Antara Janji dan Tugas KPK

Seleksi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi selesai sudah. Mereka yang terpilih akan segera dilantik. Tugas yang sedemikian banyak, tugas perkara yang menumpuk, adalah tantangan membangun institusi KPK agar lebih kuat.

Pada saat yang sama, masih juga diimbuhi dengan janji-janji personal yang dikeluarkan kandidat-kandidat komisioner KPK yang terpilih tempo hari. Janji dan tugas KPK akan terakumulasi menjadi tantangan baru bagi KPK. Mampukah? Maukah? Secara yuridis sebenarnya ada yang tidak terlalu pas dalam janji-janji personal para kandidat ini,apalagi yang menjanjikan secara personal akan menyelesaikan kasus tertentu bahkan dengan janji mundur dalam setahun.

Begitu pula janji menaikkan indeks persepsi korupsi (IPK) secara bertahap maupun janji-janji personal lainnya. Kita tentu bisa membaca itu sebagai cita-cita personal yang akan dilakukan, tetapi masalahnya akan punya peluang untuk menjadi backfirekarena janji itu adalah janji personal yang belum tentu bisa terwujud secara institusional. UU KPK secara jelas menggunakan kata kolektif dan kolegial untuk menggambarkan pola kerja KPK.

Dalam segala hal, kolektivitas dan kolegialitas harus dikedepankan. Menjadikan sistem yang bekerja, termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Untuk janji-janji tertentu semisal menaikkan IPK Indonesia masih terasa cukup wajar karena tentu kerja kolektif dan kolegial mudah untuk mendorong ke arah sana.

Namun, ketika menjanjikan kasus tertentu untuk dituntaskan, bisa jadi akan ada distingsi di antara para komisioner. Khususnya jika dalam kasus korupsi yang penuh dengan kepentingan politik. Kasus korupsi yang penuh kepentingan politik seringkali tidak menjadikan hukum sebagai barometernya, tetapi kepentingan politiklah yang digunakan sebagai barometer.

Ketika komisioner KPK terpilih sudah berani berjanji di hadapan ‘blok’ politik tertentu untuk menyelesaikan perkara tertentu, kondisi yang paling berbahaya adalah penyelesaiannya pun terpaksa mengikuti kehendak ‘blok’ politik yang mengusung sang komisioner terpilih. Ini tentu sangat berpotensi menjadi sandungan besar bagi pola kerja KPK yang seharusnya kolegial-kolektif dan pada saat yang sama terikat pada janji menyelesaikan kasus berdasarkan perspektif kepentingan politik tertentu.

Misalnya di kasus Century. Mengikatkan janji pada “blok’ pengusung kasus Century tentu saja menjadi penyelesaian berdasarkan keinginan “blok” pengusung. Atau pada pertanyaan ‘serupa,tapi tak sama’, bagaimana dengan kasus lain yang berkaitan dengan “blok” pengusung semisal kasus-kasus pajak.Kerja KPK akhirnya harus dititipkan tambahan beban bukan hanya mendorongnya berdasarkan perspektif hukum, melainkan boleh jadi berbaur dengan kepentingan politik.

Tugas
Padahal, tugas menjalankan hukum berdasarkan UU KPK sudah menumpuk. Bagaimana KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi yang hingga saat ini masih paling lemah dikerjakan KPK. Jika penindakan dan pencegahan sudah mulai berjalan dan dibantu banyak lembaga lain yang juga bekerja melakukan penindakan dan pencegahan, beda halnya dengan koordinasi dan supervisi yang sangat spesifik menjadi tugas KPK.

Apalagi dalam tugas itu yang disasar adalah lembaga-lembaga yang bekerja langsung maupun tidak langsung dalam pemberantasan korupsi. Bukan hanya tugas yang berkaitan substansi kerja, melainkan KPK juga diharapkan dengan membangun institusi yang layak untuk dapat mengerjakan semua tugasnya secara serius.

Padahal, kita semua paham, postur kelembagaan KPK masih jauh dari layak untuk mengerjakan semua tugas secara efektif seperti yang diharapkan pembentuk UU maupun aspirasi masyarakat ketika UU tersebut dibuat. Secara internal KPK bahkan punya persoalan internal yang hingga saat ini belum terjawab dengan baik perihal aturan internal dan sumber daya manusianya.

Belum lagi ada juga tantangan yang berkaitan kerja eksternal dalam membentuk UU KPK. Pembentuk UU sedang dalam proses melakukan perubahan terhadap UU KPK. Sadar atau tidak, ini sangat berbahaya karena sama dengan membuka kesempatan lebar bagi kekuatan politik untuk menjinakkan KPK melalui revisi atas UU KPK.

Hal yang berpotensi akan bersalin rupa menjadi UU penjinakan KPK. Meskipun memang secara faktual ada beberapa aturan yang sudah tidak cukup pas dan harus diperbaiki, KPK harus berpikir keras untuk tetap bekerja berdasarkan UU yang ada sembari harus memberikan kawalan atas kemungkinan involutif akibat perubahan UU KPK.

Roadmap
KPK harus mulai mencicil jawaban kerja yang dititahkan dan janji yang sudah diucapkan. Ada beberapa langkah wajib yang harus dikerjakan sedari awal sebagai bagian dari menjawab itu. Sekarang saatnya KPK untuk punya roadmap yang jelas untuk melakukan pemberantasan korupsi.Peta yang jelas untuk menggambarkan fokus kerja yang akan dihela selama setahun ke depan hingga yang lebih panjang hingga bertahun-tahun kemudian.

Roadmap yang menggambarkan bukan saja perbaikan kerja pemberantasan dan pencegahan, melainkan juga soal fokus perbaikan sektor internal KPK. Sembari pada saat yang sama mengerjakan prioritas kasus yang memang sangat penting untuk diselesaikan. KPK juga harus bisa berbagi peran di daerah-daerah yang selama ini sangat kurang, dan artinya membutuhkan penguatan internal KPK agar bisa menjangkau daerah.

Saya berdoa sekaligus berharap, KPK mampu mengerjakan pemberantasan korupsi secara lebih tegas dan berani. Sadar atau tidak KPK adalah salah satu pertaruhan masa depan bangsa ini. Jika mampu mengerjakan semua amanah yang ada,akan ada harapan besar memenangkan pertarungan dengan para koruptor. Semoga! 
ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Pengajar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta. Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 6 Desember 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan