Apgakum Sepakat Tingkatkan Kualitas Penanganan Perkara Korupsi

Antikorupsi.org, 3 Mei 2016--Aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi) bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pemabngunan (BPKP) bersepakat untuk meningkatkan kualitas tata kelola dan kinerja penanganan kasus korupsi di Indonesia. Demikian beberapa janji yang mengemuka dalam lokakarya nasional tentang penanganan perkara korupsi di Jakarta, 3 Mei 2016.
 
Janji itu seperti sebuah jawaban setelah para aparat penegak hukum tersebut ditagih dan ditanya soal masih buruknya penanganan kasus korupsi. Apgakum ini memang sengaja diundang oleh jaringan masyarakat sipil antikorupsi dari 15 provinsi di seluruh Indonesia.
 
Upaya menagih komitmen aparat penegak hukum ini cukup beralasan, karena sebelumnya ICW telah melakukan pemantauan penanganan perkara korupsi dalam kurun waktu 2010 hingga tahun 2014. Dari hasil pemantauan ditemukan setidaknya ada 2.492 kasus yang tidak jelas perkembangan penanganannya di aparat penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK).
 
Jaringan masyarakat sipil boleh menagih komitmen, namun apgakum boleh beralasan. Ade Deriyan dari Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menyebut bahwa persoalan anggaran adalah hambatan terbesar dalam penanganan perkara korupsi yang dilakukan kepolisian. Ade mengaku bahwa selama ini untuk menangani satu kasus korupsi (penyelidikan, penyidikan dan pelimpahan ke kejaksaan) kepolisian diberi anggaran 208 juta rupiah. 
 
Hal yang hampir sama juga diungkapkan Faturohman dari Kejaksaan Agung. Untuk menangani perkara korupsi anggaran yang diterima per kasus kira-kira 25 juta rupiah pada tahap penyelidikan, 50 juta rupiah pada tahap penyidikan, 100 juta rupiah pada tahap penuntutan dan 25 juta rupiah pada saat eksekusi. 
 
Ade dan Faturohman meminta KPK –yang dalam acara ini diwakili Mochammad Rum dari tim koordinasi dan supervisi KPK—untuk terus mendampingi penanganan perkara korupsi di kejaksaan dan kepolisian. 
 
Namun rupanya Mochammad Rum mengatakan bahwa meski KPK akan selalu dan akan terus mensupport lembaga penegak hukum lain, tetapi supportnya bukanlah dalam bentuk pemberian dana. KPK meminta syarat, yaitu harus selalu menyerahkan SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan).
 
Lalu siapa yang harus bertanggungjawab atas problema penting dalam penanganan perkara korupsi di penegak hukum? Pertanyaan yang menggelitik disampaikan Mochammad Rum, mengapa pemerintah tidak menaikkan anggaran penanganan perkara korupsi? “Kalau pemerintah berkomitmen melakukan pemberantasan korupsi anggaran harus dinaikkan, jangan malah dikurangi”, tanyanya.
Sayang Pramono Anung, sekretaris kabinet yang mewakili pemerintah yang pagi harinya hadir buru-buru pergi, sehingga tuntutan ini tidak tersampaikan. Padahal menurut Pramono dalam pidato sambutannya mengatakan bahwa Pemerintahan Jokowidodo saat ini mencanangkan menurunkan ranking korupsi dari 109 menuju 40.
 
Namun demikian, apgakum yang hadir tetap berjanji berkomitmen akan terus meningkatkan kualitas dan tata kelola penanganan perkara korupsi. Memenuhi harapan jaringan masyarakat sipil antikorupsi yang sudah berupaya bertemu di Jakarta, dan berupaya mengundang apgakum ini.
 
Perlu diketahui ada kurang lebih 16 lembaga yang tergabung dalam jaringan masyarakat sipil antikorupsi selama 3 hari ini melakukan pertemuan konsolidasi untuk mendorong perbaikan penanganan perkara korupsi oleh apgakum. Mereka adalah Pokja 30 Samarinda, Gemawan Pontianak, Somasi Mataram, Sahdar Medan, Integritas Padang, KRPK Blitar, MaTa Banda Aceh, Mata Banten,  G2W Garut, MCW Malang, Puspaham Kendari, KP2KKN Semarang dan jaringan antikorupsi Yogyakarta. (Abid)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan