Antara KPK dan Kejaksaan Agung; Dua Jalur Pemberantasan Korupsi
Isu pemberantasan korupsi telah menyita ruang publik media massa. Paling tidak ada tiga tempat yang menjadi sumber berita pers untuk terus menggemakan semangat perang melawan korupsi. Ketiga tempat itu adalah Kantor Kepresidenan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kejaksaan Agung.
Kantor Kepresidenan yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye menjanjikan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi membuktikan komitmennya yang kuat soal itu. Komitmen Presiden tercermin dalam aktivitas di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Markas Besar Kepolisian Negara RI, dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sifatnya lebih independen.
KPK dan Kejaksaan Agung termasuk juga Polri sama-sama punya tugas memberantas korupsi. Di dalam KPK terdapat unsur kepolisian sebagai penyidik dan juga kejaksaan sebagai penuntut umum. Secara undang-undang, KPK diberi kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan Kejaksaan Agung dan kepolisian.
Pada dasarnya di KPK dan kejaksaan sama, tugasnya menyelesaikan perkara. Bedanya hanya pada fasilitas kerja. KPK lebih memadai. Lagi pula, kami yang di KPK ini adalah orang- orang idealis dalam menuntaskan perkara korupsi!
Itu pengakuan dan klaim seorang jaksa yang saat ini bertugas di KPK. Saat bertugas di kejaksaan, dalam satu kurun waktu, ia dapat terjun dalam penyidikan maupun penuntutan untuk enam hingga tujuh perkara. Fasilitas kerja dan dana yang terbatas membuat penyidikan dan penuntutan lebih sering berjalan lambat.
Di KPK, dalam satu waktu—seperti saat ini—ia dapat menangani tiga perkara. Itu tak jadi masalah karena fasilitas kerja yang komplet memungkinkan penyidikan atau penuntutan berjalan cepat. Dana tersedia, selama dapat dipertanggungjawabkan untuk penanganan perkara.
Di kejaksaan, setiap langkah harus seizin pimpinan. Di KPK, dapat dibilang kami dapat melakukan apa pun untuk menuntaskan perkara. Tak perlu takut melangkah karena kami independen dan tidak mengizinkan intervensi dari siapa pun! kata jaksa itu lagi.
Sama-sama kurang
Gambaran itu menandakan sebenarnya tidak ada perbedaan mencolok antara kejaksaan dan KPK. Kedua lembaga penegak hukum itu memiliki tugas dan wewenang dalam menangani perkara korupsi, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga masuk ke pengadilan. Itu dua jalur dalam pemberantasan korupsi yang bermuara pada dua pengadilan berbeda. KPK berakhir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan Kejaksaan Agung akan berakhir di pengadilan umum.
Dalam menjalankan tugasnya, Kejaksaan Agung dan KPK sama-sama menghadapi kekurangan tenaga jaksa. Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean yang ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, pekan lalu, mengatakan, jumlah penyidik dan penuntut di KPK hanya 53 orang. Jumlah itu dinilai terlalu sedikit sehingga Panggabean merasa perlu meminta tambahan jaksa dan polisi. Belum ada kabar selanjutnya. Asal tahu saja, di kami banyak yang harus dobel-dobel karena kekurangan orang, katanya.
Kisah minimnya jaksa ternyata juga dialami Kejaksaan Agung dalam menangani perkara korupsi meskipun Gedung Bundar atau Gedung Bagian Tindak Pidana Khusus sudah memiliki 78 jaksa. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji pernah menyampaikan, keterbatasan jumlah jaksa yang kompeten menjadi persoalan tersendiri dalam merampungkan perkara korupsi.
Ia mengakui, penyidikan perkara korupsi kredit Bank Mandiri berjalan lambat. Untuk itu, Kejaksaan Agung menambah tenaga jaksa profesional dari daerah karena perkara perbankan jauh lebih rumit.
KPK dan Kejaksaan Agung sama-sama memiliki tanggungan berat. Dalam usianya yang belum dua tahun, KPK yang pimpinannya dilantik 29 Desember 2003 memiliki beban moral yang tidak ringan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, salah satu pertimbangan pembentukan KPK akibat lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Wewenang KPK yang diberikan undang-undang luar biasa. Misalnya, dalam tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK berwenang menyadap dan merekam pembicaraan. Bahkan, KPK juga dapat memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
Dalam perkara korupsi yang melibatkan Abdullah Puteh, contohnya, KPK memeriksa Puteh dan menetapkannya sebagai tersangka, saat masih berstatus sebagai Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Sebaliknya, penyidikan di kejaksaan akan memasuki masa tak pasti dan menggantung jika harus berhadapan dengan kepala daerah. Izin Presiden untuk memeriksa kepala daerah tersebut harus dikantongi terlebih dahulu.
Di sisi lain, KPK terikat batas waktu penanganan perkara. Keterbatasan itu antara lain dalam hal penuntutan, yakni setelah menerima berkas perkara dari penyidik, penuntut umum wajib melimpahkan berkas perkara itu ke pengadilan, selambat-lambatnya 14 hari kerja. Tak ada cerita KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Semua perkara yang sudah masuk ke tahap penyidikan harus tuntas hingga diantarkan ke pengadilan.
Dengan batasan itu, perkara menggelinding cepat dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga proses persidangan. Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum Hamdani Amin, misalnya, mulai diperiksa sebagai saksi dalam dugaan korupsi tanggal 12 April 2005. Pada 5 Mei 2005 ia ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan di Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tak sampai dua bulan berkasnya dilimpahkan ke tahap penuntutan pada 1 Juli 2005. Tanggal 15 Juli 2005 berkas perkara Hamdani sudah dilimpahkan ke pengadilan.
Kejaksaan Agung mulai menyelidiki perkara korupsi dalam pengucuran kredit Bank Mandiri sekitar bulan April 2005. Pada 27 April 2005 untuk pertama kalinya ECW Neloe yang saat itu masih menjabat Direktur Utama Bank Mandiri diperiksa penyidik bagian Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung. Pada tanggal 11 Mei 2005 Neloe ditetapkan sebagai tersangka, namun tidak langsung ditahan. Sepekan kemudian Neloe yang sudah tidak menjabat sebagai Dirut Bank Mandiri ditahan di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung. Kini, hingga tanggal 25 Juli 2005 atau 2,5 bulan kemudian, berkas perkaranya belum juga dilimpahkan ke pengadilan. Kasus Bank Mandiri memang lebih rumit.
Dalam praktiknya, penetapan tersangka di KPK hampir selalu diiringi dengan penahanan. Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin, Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, dan Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal KPU Sussongko Suhardjo ditetapkan sebagai tersangka dan seketika itu pula ditahan. Panggabean pun memberikan keterangan resmi dengan menyebutkan nama tersangka secara lengkap dan jelas.
Di Kejaksaan Agung dalam beberapa waktu terakhir mencoba konsisten menyebutkan nama tersangka hanya dengan inisial. Persoalan nama tersangka yang hanya disebutkan inisial ini bahkan pernah menjadi perdebatan dalam Rapat Kerja Kejaksaan Agung dan Komisi III DPR. Dalam rapat itu, Hendarman yang memaparkan hasil penyidikan dalam perkara korupsi Bank Mandiri menyebutkan nama perusahaan penerima kredit dan tersangka dengan inisial.
Saat itu juga anggota Komisi III DPR, yakni Panda Nababan, Benny K Harman, dan Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman, meminta penyebutan secara lengkap. Menurut mereka, perkara korupsi Bank Mandiri itu sudah diketahui publik secara luas, bahkan media cetak dan elektronik sudah menyebutkan nama saksi atau tersangka yang diperiksa secara lengkap.
Namun, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh tetap berkeras menyebutkan nama tersebut dalam bentuk inisial, dengan berpegang pada asas praduga tak bersalah. Menurut Jaksa Agung, seseorang belum dapat dinyatakan bersalah jika belum diputuskan bersalah oleh pengadilan.
Apa pun persoalan di dalam internal kedua lembaga hukum itu, KPK dan Kejaksaan Agung terus memacu diri menuntaskan perkara korupsi. Dengan komitmen pada masing-masing lembaga, tentunya semua koruptor akan berpikir ulang untuk merugikan negara. Jangan sampai koruptor berpikir, Ah, enggak apa-apa korupsi, kan ditangani kejaksaan. Nanti juga di-SP3!. Atau, nanti juga bebas di pengadilan. Alangkah ironisnya.
Oleh: Dewi Indriastuti
Sumber: Kompas, 27 Juli 2005