Anwar Nasution Bersaksi untuk Aulia Pohan Cs dalam Kasus BI
Bersaksi untuk Aulia Pohan Cs dalam Kasus BI
Penetapan empat tersangka baru kasus aliran dana Bank Indonesia (BI), termasuk Aulia Pohan, tampaknya, bakal merepotkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution. Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin menghadirkan mantan anggota dewan gubernur bank sentral itu ke meja pemeriksaan.
Anwar mengakui, pemeriksaan kali ini merupakan yang keenam sejak KPK memulai mengusut kasus aliran dana BI Rp 100 miliar itu dua tahun lalu. Anwar perlu dihadirkan karena dalam beberapa fakta persidangan mengungkapkan kehadirannya dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 22 Juli 2003.
Rapat tersebut menindaklanjuti RDG pada 3 Juni yang memutuskan menyisihkan kekayaan Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) Rp 100 miliar. Dana itu digunakan untuk bantuan hukum mantan pejabat BI yang terseret kasus bantuan likuiditas (BL) BI dan dana diseminasi kepada anggota DPR. Rapat itu juga menetapkan penatausahaan penarikan uang negara tersebut.
Selanjutnya dibentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) yang diketuai Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak.
Selain itu, amar putusan kepada mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah pada 29 Oktober lalu juga menyebut perlunya tanggung jawab semua anggota dewan gubernur atas lolosnya dana Rp 100 miliar tersebut.
Anwar mendatangi gedung KPK sekitar pukul 13.30. Dia baru keluar setelah menjalani pemeriksaan selama tiga jam. ''Sudahlah, beri kesempatan KPK bekerja dulu. Ini sudah pemeriksaan keenam,'' jelas Anwar yang kemarin mengenakan kemeja batik.
Dia menolak membeber pertanyaan yang diajukan kepadanya. ''Nggak ada yang baru. Tanya saja kepada Pak Irsan (penyidik KPK),'' katanya.
Dia juga tidak mau menanggapi penetapan empat koleganya, Aulia Tantowi Pohan, Aslim Tajuddin, Maman H. Soemantri, dan Bun Bunan Hutapea, sebagai tersangka. "Saya tidak tahu itu. Saya bukan ahli hukum,'' ujarnya.
Anwar juga enggan mengomentari lebih jauh soal dua kali dissenting opinion yang dilakukan para hakim Pengadilan Tipikor saat memutus skandal tersebut. Baik hakim Moerdiono yang memutus Burhanuddin Abdullah maupun Sofiadi yang memvonis Oey dan Rusli, keduanya sama-sama menyatakan bahwa uang YPPI tidak termasuk keuangan negara.
''Sudah jelas. Setahu saya, uang itu merupakan uang negara,'' jelasnya. Menurut Anwar, satu sen rupiah uang negara yang masuk ke panti jompo sekalipun harus diperiksa BPK dan dilaporkan kepada rakyat.
Di tempat sama, Kabiro Humas dan Luar Negeri BPK Dwita Pradana menegaskan kembali posisi Anwar ketika terjadinya kasus itu. Saat RDG 3 Juni 2003, Anwar tidak hadir karena yang bersangkutan tengah berada di Amerika Serikat. ''Yang bersangkutan tidak pernah memperoleh informasi mengenai keputusan RDG itu serta tidak pernah mendapatkan laporan untuk apa penggunaan dana, dasarnya, dan siapa yang menerima,'' tuturnya.
Meski demikian, lanjut Dwita, Anwar hadir dalam RDG 22 Juli 2003. Dalam resume RDG disebutkan bahwa pemberian bantuan peningkatan modal kepada YPPI secara bertahap untuk mengganti kekayaan yayasan yang telah ditarik. ''Pak Anwar tidak pernah diberi tahu bagaimana keputusan RDG 22 Juli itu dilaksanakan,'' terangnya.
Selain memeriksa Anwar Nasution, KPK kemarin memeriksa anggota DPR Hamka Yandhu yang diduga turut menikmati aliran dana BI senilai Rp 31,5 miliar. (git/agm)
Sumber: Jawa Pos, 14 November 2008
---------------------------------------------
Aliran Dana BI
Anwar Nasution Diperiksa KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (13/11), untuk keenam kalinya, memeriksa Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution dalam kapasitasnya sebagai saksi kasus penarikan dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia dan Bank Indonesia.
Namun, pemeriksaan Anwar itu adalah yang pertama untuk tersangka empat mantan Deputi Gubernur BI, yaitu Aulia Pohan, Bunbunan EJ Hutapea, Maman Soemantri, dan Aslim Tadjuddin.
Untuk keempat tersangka tersebut, kemarin KPK juga memeriksa anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, Hamka Yandhu dan Daniel Tandjung.
Anwar yang mengenakan batik warna merah tiba di KPK sekitar pukul 13.45. Dia hanya menjawab ”tidak tahu saya” saat ditanya tentang putusan majelis hakim dalam perkara mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah pada 29 Oktober lalu.
Dalam putusan itu, Anwar dinyatakan sebagai salah satu pihak yang bekerja sama dengan Burhanuddin dalam penarikan dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Pihak lainnya adalah empat mantan Deputi Gubernur BI yang sekarang sudah dinyatakan sebagai tersangka, serta dua pejabat BI, Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak, yang Rabu lalu divonis hukuman empat tahun penjara.
Salah satu pertimbangan kesimpulan itu, karena tanpa Rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni dan 22 Juli 2003, penarikan dana itu tidak akan terjadi. Anwar yang saat itu menjadi Deputi Gubernur Senior BI memang tidak hadir dalam Rapat Dewan Gubernur 3 Juni, yang keputusannya meminta YPPI menyisihkan dana Rp 100 miliar untuk menanggulangi kegiatan BI yang bersifat mendesak dan insidentil. Keputusan Rapat Dewan Gubernur itu juga tak diberitahukan kepada Anwar.
Namun, Anwar hadir dalam Rapat Dewan Gubernur 22 Juli 2003 yang memutuskan membentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK), yang tugasnya memanfaatkan dana YPPI untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.
Akan tetapi, dalam pernyataan tertulis BPK yang dibagikan kepada wartawan, Anwar menyatakan setelah menjadi Ketua BPK baru mengetahui bahwa dana YPPI yang diperuntukkan bagi PPSK itu ternyata tidak ada yang digunakan untuk kegiatan kemasyarakatan, melainkan untuk bantuan hukum para pejabat BI dan dialirkan ke sejumlah anggota komisi IX DPR terkait amandemen UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia.
Sementara itu, seusai diperiksa, Hamka Yandhu kembali menegaskan telah membagikan sejumlah uang dari YPPI itu kepada rekan-rekannya di DPR. ”Saya benar kok kasih uang,” ujarnya.
Namun, Daniel Tandjung tidak mau berkomentar. (NWO)
Sumber: Kompas, 14 November 2008