APBN Perubahan yang Tak Berubah

Pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2005 dilakukan lebih awal dari jadwal normal sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan bahwa APBN-P 2005 dibahas setelah laporan realisasi anggaran semester pertama.

gin tersebut menjadi tidak ada.

Karena itu, bank mungkin harus mengupayakan agar suku bunga deposito berada di bawah 7 persen, yang berarti bahwa deposan akan menerima suku bunga riil yang negatif. Kalau ini terjadi, dan selama ini sudah terjadi, nilai tukar akan sangat sulit untuk dikendalikan karena terjadi kelebihan likuiditas di masyarakat.

Pada gilirannya, nilai tukar akan terdepresiasi, yang tentunya tidak konsisten dengan asumsi Rp 8.900 per dolar AS. Asumsi nilai tukar memperkirakan akan terjadi apresiasi, tetapi asumsi inflasi dan suku bunga SBI mengimplikasikan akan terjadi depresiasi. Selain tidak realistis, asumsi satu dengan yang lainnya saling berkontradiksi.

Paradigma yang digunakan dalam APBN 2005 adalah konsolidasi fiskal yang konservatif dengan orientasi kuat pada pengurangan defisit. Paradigma tersebut terus berlanjut dalam APBN-P 2005, padahal pemerintahan sudah berubah serta visi dan misinya pun berbeda.

Dengan asumsi yang dipatok tersebut defisit anggaran diperkirakan 0,8 persen dari PDB. Jika memang yang menjadi tujuan APBN-P 2005 adalah konsolidasi fiskal dengan defisit rendah, pertanyaannya, apakah hal tersebut dapat tercapai melihat perkembangan asumsi-asumsi yang dipatok justru berlawanan dengan tren perkembangannya.

Apalagi kalau kita lihat bahwa sebenarnya visi Presiden sendiri tentang anggaran bukan konsolidasi fiskal yang konservatif, melainkan sebuah ekspansi fiskal yang terkelola tanpa harus mengganggu kesinambungan fiskal. Dari sisi ini terlihat dua kelemahan dari APBN-P 2005: target defisit anggaran sukar tercapai dan anggaran tersebut tidak mencerminkan visi Presiden menyangkut kebijakan anggaran.

Aspek penting lain dari sebuah anggaran adalah menyangkut alokasi yang mencerminkan prioritas program sebuah pemerintahan. Dari sisi ini kita dapat melihat program-program apa saja yang menjadi prioritas pemerintah. Penelaahan lebih cermat memperlihatkan bahwa tidak terdapat perubahan alokasi yang signifikan pada APBN-P 2005 dibandingkan dengan APBN 2005, kecuali adanya tambahan anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan kembali Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara akibat tsunami dan gempa bumi, program kompensasi BBM dan pemilihan kepala daerah.

Belanja modal yang merupakan alokasi anggaran pembangunan tidak mengalami perubahan, yakni Rp 43.079 miliar. Demikian pula anggaran untuk sektor-sektor pertanian dan pedesaan serta pembangunan infrastruktur yang menjadi merek dagang kampanye SBY tidak mengalami kenaikan yang berarti.

Yang justru meningkat adalah pembayaran bunga utang dalam negeri 6,6 persen dibanding alokasi dalam APBN 2005 akibat asumsi tingkat suku bunga SBI yang meningkat dari 6,5 persen menjadi 8,0 persen. Selain itu, beban subsidi mengalami peningkatan 92,8 persen dibandingkan dengan angka APBN 2005.

Dengan demikian, sebagian dari tambahan anggaran yang diperoleh dari moratorium utang dan pengurangan subsidi BBM tidak dialokasikan untuk kegiatan belanja modal, tapi dipakai untuk tambahan pembayaran bunga utang dan juga subsidi. Itu pun belum tentu cukup mengingat asumsi dalam penghitungan jauh dari realistis.

Tidak terjadinya perubahan alokasi anggaran, terutama untuk menggenjot pembangunan infrastruktur dan pembangunan pertanian dan pedesaan ini, disebabkan rendahnya target dari sisi penerimaan. Penerimaan pajak hanya dipatok 3.219.440 miliar atau 12,3 persen dari PDB, dan hanya meningkat 7,3% dari APBN 2005.

Dibandingkan dengan potensi pajak yang masih besar, target penerimaan ini sangat rendah, dan pasti tercapai tanpa harus melakukan kerja keras sekalipun. Target penerimaan pajak yang rendah ini pun tidak sejalan dengan visi dan misi Presiden yang secara jelas mentargetkan rasio pajak 19,5 persen pada 2009.

Ternyata APBN-P 2005 disusun tidak berdasarkan struktur kabinet yang dibentuk oleh Presiden. Tentunya Presiden Yudhoyono memiliki pertimbangan matang ketika membentuk kementerian baru dan memisahkan departemen, yakni agar agenda dan program kerja sebagaimana tertuang dalam visi dan misi Presiden dapat tercapai dengan baik.

Namun, dalam APBN-P 2005 alokasi anggaran untuk kementerian baru seperti Kementerian Perumahan Rakyat dan Pemuda dan Olahraga masih disatukan dengan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Pendidikan Nasional. Sementara itu, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan masih belum dipisahkan.

Keadaan ini berpotensi menimbulkan persoalan tumpang-tindih program, koordinasi, konflik, dan lebih jauh dari itu membuat roda pemerintahan tidak berjalan secara efektif. Kita tidak tahu kesulitan apa yang dialami oleh pemerintah untuk menyusun anggaran berdasarkan struktur kabinet yang sekarang.

Lebih jauh lagi APBN-P 2005 sama sekali tidak mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat yang menginginkan adanya beban yang seharusnya ditanggung bersama sehubungan dengan kenaikan harga BBM yang telah membebani ekonomi masyarakat.

APBN-P 2005 sama sekali tidak berusaha untuk mencari alternatif lain untuk mengurangi beban anggaran dengan mengurangi atau menjadwalkan kembali subsidi bunga obligasi rekap, meningkatkan efisiensi Pertamina, dan meningkatkan penerimaan pajak. Bila pemerintah berani melakukan hal ini, selain akan mengurangi beban anggaran, juga pada saat yang sama menyentuh rasa keadilan masyarakat yang menanggung beban berat akibat kenaikan harga BBM. Sayangnya, hal ini sama sekali tidak menjadi perhatian pemerintah.

Jadi kita tidak melihat adanya perubahan struktural dan substansial yang signifikan dalam APBN-P 2005 dibandingkan dengan APBN 2005 yang disusun pemerintah sebelumnya, sehingga sukar untuk mengatakan apakah pemerintah SBY ini merupakan pemerintah dengan prioritas, agenda, dan program kerja baru dan berbeda.

Kemungkinannya adalah para perancang APBN-P 2005 ini tidak sepenuhnya memahami visi dan misi Presiden. Kesimpulan lain adalah bahwa APBN-P ini disusun dengan terburu-buru dan tidak profesional dengan koordinasi yang lemah serta tanpa adanya pemahaman akan fungsi anggaran itu sendiri sebagai sebuah dokumen politik. Karena itu, lebih baik APBN-P ini direvisi ulang secara total dan kemudian diajukan kembali kepada DPR.(M. Fadhil Hasan, Direktur Utama Indef)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 4 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan