APBD Banyak yang Masuk Kas Partai

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Zaenal Arifin Muchtar, melansir, parlemen merupakan satu dari sekian tempat korupsi terbesar di luar dari aparat penegak hukum dan birokrat lainnya. "Bayangkan saja, 50 persen APBN diambil oleh Dewan untuk kepentingan partainya masing-masing," kata dia dalam diskusi publik dengan tema "Koruptor Parlemen" di Warung Roemah Kopi, Jalan Sultan Alauddin, Makassar, kemarin.

Tak cuma di pusat, korupsi parlemen juga menjangkau ke daerah, tak terkecuali Sulawesi Selatan. Menurut aktivis antikorupsi dan calon Pimpinan KPK, Abraham Samad, di Sulawesi Selatan, sejumlah anggota Dewan yang terlibat melakukan korupsi dan sudah dinyatakan salah di mata hukum tetap bisa menjadi anggota Dewan, seperti yang terjadi di Kabupaten Bulukumba dan Tana Toraja. "Di Indonesia, penegakan hukumnya terlalu pilih kasih," kata Abraham.

Hal senada diungkapkan pengurus DPC Demokrat dari Jeneponto, Bakri Mahmud, yang menyatakan bahwa sebagian uang negara mengalir ke partai politik, tidak terkecuali partainya. Menurut dia, sebagai anggota Dewan dari Jeneponto dengan penghasilan tinggi, ia tidak pernah membelanjakan uangnya. Jika ingin berbelanja, uang yang digunakan adalah anggaran Bimbingan Teknis (Bimtek) yang setiap tahun mendapat Rp 15 juta. "Saya akui, APBD banyak masuk ke kas partai, dan itulah yang terjadi. Bukan partai yang menginginkan, melainkan oknum yang bermain," ujar dia.

Ketua Komisi Pemantau Legislatif Sulawesi Selatan Syamsuddin Alimsyah mengatakan pihaknya saat ini mengumpulkan tim hukum karena, dari catatannya, banyak anggota Dewan yang terlibat kasus korupsi APBD 2003 yang terjadi di Tana Toraja dan Bulukumba, tetapi masih menjabat dan tidak diberi pergantian antarwaktu (PAW).

Menurut Zaenal, korupsi inilah yang terjadi di Indonesia belakangan ini dengan tujuan untuk membesarkan partai yang diusungnya karena, tanpa itu, partai tersebut kesulitan mendapatkan dana. Bukan partai yang melakukan, Zaenal mengatakan, melainkan oknum yang duduk di parlemen. "Tidak hanya satu partai, dan itu terjadi baik di pusat maupun di daerah."

Terjadinya korupsi di parlemen, menurut Zaenal, akibat kurangnya pengawasan dari Badan Kehormatan. Sistem rekrutmen partai politik terhadap seseorang kurang profesional sehingga terjadilah perampokan uang negara. "Kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, Malaysia, dan Cina pernah merasakan, tapi mereka cepat keluar dari permasalahan ini," ucapnya.

Abraham menimpali, aparat penegak hukum di Malaysia dan Cina menggunakan sistem pembuktian terbalik sempurna. Maksudnya, apabila ada pejabat legislatif atau birokrat diketahui memiliki pendapatan lebih di luar gajinya, dia akan langsung diperiksa aparat penegak hukum, dan bisa ditahan. Sebaliknya, di Indonesia, seseorang bisa ditahan jika sudah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa. Dari 90 kasus korupsi di negara ini, beberapa di antaranya divonis bebas, padahal ada indikasi melakukan tindak pidana. ARDIANSYAH RAZAK BAKRI
Sumber; Koran Tempo, 11 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan