Antikorupsi Sekadar Simbol; Matai Rantai KKN Harus Dipotong

MENURUT International Country Risk Guide Index (ICRG), sejak tahun 1992 hingga tahun 2000, indeks korupsi di Indonesia terus meningkat dari sekitar tujuh menjadi hampir sembilan (tahun 2000).

Kecenderungan yang sama juga terjadi di Filipina yang penduduknya mayoritas kristiani dengan indeks hampir tujuh demikian pula di Argentina Meksiko, dan Kolombia.

Demikian pula negara-negara mayoritas berpenduduk muslim lain seperti Pakistan dan Nigeria memiliki indeks korupsi amat tinggi, rata-rata di atas tujuh. Bahkan Thailand yang mayoritas penduduknya Buddha, indeks korupsinya hampir mencapai delapan.

Penjelasan di atas setidaknya menunjukkan kepada kita, tidak ada korelasi positif antara kehidupan keberagamaan dan tinggi atau rendahnya korupsi.

Sinyalemen bernada pesimistis itu terekam dalam diskusi Forum Diskusi Media Group dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda, yang mengambil tema Jejak demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Sesi pertama yang mengambil judul Menggali Semangat Antikorupsi di Kaum Muda ini mengetengahkan tiga pembicara yaitu Anies Baswedan (The Indonesian Institute), Masdar Mas'udi (P3M), dan Indra J Piliang (CSIS). Ketua Forum Diskusi Media Group Jaleswari Pramodhawardhani tampil sebagai moderator,sekaligus melaporkan jalannya diskusi tersebut. Pokok masalah yang dibahas adalah spirit antikorupsi di kalangan kaum muda Indonesia yang mayoritas muslim.

Indra J Piliang membuka diskusi dengan menyodorkan fakta bahwa korupsi yang berlangsung lebih dari empat abad di Indonesia, (yang dimulai sejak zaman VOC), hampir selalu melibatkan birokrasi pemerintah sebagai tertuduh.

Dalam konteks sekarang, misalnya, hampir setiap pemilihan kepala daerah (bupati atau gubernur) tidak ada yang bebas dari money politics. Kekuasaan dan uang telah menjadi orientasi utama oleh siapa saja yang memiliki akses pada keduanya. Aji mumpung, memperjuangkan diri sendiri, serta egoisme kolektif lainnya yang merupakan gejala masif itu, seolah-olah dimonopoli para pemegang kekuasaan.

Kegeraman terhadap penanganan korupsi yang lamban ini juga dilontarkan Masdar Mas'udi. Setidaknya Direktur P3M ini melihat tiga akar persoalan yang dianggapnya sebagai salah satu alasan mengapa korupsi di Indonesia sulit untuk diberantas. Pertama, sebagai bangsa kita memiliki ritualisme yang luar biasa. Ada disparitas antara personal religiousity dan social religiosity. Yang pada akhirnya kita terjebak pada budaya formalisme dan simbolisme.

Kedua, permasalahan korupsi adalah permasalahan yang telah berkait berkelindan dan berangkat dari kultur petani dan priayi. Petani malas dalam mengusahakan sesuatu yang lebih karena ia yakin akan kekayaan dan kesuburan tanah yang dimilikinya.

Ketiga, tidak adanya pembedaan antara domain publik dan domain privat. Tidak adanya pemisahan yang tegas di antara dua domain itu menyebabkan orang sulit untuk membedakan milik publik dan privat, kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

Berbeda dengan Indra J Piliang yang masih berharap kepada civil soeciety organization (CSO), Masdar lebih melihat bahwa sifat kesegeraan dalam memberantas korupsi ini tidak bisa diletakkan kepada kesiapan CSO semata. Menurutnya, memotong mata rantai korupsi melalui CSO memang ideal, namun mempunyai kerumitannya sendiri, karena proses mendidik dan mencerdaskan tersebut butuh waktu lama.

Sebagai solusi persoalan, Masdar menawarkan tiga hal. Pertama, mengoptimalisasikan peran media. Media punya cara ampuh dalam melakukan gerakan anti korupsi, namun agak kurang dalam mengonsolidasikan idealisme, seperti dengan sungguh-sungguh dalam melakukan monitoring dan konsisten dalam mengawal kasus-kasus besar dan meresahkan publik agar tidak terjadi pelupaan atau penghilangan kasus.

Penghilangan dan pelupaan kasus korupsi harus dihindarkan untuk mencegah terjadinya pengulangan kasus yang sama. Kedua, diperlukan keinginan yang kuat dari para pemimpin baik di level pusat maupun daerah, baik strata atas maupun bawah, untuk penegakan antikorupsi ini melalui sangsi yang tegas. Ketiga, lembaga dan aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman) harus bersih dari korupsi.

Pemilihan skala prioritas dalam kerja harus dilakukan yaitu mengedepankan kasus korupsi sebagai persoalan yang sangat krusial saat ini untuk segera ditangani. Dan konsekuensi logis dari hal tersebut para penegak hukum perlu diberikan insentif yang besar agar tidak terkena virus korupsi.

Sependapat dengan Masdar dan Indra, Anies Baswedan menegaskan permasalahan krisis yang dialami oleh Indonesia sebagai negara yang sedang mengalami transisi sebenarnya tidaklah separah Amerika Latin dan Eropa Timur, namun dalam permasalahan korupsi yang sangat masif ini telah membuat kita menjadi pesimistis.

Hal itu ditunjukkannya melalui hasil survei yang dilakukan di 177 kabupaten di Indonesia, yang hasilnya hanya 13% responden yang berani menolak penyogokan, penyuapan dengan tegas, selebihnya melihat kasus ini sebagai hal yang biasa dan tidak menolak untuk membayar penyuapan.

Berbeda dengan Masdar yang melihat sumber korupsi sebagai akibat dari budaya malas, Anies lebih melihat bahwa orang melakukan korupsi berdasarkan pilihan yang ada, ketika hukum memberikan sanksi yang ringan kepada para koruptor seperti yang terjadi selama ini, akan merangsang terjadinya korupsi lebih hebat lagi.

Sumber: Media Indonesia, 31 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan