Aparat Negara Pembangkang Hukum

Wherever law ends, tyranny begins - John Locke

Ibu Patmi, warga Kendeng yang melakukan aksi kolektif, wafat. Perempuan pejuang itu menjadi ”tumbal” ambisi pendirian pabrik milik PT Semen Indonesia di Rembang dan pabrik semen lainnya di Kendeng.

Ruang publik pun riuh, ramai memperbincangkan berbagai aspek yang berkelindan dari peristiwa itu, baik dari sudut sosial, politik, maupun hukum. Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah soal hukum, yaitu ditemukannya fakta mengenai pemutarbalikan makna atas putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung secara semena-mena.

Amar putusan PK yang membatalkan izin pembangunan pabrik dimanipulasipengertiannya oleh Gubernur Jawa Tengah, menjadi peluang baru pendirian, dengan penyempurnaan dokumen adendum analisis mengenai dampak lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan/rencana pemantauan lingkungan (Kompas, 21/2/2017).

Jika benar terjadi pemutarbalikan makna, hal tersebut merupakan masalah serius, terutama terkait kepatuhan aparat negara terhadap putusan pengadilan. Dengan kata lain, tindakan tersebut menunjukkan banalitas pembangkangan hukum, yang ironisnya, justru dilakukan oleh aparat negara yang semestinya memberikan contoh yang baik dalam ketaatan terhadap hukum.

Dalam konteks demokrasi modern, pembangkangan terhadap hukum dikenal sebagai pembangkangan sipil (civil disobedience), tetapi dalam makna positif. Pembangkangan sipil adalah penolakan terhadap hukum tertentu suatu negara dan tindakan tersebut merupakan bentuk protes yang diekspresikan secara nir-kekerasan.

Sejarah mencatat Henry David Thoreau sebagai perintis gerakan pembangkangan sipil. Pada 1846, Thoreau menolak membayar pajak sehingga dirinya dimasukkan ke bui, sampai ada seseorang yang membantunya dengan membayar pajaknya. Thoreau menulis Civil Disobedience (Thoreau, 1849) dan gagasannya menginspirasi para pemimpin gerakan anti-kekerasan seperti Gandhi dan Martin Luther King Jr.

Thoreau menyatakan keberatan membayar pajak, antara lain, pertama, tidak ingin pajak yang diberikannya kepada negara digunakan untuk agresi militer. Saat itu Amerika sedang memulai konflik dengan Meksiko. Kedua, sebagaiabolitionist—pendukung gerakan anti-perbudakan—ia tidak ingin pajaknya digunakan untuk mendanai program pemerintah yang melanggengkan perbudakan.

Singkat kata, walaupun pembangkangan sipil dianggap melawan hukum, perbuatan tersebut mempunyai basis moral yang kokoh dan karena itu diapresiasi positif. Lalu, bagaimana halnya dengan pembangkangan hukum yang dilakukan aparat negara? Berbalik dengan aksi pembangkangan sipil, tindakan tersebut sangat negatif karena berpotensi meruntuhkan prinsip utama rule of law.

Sebagaimana diketahui, prinsip rule of law ditegakkan di atas beberapa pilar, yaitu: adanya pemerintahan yang tunduk pada hukum, kesetaraan perlakuan di hadapan hukum, tatanan dan hukum yang kokoh, penerapan secara efektif-prediktif mekanisme keadilan, serta jaminan perlindungan atas hak asasi manusia.

Memutarbalikkan makna putusan PK secara serampangan jelas menunjukkan iktikad buruk, di mana pada kondisi demikian, aparat yang mengelola pemerintahan menunjukkan indikasi tidak merasa punya kewajiban tunduk dan terikat pada putusan pengadilan dan lebih jauh lagi bisa secara eksesifmelecehkan hak asasi manusia yang seharusnya dimiliki oleh warga, dalam kasus ini adalah hak warga Kendeng.

Melecehkan hukum

Menariknya, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat berbagai contoh pembangkangan aparat negara terhadapputusan pengadilanyang patut dicemaskan karena tidak saja melecehkan prinsip rule of law, tetapi juga memberikan pesan buruk kecontohan mengenai ketaatan terhadap hukum oleh aparatur negara.

Beberapa tahun lalu, misalnya, Kementerian Kesehatan menolak mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) yang pada intinya memerintahkan Kementerian Kesehatan membuka daftar nama susu formula berbakteri hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan dalih penelitian dilakukan perguruan tinggi yang mempunyai jaminan kebebasan akademik.

Ilustrasi lain, pada tahun yang berbeda, misalnya, kasus penolakan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terhadap putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) atas permohonan yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai 17 nama pemilik ”rekening gendut”.

Putusan KIP pada intinya menyatakan bahwa daftar informasi 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya dikategorikan sebagai informasi yang wajar dibuka kepada publik.

Penolakan untuk melaksanakan putusan MA oleh Kementerian Kesehatan, ke-emoh-an Polri merealisasikan putusan KIP, dan terakhir pemelintiran makna atas putusan PK oleh Gubernur Jawa Tengah adalah rangkaian kejadian yang meneguhkan mengenai berulangnya perilaku pembangkangan hukum oleh institusi atau aparat negara.

Perilaku ini, jika dibiarkan terus-menerus, tidak hanya akanmendelegitimasi wibawa hukum secara umum, tetapi juga bisa menyemai ketidakpercayaan publik pada kewenangan pengadilan (judicative power) untuk menghukum siapa pun yang bersalah, tak terkecuali lembaga/aparat negara sekalipun.

Dan, bersemainya ketidakpercayaan publik yang disebabkan oleh praktik pembangkangan hukum aparat negara adalah pertanda buruk untuk demokrasi yang berkeadilan, disebabkan rule of law telah tergantikan oleh kekuatan tiranik yang tak menghormati hukum.

HASRUL HALILI, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA (UGM)

----------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Aparat Negara Pembangkang Hukum".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan