Antara Dewa Penyelamat dan Calo
Yang tidak ada bencana kok juga minta?
Isu percaloan dana bencana alam oleh beberapa anggota DPR kembali mencuat pekan lalu. Kali ini Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Soetedjo Yuwono yang menguaknya. Ada tujuh anggota DPR meminta dia mengegolkan 14 proposal. Jika tak disetujui, seorang anggota Dewan mengancam akan menolak usul dana dari Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi.
Soetedjo sama sekali tak menyebut jati diri anggota Dewan tersebut. Namun, anggota Panitia Anggaran DPR, Rudianto Tjen, merasa dirinyalah yang dimaksud itu. Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu membenarkan telah menelepon Soetedjo untuk meluluskan permintaan dari Tarutung, Sumatera Utara, agar beberapa barang untuk fasilitas rumah sakit kelas B di daerah itu dipenuhi. Dia juga meminta proposal dari Bupati Sinjai, Sulawesi Selatan, diloloskan. Soetedjo jelas menampiknya karena apa yang diminta (antara lain dua komputer jinjing, ambulans, dan perlengkapan sinar-X) bukan barang yang rusak karena terkena bencana.
Meski tak jelas apa pertalian Rudianto yang merupakan anggota PDI Perjuangan dari Provinsi Bangka-Belitung itu dengan Tarutung dan Sinjai, dia meradang atas penolakan tersebut. Ia pun mengancam akan memelopori penolakan pengajuan usul dana pascabencana itu di Panitia Anggaran. Sebab, usul daerah penerima dana bencana banyak yang tidak tepat.
Dari dokumen yang didapat Tempo, ada 89 daerah yang mengajukan permohonan dana. Tapi sebagian di antaranya tidak menjelaskan jenis bencana yang dialami. Yang tidak ada bencana kok juga minta? kata Rudianto geram. Soetedjo mengakui ada kemungkinan tudingan tersebut benar. Karena itu, pihaknya akan memverifikasi setiap proposal yang masuk agar pembagian dana tidak salah alamat.
Semula, Ketua DPR Agung Laksono bereaksi keras. Ia meminta Soetedjo tidak melempar isu tanpa dilengkapi bukti. Hal ini agar tidak memicu perseteruan antara DPR dan pemerintah. Agung mewanti-wanti, sikap anggota DPR yang ngebet meloloskan anggaran bencana tidak selalu bisa dimaknai sebagai percaloan. Selama ia tidak meminta uang (imbalan), tidak jadi masalah. Jangan di-gebyah uyah (pukul rata), ujarnya. Tapi belakangan dia mengaku telah mendapatkan nama-nama yang diduga terlibat percaloan itu dan berjanji akan mengumumkannya pekan ini.
Ketua Panitia Anggaran DPR Emir Moeis menyatakan peran yang disandang politikus di Senayan memang rentan. Tipis bedanya jadi dewa penyelamat atau jadi calo, ujarnya. Asalkan tidak ada komisi yang didapatkan apalagi diminta sang anggota Dewan bila perjuangannya mengegolkan dana bencana berhasil, mengawal proposal itu sah-sah saja.
Itu pun, kata Ketua Badan Kehormatan DPR Slamet Effendy Yusuf, sebaiknya yang mengajukan proposal tersebut berasal dari daerah yang sama. Jika itu dilakukan oleh orang di luar wilayah asal pemilihan, rentan dicibir pasti ada apa-apanya.
Agar maksud menjadi dewa penyelamat tak lantas terperosok menjadi calo, Saifullah Mashum dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa menyarankan pembuatan aturan yang lebih tegas, termasuk definisi soal calo. YOPHIANDI | RINI KUSTIANI
-----------------
Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Soetedjo Yuwono: Sebagian Proposal Bodong
Dewan Perwakilan Rakyat menemukan kejanggalan dalam rekapitulasi usul dana bencana tahun 2006 Badan Koordinasi Nasional. Daerah yang tak dilanda bencana ikut mengajukan permohonan dana bantuan. Rekapitulasi itu ditandatangani Soetedjo Yuwono. Berikut ini petikan wawancara Yophiandi Kurniawan dari Tempo di kantornya Jumat lalu.
Ada daerah yang tidak jelas bencananya tetap diberi dana?
Ini baru proposal. Tim akan mengeceknya. Kalau tidak betul, kami tolak.
Berapa lama pengecekannya?
Tim tidak bisa mengecek sampai pelosok. Maka kami meminta kepala daerah melampirkan pernyataan bahwa daerah mereka terkena bencana, sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Badan Koordinasi Nasional melayani semua dana bencana?
Semua boleh mengajukan. Tapi semua itu harus memenuhi indikasi bencana, yaitu risiko, rumah rusak, makan korban, atau jembatan putus.
Kriteria yang masuk untuk dana ini bagaimana?
Kami mengutamakan bencana nasional dan menyangkut kepentingan umum.
Kenapa prioritasnya infrastruktur?
Karena berhubungan langsung dengan manusia, seperti sekolah, itu harus lebih cepat diatasi.
Bukankah menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, prioritasnya kesehatan?
Itu tanggap darurat. Utamanya untuk makanan dan kesehatan manusia. Apabila dana cuma terbatas, diutamakan rumah daripada jembatan. Rumah berhubungan langsung dengan manusia.
Bagaimana dengan proposal dari Bangka-Belitung?
Ada usul dari Pak Rudianto Tjen. Dia minta untuk keperluan Rumah Sakit Tarutung, Sumatera Utara, dan Bupati Sinjai, Sulawesi Selatan. Setelah dipelajari, fasilitas itu tidak rusak akibat bencana. Tapi itu rencana untuk peningkatan status rumah sakit. Kami menolaknya.
Apakah berarti ada miskomunikasi?
Harus ada kesepakatan tentang kriteria. Bantuan perbaikan jalan menjadi hot mix pasti tidak kami cairkan. Kecuali kalau perbaikan jalan karena putus atau bergeser oleh gempa.
Kenapa jadi masalah?
Saya katakan kepada Pak Rudianto, itu masuk anggaran rutin Departemen Kesehatan.
Ini ada unsur politis?
Nggak ada urusan dengan politik. Ini pendekatannya daerah. Bahkan usul dari anggota DPR tetap diperiksa. Misalnya, Pak Nurhadi dari Panitia Anggaran meminta bantuan untuk kantor dinas pertanian dan kesehatan di Poso. Kami menolak karena tidak ada proposalnya.
Bagaimana dengan proposal daerah lainnya?
Sebagian fotokopi proposal saya tunda, sebagian lain dikembalikan. Saya anggap itu proposal bodong.
Ciri-ciri proposal bodong?
Semua memakai bahasa yang hampir sama. Memakai fotokopi kop surat dan tanda tangan, tapi cap daerah asli.
Proposal dari Bupati Sinjai?
Kemarin (Kamis lalu) sore proposal baru datang. Ya, kami pelajari. Saya memutuskan meninjau dulu karena ada pernyataan resmi Bupati.
Sumber: Koran Tempo, 7 Agustus 2006