Antara Moggi dan Anggodo
Publik sepak bola dunia tentu masih ingat skandal Calciopoli pada 2006. Sebuah skandal memalukan berupa pengaturan skor yang terjadi di Liga Serie A Italia. Skandal itu juga bermula dari transkrip pembicaraan manajer umum Juventus, Luciano Moggi. Dalam perbincangannya, Moggi kepada Pierluigi Pairetto, kepala asosiasi wasit Italia dan anggota komisi wasit UEFA, mengatakan bahwa wasit-wasit mana yang bakal ditugaskan dalam sejumlah pertandingan timnya pada Serie A dan Liga Champions.
Antara Moggi dan Anggodo
Oleh: Sholahuddin
Publik sepak bola dunia tentu masih ingat skandal Calciopoli pada 2006. Sebuah skandal memalukan berupa pengaturan skor yang terjadi di Liga Serie A Italia. Skandal itu juga bermula dari transkrip pembicaraan manajer umum Juventus, Luciano Moggi. Dalam perbincangannya, Moggi kepada Pierluigi Pairetto, kepala asosiasi wasit Italia dan anggota komisi wasit UEFA, mengatakan bahwa wasit-wasit mana yang bakal ditugaskan dalam sejumlah pertandingan timnya pada Serie A dan Liga Champions.
Tidak lama setelah transkrip pembicaraan Moggi dengan Pairetto diberitakan media-media Italia, publik sepak bola dunia tersentak. Skandal itu menyebar dengan cepat dan menjadi isu nasional. Skandal tersebut banyak memakan korban. Petinggi-petinggi terkait ramai-ramai mengundurkan diri. Beberapa di antara mereka adalah presiden dan wakil presiden Federasi Sepak Bola Italia, Franco Carraro dan Innocenzo Manzini.
Skandal Calpiacoli itu juga membawa korban seorang pembawa acara top sepak bola Italia Aldo Biscardi. Dia adalah pembawa acara Trial, sebuah acara yang menganalisis pertandingan-pertandingan sepak bola. Program acara itu cukup diminati. Biscardi telah membawakan acara tersebut selama 26 tahun. Dia juga mengumumkan mundur dari jabatannya. Sebab, Biscardi disebut-sebut telah melakukan kerja sama dengan Moggi guna mengangkat citra klub asal Kota Turin itu.
Media Italia mengumumkan petikan percakapan telepon yang mengindikasikan Moggi melakukan tekanan kepada Biscardi guna mengunggulkan Juventus. Para suporte yang mengikuti polling lewat telepon akhirnya dimanipulasi guna mengunggulkan Juventus.
Kasus itu tidak hanya berhenti di situ. Juventus dihukum degradasi ke Serie B, pengurangan 30 nilai untuk musim berikutnya, penghapusan dua gelar juara Serie A, dilarang tampil di Liga Champions 2006-2007 dan didenda USD 100.000. Melalui banding, Juventus akhirnya mendapatkan keringanan beberapa hukuman.
Tentu, itu sebuah aib bagi klub sebesar Juventus. Karena itu, pemain bintang seperti Zlatan Ibrahimovic, Patrick Vieira, Gianluca Zambrotta, Fabio Cannavaro, Emerson, dan Lilian Thuram memutuskan hengkang karena tak sudi bermain di Serie B.
Bagaimana nasib Moggi sendiri? Selain dilarang aktif dalam persepakbolaan di Italia beberapa tahun, aktor utama skandal pengaturan skor di ajang Serie A Italia pada 2006 itu dipenjara setahun setengah oleh Pengadilan Roma. Pengadilan Roma telah membuktikan bahwa Moggi terbukti melakukan rekayasa licik.
Begitu skandal Calciopoli bergulir, betapa sakit hati dan kecewanya masyarakat pecinta bola. Terlebih para pendukung Juventus. Klub yang selama ini mereka bangga-banggakan tidak ubahnya pecundang. Bagi mereka, apalah arti sebuah kemenangan ketika dicapai melalui cara-cara culas, rekayasa, intrik, dan sejenisnya. Pastilah merusak tata nilai. Rasa ketidakpercayaan pun merosot. Lalu, selalu muncul kecurigaan atas hasil-hasil pertandingan.
***
Suasana di atas tentu tak jauh berbeda ketika rakyat di negeri ini mengetahui transkrip pembicaraan Anggodo Widjojo dengan beberapa orang. Kita yang mendengar pembicaraan Anggodo itu sungguh ikut dibuat dongkol, marah, dan geram.
Rasa keadilan masyarakat semakin terusik. Betapa tidak. Skandal suap kasus BLBI yang juga diawali dengan penyadapan isi pembicaraan telepon dan menyeret petinggi aparat yudikatif ternyata belum juga mampu membuat wajah penegakan hukum di negeri kita berubah. Bisa jadi karena itu, wajah hukum kita sebetulnya lebih bodoh ketimbang keledai karena terperosok dalam lubang yang sama.
Dalam skandal Calciapoli tersebut, FIGC, UEFA, dan FIFA bertindak relatif cepat. Pihak-pihak yang terlibat memilih mundur, klub Juventus yang mungkin tidak tahu-menahu juga dihukum turun peringkat dan pengurangan beberapa poin, Moggi sebagai aktor utama skandal itu juga dipenjara, adalah bagian dari terapi.
Namun, pemandangan seperti itu tidak terjadi di sini. Mereka yang disebut-sebut ikut merekayasa dalam skandal pembicaraan Anggodo sejauh ini terbilang ''muka tembok''. Anggodo sendiri sebagai aktor utama, seperti Moggi dalam skandal Calciapoli, hingga sekarang masih bebas.
Sudah banyak pengamat dan praktisi menyatakan, skandal Anggodo itu terus menggelinding tanpa tindakan cepat. Maka, bukan tidak mungkin nanti berdampak fatal. Prasangka ''jangan-jangan'' itu bisa saja berkembang luas seperti pernyataan D. Dolland dan N. Miller dalam teori frustasi agregasi.
Menurut teori tersebut, keadaan frustrasi merupakan kondisi yang cukup untuk timbulnya tingkah laku agresif. Dalam konteks rasial (M. Moenandar Soelaeman, 2002), prasangka diartikan suatu sikap yang terhadap anggota kelompok tertentu, yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi. Dalam hal itu, terkadung suatu ketidakadilan dalam arti sikap yang diambil dari beberapa pengalaman dan yang didengar, kemudian disimpulkan sebagai sifat dari anggota kelompok.
Kita tentu berharap agar skandal Anggodo itu nanti tidak makin menimbulkan prasangka yang bisa berdampak luas. Karena itu, dibutuhkan tindakan-tindakan cepat pihak-pihak berwenang untuk memulihkan prasangka ''jangan-jangan'' itu. Nah, salah satu keputusan yang mungkin sangat kita tunggu-tunggu saat ini adalah berita mundurnya mereka yang terlibat, seperti keputusan mundurnya Franco Carraro dan Innocenzo Mazzini. Kita juga menunggu apakah nanti Anggodo bernasib sama dengan Moggi.
Walaupun sebetulnya terapi itu bukan merupakan satu jaminan skandal serupa tidak bakal terjadi lagi. Tetapi, paling tidak, tindakan-tindakan cepat itu bisa menjadi pemulih atau obat sakit hati kita. (*)
Sholahuddin, wartawan Jawa Pos
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 11 November 2009