Antikorupsi di Daerah

Pentingnya gerakan pemberantasan korupsi dilakukan di tingkat daerah terkait dengan peta penyebaran praktek korupsi pada masa pasca-Soeharto.

Pentingnya gerakan pemberantasan korupsi dilakukan di tingkat daerah terkait dengan peta penyebaran praktek korupsi pada masa pasca-Soeharto. Sementara pada masa Soeharto korupsi dikendalikan oleh kekuasaan pusat, di era reformasi korupsi menyebar. Ibaratnya, pada masa Orde Baru dulu hanya ada satu raja, kini di masa reformasi ada banyak raja kecil. Munculnya raja-raja kecil itu memiliki potensi tergoda korupsi pula.

Atas pertimbangan itu, pemberantasan korupsi sebagai agenda politik prioritas adalah sesuatu yang niscaya dan tak bisa ditawar lagi oleh para kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Namun, bagi saya, upaya pemberantasan korupsi tidak bisa hanya bersifat kuratif, tapi juga harus preventif. Karena itu, para kandidat mesti memberikan perhatian yang serius pada gerakan pemberantasan korupsi dengan menggunakan instrumen politik-hukum dan pendidikan.

Pemberantasan korupsi meniscayakan adanya komitmen yang tinggi dari penyelenggara pejabat publik. Suatu awal yang baik telah dicontohkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan komitmennya untuk memberantas korupsi dari lingkaran istana. Tapi beranikah seorang kandidat kepala daerah mengatakan kepada publik, Saya akan memimpin langsung pemberantasan korupsi di daerah ini?

Sebagai tindak lanjut dari komitmen pemberantasan korupsi, ada hal mendasar yang mesti dilakukan kandidat, yakni program kebijakan konkret yang menyentuh kebutuhan riil masyarakat secara luas. Kandidat patut mengambil pelajaran dari kasus Partai Keadilan Sejahtera. Seperti diteliti oleh Greg Fealy dan Anthony Bubalo (2005), meski awalnya ketika masih berbendera Partai Keadilan mengedepankan ideologi Islamis, PKS pada Pemilu 2005 mengusung program-program konkret yang menyentuh kebutuhan riil masyarakat.

Program antikorupsi adalah sebagian contoh program yang ditawarkan PKS selama kampanye Pemilu 2004. Hasilnya, suara PKS naik dari 1,4 persen (dari total suara) dengan 7 kursi di parlemen pada Pemilu 1999 menjadi 7,3 persen dengan 45 kursi pada Pemilu 2004.

Pemilu 2004 memberikan pelajaran berharga tentang adanya pergeseran orientasi pemilik suara. Fanatisme ideologis tidak lagi mendominasi praktek pemberian suara pemilih. Fanatisme itu sudah tergantikan oleh pertimbangan rasional.

Karena semakin rasionalnya publik pemilik suara, kandidat dalam pemilihan kepala daerah harus menawarkan program-program konkret yang menyentuh kebutuhan riil mereka. Misalnya, beranikah kandidat menjamin tidak ada pungutan liar dalam pengurusan surat izin mengemudi. Tentu saja jaminan ini juga disertai mekanisme yang terukur menyangkut model pelaksanaan dan pengawasannya.

Selain itu, mesti ditimbang pula soal pengandaian publik bahwa korupsi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari layanan publik negara. Pengandaian ini tentu saja tidak bisa dibenarkan. Karena itu, seorang kandidat dalam pemilihan kepala daerah mesti mengiringi komitmen antikorupsinya dengan proses pencucian otak. Proses itu dilaksanakan dengan melakukan pendidikan antikorupsi.

Pendidikan antikorupsi tersebut bisa menggunakan jalur formal ataupun informal. Jalur formal menunjuk pada pengadaan pendidikan antikorupsi melalui kurikulum pendidikan sekolah, dari level menengah ke perguruan tinggi. Sedangkan jalur informal bisa melalui pendidikan dengan meminjam model pembelajaran kelompok belajar paket A dan B. Program pendidikan antikorupsi model kejar paket A diperuntukkan misalnya bagi penyelenggara jabatan publik. Sedangkan model paket B diperuntukkan bagi masyarakat luas yang berperan sebagai pengguna layanan publik.

Hasil akhir dari pendidikan antikorupsi adalah pembatasan penyebaran praktek korupsi sekaligus pencegahannya dari proses penyelenggaraan pemerintahan melalui mekanisme pengawasan dari dan oleh masyarakat.(Akh. Muzakki, Sekretaris Eksekutif Lembaga Studi Agama dan Perubahan Sosial dan pengajar IAIN Sunan Ampel, Surabaya)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 23 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan