Antara Menyuap dan Memeras
KASUS dugaan suap yang melibatkan eksekutif dan legislatif kembali terjadi di Jateng, setelah sebelumnya diberitakan terjadi di Kabupaten Semarang.
Kamis lalu, Sekda Kota Semarang Akhmat Zaenuri dan dua anggota DPRD, yaitu Agung Purno Sardjono dan Sumartono ditangkap petugas KPK. Mereka tertangkap tangan seusai rapat Badan Anggaran DPRD yang membahas tambahan penghasilan pegawai (TPP) dan RAPBD 2012, berikut sejumlah amplop berisi uang senilai total Rp 40 juta. (SM, 25/11/11)
Beberapa pihak tidak memercayai hal itu, dan ketidakpercayaan ini menjadi sesuatu yang wajar ketika ada kemungkinan Sekda menjadi korban pemerasan. Pendapat itu dengan mendasarkan kemungkinan ia sekadar memberi karena sebelumnya ada permintaan dari pihak lain.
Terlepas dari posisi Sekda nnatinya sebagai tersangka tindak penyuapan atau korban pemerasan, semua bergantung dari penyidikan KPK. Hasil pemeriksaan bisa memosisikan dia jadi tersangka penyuapan, baik dilakukan sendiri, selaku inidividu atau secara kedinasan, atau di sisi lain dia menjadi korban pemerasan. Keterangan awal ketiga orang itulah sangatlah penting.
Kalau nantinya ditemukan bukti permulaan yang cukup, dalam arti ada unsur pidana penyuapan pada tindakannya maka Sekda harus ditetapkan sebagai tersangka. Dia harus menerimanya sebagai sebuah konsekuensi hukum karena penyuapan merupakan tindak pidana yang ada ancaman sanksi pidananya. Hal itu juga berlaku bagi pihak penerima suap.
Kasusnya menjadi berbeda bila dalam penyidikan ternyata Akhmat Zaenuri justru menjadi korban pemerasan, dengan konsekuensi ia harus dibebaskan dan pihak yang memeras diproses secara hukum. Melihat adanya uang dalam amplop yang ditemukan di dalam mobil dinas Agung Purno Sardjono, sangat kecil kemungkinan uang diberikan atas dasar pemerasan.
Di sini penyidik mengharapkan kejujuran Akhmat Zaenuri memberikan keterangan dan untuk itu dia harus berani berterus terang. Sikap tidak kooperatif dalam proses penyidikan justru bisa menyulitkan posisinya. Statusnya juga bisa makin sulit kalau dia menghadapi sendiri, dalam arti mengorbankan diri demi mengamankan pihak lain yang sejatinya terkait
Posisi dia tertangkap tangan sangat jelas dan dia dalam kapasitasnya sebagai Sekda, yang secara otomatis atas nama Pemkot.
Posisinya sebagai tersangka kasus dugaan penyuapan pasti akan dikejar oleh penyidik, mengapa hal itu dilakukan dan adakah yang menyuruh. Bisa saja hal itu dilakukan sebagai upaya agar Badan Anggaran (Banggar) DPRD menyetujui RAPBD 2012 yang sedang disusun Pemkot.
Tersangka Baru
Analisis lain menyebutkan bahwa dia yang menjabat Sekda, besar kemungkinan tidak bertindak atas dasar inisiatif sendiri dalam memberi uang kepada anggota DPRD, artinya bukan uang pribadi. Analisis ini lebih mendasarkan bahwa uang untuk menyuap adalah uang rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada Pemkot.
Dari sudut ini, KPK dapat mengembangkan lebih jauh, artinya kemungkinan ada tersangka baru mengingat mereka yang terkait dengan terjadinya suap, dapat dijadikan sebagai tersangka, dan diancam dengan pidana bila nanti ada bukti keterlibatannya.
Suap-menyuap menurut hukum, merupakan bagian dari wujud tindak pidana korupsi. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, mereka yang menyuap atau berusaha menyuap diancam dengan pidana. Tidak peduli meski yang memberi suap itu hanya orang suruhan dan dianggap sebagai tumbal.
Dapat pula disebutkan bila selama ini suap telah menjadi hal yang biasa dan sulit ditekan pemunculannya. Bila sekarang KPK telah menangkap dan menahan ketiga orang itu atas dugaan menyuap dan menerima suap, tentu siapa pun harus menjadikannya sebagai hikmah dan sarana untuk tidak terjebak dalam praktik itu.
Dalam kasus ini, ketegasan bertindak aparat penegak hukum yang dberani menjatuhkan sanksi kepada penyuap dan penerimanya, sangat menentukan tegaknya hukum, minimal di Kota Semarang, yang bisa menjadi indikator penegakan hukum di Jateng.
Ketegasan itu juga ikut menentukan terjaganya kehormatan aparat dan wakil rakyat.
Keberanian mengungkap secara benar diharapkan bisa menekan, bahkan menghilangkan praktik suap sebagai bagian dari korupsi di negeri ini. (10)
Lathifah Hanim, dosen Fakultas Hukum Unissula Semarang, mahasiswa S-3 Ilmu Hukum UNS Surakarta
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 26 November 2011