkan pada seriusnya kasus korupsi itu. Jadi ada banyak kelemahan dalam UU korupsi kita, baik dalam UU-nya maupun hukum acarnya sendiri.

Kalau ini terjadi, di dunia ini biasanya kalau ada melanggar HAM akan terjadi revolusi. dan itu berputar terus. Itu hukum alam. Jadi kalau rakyatnya HAM-nya dilanggar, pejabat yang korupsi banyak, hukum hanya diberikan pada yang lemah, maka revolusi sosial pasti akan terjadi. Itu merupakan hukum alam.

Korupsi adalah extra ordinary crime, kalau begitu harusnya bisa diberlakukan asas retroaktif. Nah yang sekarang ini saya belum melihat tindakan KPK yang luar biasa. Dampaknya korupsi politik itu sangat besar, sangat luar biasa.

Penanggulangan korupsi ini berupa penal dan non penal. Penal adalah hukum, penegakan hukumnya menyangkut ideologi hukumnya atau isinya hukum itu tadi. Juga ideologi penegak hukumnya. negara kita ini penegakan hukumnya masih oportunitas, bahwa jaksa dapat mendeponir perkara kalau kepentingan umum dan seterusnya. Sejak jaman Belanda itu ada. Seharusnya aturan itu dihapus. Saya cenderung pada yang diterapkan di Jerman, yaitu legalistis, siapapun yang melakukan diadili misal kanselir Jerman diseret dulu. seharusnya begitu.

Inilah yang saya katakan penegakan hukum kita masih feodal. Diperparah lagi kalau mau memeriksa pejabat harus ijin presiden. Ini proses feodalisasi penegakan hukum kita sudah sangat luar biasa. Proses penyidikannya sebenarnya juga menghina rakyat, kalau memeriksa pejabat harus ijin presiden, kalau memeriksa rakyat ya langsung diseret saja. Ini kan seolah melecehkan rakyat. Pejabat kan menikmati ini. Ini jelas menghambat penegakan korupsi di Indonesia. Konsekuensi yang timbul ya tebang pilih itu, misal sudah berkali-kali muncul di koran tapi penanganannya gak jelas.

Seharusnya pembentukan komisi pemberantasan korupsi/ KPK yang didasari karena keadaan luar biasa, maka harus melakukan sesuatu yang laur biasa. Kalau sudah bagus maka dikembalikan ke keadaan yang semula. Tapi disini saya belum pernah melihat pejabat orde baru yang besar yang diadili.

Statute roma sebagian diadopsi Indonesia. Kejahatan HAM yang diadopsi hanya dua, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusaiaan. Kejahatan perang dan agresi tidak. Dalam hukum internasional ada free trial kalau jaksa akan menyeret seorang ke pengadilan dilihat dulu buktinya kuat tidak. Kasus yang ditimtim dulu, jaksa menuntut terdakwa bebas. Kalau dituntut bebas ya mending nggak usah diseret ke pengadilan. Gimana ini, apa kerja jaksa. Jadi saya melihat dari segi ideologi hukum, hukum acara dan persyaratan administratif penanganan korupsi hanya setengah hati atau hanya main-main. Jadi nggak akan pernah selesai.

Penjatuhan hukuman maksimal diperlukan. Di UU kita, hukuman mati memang dicantumkan tapi kenyataannya ya tidak akan pernah diterapkan. Saya ingat, pada jaman khalifah itu, misal ada pejabat yang hartanya melebihi yang seharusnya maka hartanya disita. Nah, sekarang ini pembuktian terbalik seharusnya juga bisa dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab pejabat mengemban amanat. Harusnya pembuktian terbalik itu bisa dilakukan. Sekarang ini banyak yang menolak dengan alasan melanggar HAM. padahal tidak, itu konsekuensi dari pejabat.

Yang non penal adalah pencegahan yang membutuhkan sistem yang sistemik. Nah, saya juga belum melihat ini letaknya di mana. Sistem yang sistemik ini pendekatan, strategi dan prioritasnya juga harus sistemik. Sekarang ini kasus BLBI muncul lagi, para pengemplang dapat release and discharge. Enak bener jadi mereka.

Ridaya La Ode Ngkowe (ICW)
Agak sulit juga kalau kita harus menanggapi disertasi. pertanyaan kita mungkin gak level dengan disertasi bapak. Menurut saya, pak Artidjo sudah baik sekali melakukan pemetaan. Problem dari filosofis atau praktis hukum dalam penindakan pada korupsi politik saya kira luar biasa dan saya yakin ini bisa menginspirasi temen temen disini misal diwilayah techno atau cosmos. Kalau sejauh pengalaman pak Artidjo berinteraksi di MA, sejauh mana gagasan ini diterima oleh para pengawal hukum kita?

Artidjo Alkostar
Itu kita memang harus meyakinkan, dalam memutuskan harus ada legal reasoningnya. Saya dalam setiap membuat putusan melakukan itu. dan itu semoga bisa merangsang partner saya untuk memberikan legal reasoning. dari semua kasus korupsi yang masuk pada saya, tidak ada satupun yang diputus bebas, Abdullah Puteh, Suharto, Djoko Tandra saya ada dissenting opinion. Ini karena ada perbedaan pandangan ideologis. Biasanya untuk mengalihkan, rekan menyatakan kasus itu masuk perdata. Misal dalam kasus Abdullah Puteh, kan uangnya dipakai untuk membeli helikopter. Nah, pengacaranya bilang uang itu kan tidak dinikmati. tapi saya berpandangan ya yang dipakai kan uang negara. Saya juga termasuk, DL Sitorus, Probosutedjo, Sujiono Timan. Jadi ini butuh proses. Ideologi hukum kan tidak muncul begitu saja.

Agus (Media Indonesia)
Saya minta bapak memberikan dasar yuridis, sosiologis, filosofis antara perbuatan korupsi dengan pelanggarna HAM. Misal kasus Syaukani, dia disidik dalam kasus korupsi. Tapi dia didukung oleh masyarakat pendukungnya. Mereka bilang Syaukani telah menyejahteraan rakyat, sekolah gratis dan lain-lain. Disatu sisi korupsi dilakukan untuk pemenuhan HAM, itu gimana pak?

Artidjo Alkostar
Saya tidak bisa berkomentar soal kasus yang sedang disidik itu, karena potensi mengadili saya nantinya bisa hilang. Jadi yang saya maksud yang ada hubungannya dengan HAM itu adalah tindakan pejabat yang berpotensi mengurangi hak hak rakyat. Ada pendapat hakim filipin yang saya kutip, satu putusan hakim yang progresif menyatakan penebangan hutan itu melanggar HAM generasi yang akan datang. Artinya dia prospektif. artinya, korupsi politik itu bagaimanapun merugikan dan itu harus dilihat dari hukum bukan dari ekonomi, misal bisa melancarkan usaha. Itu kan bisa bisanya pengacara.

Razak (hukumonline)
Pertama saya tidak setuju kalau pemberantasan korupsi di Indonesia setengah hati, tapi justru dua hati alias hati-hati. di negara kita jangankan menghukum, lha membongkar saja susah. Ini karena ada eksistensi politik. Ketika ada penguasa berkuasa saat itu maka jangan harap korupsinya bisa diusut. misal kasus Widjanarko, dia bisa diusut setelah megawati turun. Apa bapak pernah mengalami korupsi politik yang tidak bisa diselesaikan, apakah ada solusi atau contoh penyelesaiaan korupsi politik? misal diberi kebijakan Release and Discharge daripada uang tidak kembali. Misal dalam kasus Soeharto, sekarang sedang diupayakan gugatan perdata pada Soeharto. Saya bingung kok fokusnya kejaksaan hanya pada Soeharto tapi kan pengurusnya juga banyak. Gimana itu pak, apakah ada komparasi di negara lain.

Artidjo Alkostar
Memang tidak pernah ada korupsi yang sudah dikorupsi bisa kembali seutuhnya. Itu tidak pernah ada. Paling hanya sebagian, itupun lambat sekali. Karena itu janganlah sampai terjadi korupsi politik. Di Filipina, hasil kejahatan Marcos disita dan dikembalikan pada korban. Tapi kan lama sekali dan tidak memadai. Setahu saya tidak ada yang efektif untuk mengembalikan hasil korupsi. Baik itu di Bangladesh, atau Uganda.

Tentang Soeharto saya kira sudah saya katakan karena dulu saya yang mengadili pak Harto bersama pak Safiudin yang tertembak itu. Dari logika hukum, orang yang bersalah itu harus tetap diadili dan itu akan memberikan dampak. Misal seperti di Korea. kalau tidak diadili maka akan memakan biaya politik yang mahal sekali. Kalau tidak diadili seolah olah ada orang yang kebal hukum di negara kita. Di Korea biaya politik tidak tinggi, dia mengaku salah, dia bayar kembali yang dikorupsi kemudian dia pergi kemana bertobat.

Pejabat yang masih berkuasa dan diseret itu di misalnya Jerman, kasus Helmuth Cole . Hanya saja, lembaga kejaksaan disana itu sebagai lembaga hukumnya. Di negara kita kan seolah kejaksaan itu jadi lembaga politik.

Razak (hukumonline)
Apa besar kecilnya rezim juga berpengaruh? kan sekarang banyak juga bupati yang diadili

Artidjo Alkostar
Tapi kan itu bukan puncak.

Agus (Media Indonesia)
Apakah lamanya pemimpin politik dalam berkuasa punya korelasi tingginya korupsi politik. Kedua kan ada konvensi konvensi anti korupsi yang telah diratifikasi Indonesia, begitu juga kerjasama ekstradisi dengan negara lain, persoalannya sejauh mana efektifitasnya?

Artidjo Alkostar
Makin lama orang berkuasa, maka cenderung untuk mengamankan kekuasannya. Itu tak mungkin tanpa merambah yang lain. Posisi itu. kadang kadang kan reaksi dari kekuasaan ini kan berbeda beda. Ada yang seperti kasus orde baru yang di persona non grata atau apa. Tapi semakin lama maka semakin mengarah pada korupsi.

Soal hukum internasional itu atau ekstradisi, sebetulnya kan masih prioritasnya hukum nasional. Ekstradisi ekstradisi itu tergantung kemauan diri sendiri.

Katonk (ICW)
Dalam konteks korupsi politik, kewenangan atua kekuasaan yang luas bisa menimbulkan korupsi. maka solusinya kewenangan itu dibuat menyebar. Pertanyaannya, kalau seandainya itu disebar, maka menyebabkan pemerintahan tidak efektif. Lantas bagaimana titik optimal bisa dicari, pemerintahan berjalan efektif tapi korupsi tidak terjadi. Pertanyaan kedua, korupsi politik terutama korupsi kebijakan, saya sulit membawa dalam perspektif hukum. Misal PP 37a tahun 2006. itu kan produk kebijakan pemerintah yang kalau dimata kita itu kan korupsi sifatnya kolutif. Tapi pemerintah kan melihatnya tidak demikian.

Artidjo Alkostar
Yang pertama, penyebaran kekuasaan itu penting. resiko sentralistik pemerintahan itu menimbulkan sulit di kontrol. Tapi bagaimanapun juga yang menjadi masalah adalah kontrol. Itu yang harus dibangun. Jadi makin banyak kontrol maka akan semakin aman. sekarang kan tidak tersentralisasi seperti jaman orba, karena kewenangan banyak diberikan ke daerah. Masalahnya korupsi juga banyak timbul di daerah. ini karena daerah tidak punya kontrol memadai. Dulu , orde baru begitu karena kontrol masyarakat tidak maksimal. Saya dulu kerja di LSM kok seperti kerja sendiri, misal melawan petrus atau penembakan misterius sampai mau diancam dibunuh, atau melawan kuningisasi di Jawa tengah. Saya tambah yakin bahwa kontrol masyarakat itu penting. Beberapa waktu lalu saya diundang ke Papua dan kontrolnya di sana sudah lumayan

Kantonk (ICW)
Masyarakat sebagai kontrol, saya melihatnya sebagai wasit. tapi masyarakat ini kan juga punya subyektifitas punya kepentingan.

Artidjo Alkostar
Saya membedakan kontrol sosial dan kontrol politik. Kalau bicara soal masyarakat, itu satu ormas, keuda masyarakat sendiri, pers dan mahasiswa. Soal PP 37, kalau dilihat isinya saya tidak melihat ini punya landasan berpijaknya. harusnya digeledah dasar dasar menimbangnya apa. Ini memenuhi syarat tidak. Saya meragukan ini. Kalau itu legal memang iya, tapi legitimasinya secara moral dan sosial saya tidak percaya.

Agus (ICW)
Kemarin saya bicara soal RUU Administrasi pemerintahan. RUU ini kalau diundangkan maka akan efektif mencegah korupsi politik. RUU ini banyak diadopsi dari jerman, apakan disana cukup efektif. Misal dalam pembuatan keputusan, masyarakat harus diikutkan. Nah ini apakah bisa efektif bila dalam pembuatan putusan melibatkan masyarakat, karean masyarakat juga multisektor. Saya khawatir nanti jadinya seperti peraturan yang lama kalau ada pejabat yang salah masuk wilayah administratif.

Artidjo Alkostar
Di kita ini masalahnya sulit untuk menegakkan, atau menghukum diri sendiri. Cinta korpsnya itu sangat tinggi. Ini yang terjadi di mana-mana. Dengan demikian, kalau tadi disebutkan ada pelibatan masyarakat, maka harus diberi kualifikasi masyarakat yang mana. Jangan tanpa warna. Jadi harus jelas apakah masyarakatnya itu ormas, masyarakat, atau pers, atau mahasiswa.

Abdullah(ICW)
Kalau bicara gerakan anti korupsi bukan hanya sekedar membicarakan berapa banyak kasus yang ditangani. Kalau bicara tentang disertasi tadi, saya setuju bapak melihat banyak korelasi. Tapi saya belum melihat ada solusi atau terobosan apa yang diperlukan dalam upaya memberantas kasus korupsi. Yang dijabarkan bapak tadi dalam kerangka struktural, atau normatif. Kita kan punya UU anti korupsi, instrumen hukum lain kan juga ada, mungkin pak Artidjo punya kerangka berpikir lain dalam upaya memberantas korupsi?

Artidjo Alkostar
Ada beberapa komponen yang saya tulis tentang kelemahan di Indonesai. Pertama Indonesia seharusnya menerapkan system yang legalitas. Artinya siapapun pejabat yang bersalah harus langsung diseret, jangan ada pertimbangan demi kepentingan umum lantas tidak diseret. Kedua, ijin pemeriksaan pejabat pada presiden itu harus dihilangkan karena menghina dan melecehkan rakyat. Ketiga, diterapkannya hukuman maksimal. Misal dirumuskan hukuman mati maka yang bisa dilaksanakan. Tidak seperti yang sekarang tidak bisa dilaksanakan. Seharusnya juga bisa diberlakukan asas retoraktif. kejahatan masa lalu harus dijadikan strategi dalam penuntutan. Ideologi penegak hukumnya juga harus dirubah menuju yang membela rakyat.

Kanti (ICW)
Dalam soal perijinan, kan dasarnya dari UU. Kita sebenarnya punya keinginan untuk menggugat pasal itu. Yang menjadi kekhawatiran soal filosofis itu. Bagaimana meyakinkan equality before the law harus dikedepankan. Bagaimana harus berhadapan dengan orang-orang yang memegang asas oportunitas misal termasuk hakim MK sendiri.

Artidjo Alkostar
Berarti harus diutamakan ideologI hukum kita yang dirubah. Kita harus dapat meyakinkan pembentuk UU bahwa ini tidak sesuai demokrasi.

Kanti(ICW)
Soal momentum revisi UU tipikor, menurut saya banyak yang terinspirasi dari gagasan disertasi ini misal pembuktian terbalik, asas retroaktif atau penerapan hukuman mati. Dalam penerapan hukuman mati ini perdebatannya dengan aktivis HAM. Atau gimana mengembalikan asas retroaktif yang dulu telah dibatalkan MK.

Artidjo Alkostar
Itu harus dijelaskan bahwa dasar dasar filosofis yang ada ini kan mendegradasi martabat rakyat biasa. Saya kira dasar konstitusionalnya ada dan bisa dijabarkan. Kalau mau mengajukan gugatan itu ya tidak mudah. Ini pekerjaan mulia. Orang yang mau masuk surga kan harus mau berkorban.
-------------------------
Pukul 12.50 WIB Artidjo harus mengakhiri pembicaraan diskusinya. Ia lantas melanjutkan perjalanannya ke kantor majalah Gatra yang berada di belakang kantor ICW.
------------
Ringkasan disertasi hakim agung Artidjo Alkostar

Ringkasan disertasi Yudi Kristiana, SH.MHum, dengan judul: Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan Dengan Pendekatan Hukum Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan