Aparat Jaksa Hambat Auditor; BPKP Usut Triliunan Uang Ganti Korupsi

Tidak mudah mengaudit dana pengganti kerugian negara dari sejumlah kasus korupsi. Meski mengantongi perintah presiden, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ternyata kerap mendapat penolakan dari aparat kejaksaan.

Resistensi tidak saja terjadi di Kejaksaan Agung, tetapi juga di instansi lain. Namun, kami adalah auditor presiden yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, tandas Ketua BPKP Didi Widayadi usai bertemu Wapres Jusuf Kalla di Kantor Wapres kemarin.

Khusus saat mengaudit uang ganti korupsi, Didi mengakui, auditor BPKP kerap ditolak sejumlah aparat kejaksaan di pusat dan daerah. Mereka mempersoalkan kewenangan auditor BPKP yang dianggap tumpang tindih dengan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Namun, Didi menegaskan, audit itu atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tujuannya memverifikasi dana pengganti dan titipan yang tersebar di berbagai rekening maupun yang tidak tertib anggaran.

BPKP sebagai auditor presiden bisa dimintai bantuan untuk mengaudit dana pengganti dan ganti rugi di Kejaksaan Agung, kata pejabat yang mantan Kapolda Jateng itu.

Pernyataan Didi itu mendapat penegasan Wapres Jusuf Kalla. Sudah ada instruksi dari presiden. Seluruh uang pengganti dan ganti rugi harus masuk kas negara, katanya.

Bila ada selisih, kata Kalla, itu bisa jadi disebabkan tidak dibayarnya ganti rugi dan uang pengganti oleh terpidana kasus korupsi yang telah masuk penjara maupun yang lari ke luar negeri. Uang pengganti itu kan ada yang disetor karena orang bayar. Ada pula yang tidak disetor karena orangnya tidak bayar, terangnya.

Meski demikian, ujar Kalla, tidak tertutup kemungkinan ada uang pengganti dan ganti rugi yang sudah dibayar terpidana, tapi tidak disetor ke kas negara. Itu yang salah, tegasnya.

Selanjutnya, Didi meminta aparat Kejagung terbuka, proaktif, dan transparan dengan auditor BPKP. Dengan demikian, polemik tentang jumlah dan pemanfaatan dana pengganti dan titipan tidak berkepanjangan.

Ini masalah etika birokrasi saja. Tapi, semua instansi harus loyal pada presiden karena akuntabilitas presiden tidak bisa didelegasikan ke mana-mana, ungkapnya.

Di sisi lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyiapkan sanksi tegas terhadap para jaksa yang sengaja atau lalai menyimpan uang pengganti kasus korupsi pada rekening pribadi. Bahkan, jika ada indikasi korupsi, jaksa tersebut akan diseret ke meja hijau.

Kalau ada yang sengaja menyimpan dan menggunakan (uang pengganti), sanksinya keras. Kalau perlu, kami (kejaksaan) pecat. Dan, kalau sampai dia korupsi, kami ajukan ke pengadilan, kata Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin setelah menunaikan salat Jumat di Masjid Baitul Adli, Kejagung, kemarin.

Menurut Muchtar, penggunaan rekening pribadi untuk menampung uang pengganti merupakan pelanggaran. Kejaksaan sendiri tidak menyediakan rekening untuk menyimpan uang pengganti. Kami punya sistem, bendaharawan. Untuk penerimaannya, kami hanya bisa menyimpan 1 x 24 jam, jelasnya. Kejaksaan hanya membolehkan rekening yang khusus menampung uang negara sebagai anggaran rutin.

Muchtar mengakui, kejaksaan belakangan disoroti soal setoran uang pengganti. Ditegaskan, kejaksaan tidak pernah menyimpan uang pengganti, apalagi nilainya disebut-sebut mencapai Rp 6 triliun.

Menurut Muchtar, masalah pada uang pengganti bukan proses penyimpanannya, tetapi penagihannya. Masalahnya, banyak yang belum tertagih karena beberapa sebab, jelas mantan jaksa agung muda (JAM) intelijen itu.

Lantas, dia mengurai satu per satu penyebab alotnya penagihan uang pengganti. Pertama, terpidana tidak mampu membayar, seperti yang dialami Dicky Iskandar Dinata dalam kasus Bank Duta. Ada uang pengganti Rp 811 miliar yang belum tertagih. Dia (Dicky) tidak mampu membayar, beber Muchtar.

Kedua, terdakwa kabur sehingga tidak menyetor uang pengganti. Nilai uang penggantinya sampai ratusan miliar. Ini seperti kasus Bambang Soetrisno (wakil komisaris Bank Surya dalam kasus BLBI) yang kabur ke luar negeri, jelas ketua tim pemburu koruptor (TPK) tersebut.

Meski tidak disetorkan, lanjut Muchtar, seluruh tagihan uang pengganti tersebut tetap terdata pada Direktorat Upaya Hukum, Eksekusi, dan Eksaminasi (Uheksi) pada JAM Pidana Khusus.

Ditanya perbedaan data nilai uang pengganti di kejaksaan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Departemen Keuangan (Depkeu), Muchtar menegaskan, itu hanya masalah administrasi. Kami sudah bicara dengan DPR juga. Nggak ada masalah, jelas pejabat kelahiran Aceh itu. Yang jelas, Muchtar berkali-kali menegaskan, kejaksaan tidak pernah menyimpan uang pengganti pada rekening khusus, apalagi pribadi.

Sebelumnya, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengakui, berdasar data dan bukti setor pada 2006, uang pengganti yang sudah diterima kejaksaan lebih dari Rp 3 triliun. Beberapa terdakwa kasus dugaan korupsi yang telah menyetorkan uang pengganti, antara lain, Sudwikatmono (Rp 1,3 triliun) dan Probosutedjo (Rp 100,3 miliar).

Belakangan kontroversi uang pengganti terus bergulir. Ada rekening mata anggaran yang dibuka untuk setoran uang pengganti. Setelah dicek, ternyata rekening itu milik Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namanya mata anggaran pendapatan atas denda administrasi perolehan bea hak atas tanah dan bangunan. Total uang pengganti kasus korupsi mencapai Rp 6,996 triliun. (noe/agm)

Sumber: Jawa Pos, 25 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan