Anomali Pilkada
Pilkada langsung yang berlaku di Indonesia sejak 2005 telah melahirkan anomali dalam praktik demokrasi lokal. Premis yang menyebutkan bahwa demokrasi berkorelasi positif dengan tingkat korupsi yang menurun nyatanya tidak berlaku dalam konteks Indonesia.
Korupsi justru kian meningkat pasca- pelaksanaan pilkada langsung. Data kuantitatif Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, sejak 2005, terdapat 40 kepala daerah, baik gubernur, wali kota, maupun bupati yang menjadi terpidana kasus korupsi.
Sementara dari Kantor Sekretariat Negara dilaporkan, hingga 2010, Presiden SBY telah menandatangani 150 surat izin pemeriksaan bagi kepala daerah yang jadi saksi ataupun tersangka kasus korupsi.
Jika kita telusuri lebih jauh, masalah mendasar yang telah meningkatkan terjadinya tindak pidana korupsi pasca-pilkada adalah penggunaan uang dalam pemilu lokal yang tidak terkendali. Uang yang memang tidak bisa dihindari merupakan faktor penting untuk menyokong berbagai macam kegiatan kampanye.
Tanpa uang, sangat sulit bagi seorang kandidat dapat memenangi pilkada. Uang dibelanjakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari pengadaan material kampanye, logistik, hingga pembiayaan tim sukses dan pendukungnya. Dalam fungsinya yang positif, uang dapat membantu kandidat meraih kursi kekuasaan.
Uang merusak pilkada
Namun, jika penggunaan dan sumber dalam memperoleh dana kampanye tidak diatur secara transparan dan akuntabel, uang justru menjadi faktor yang merusak.
Pemilu (pilkada) yang demokratis memiliki ciri-ciri utama, yakni terjaminnya prinsip keadilan dan kesetaraan bagi setiap kandidat yang berkompetisi. Adanya disparitas dalam penerimaan dan penggunaan sumber daya finansial dalam politik akan mencederai kompetisi politik yang seharusnya berlangsung adil.
Terdapat dua konsekuensi besar jika penggunaan uang dalam pemilu (pilkada) dibiarkan bebas dan tanpa kendali. Uang yang bebas bergerak dalam arena pertarungan politik memiliki potensi untuk mengooptasi semua proses penyelenggaraan pemilu.
Meskipun semua perangkat pemilu yang demokratis telah disiapkan, kekuatan uang dapat menyusup dan melampaui tatanan formal penyelenggaraan pilkada.
Protes berbagai hasil pilkada sedikit banyak menggambarkan kredibilitas penyelenggara pemilu dan pengawas yang rendah. Sangat mungkin, turunnya kredibilitas KPU/KPUD dan Panwaslu merupakan akibat dari pengaruh uang yang berlebihan dalam penyelenggaraan pilkada.
Bebasnya pergerakan uang membuat jalan instan untuk memenangi pertarungan menjadi sangat mungkin. Dengan ”menguasai” anggota KPUD, hitung-hitungan hasil pemilihan dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga menguntungkan kandidat yang menggunakan uangnya untuk menyuap penyelenggara pemilu.
Pendek kata, hasil pemilu akan rentan untuk dimanipulasi jika pengaturan mengenai dana politik tidak menjadi prioritas dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada. Sudah bisa diduga jika pemilu dilalui dengan proses yang koruptif dan manipulatif, yang akan lahir adalah pemimpin-pemimpin yang berwatak demikian.
Meningkatnya politik uang
Penggunaan uang dalam kampanye yang diatur ala kadarnya dapat meningkatkan praktik politik uang, terutama pada tingkat masyarakat pemilih. Politik uang dalam kacamata pemilih barangkali memiliki nilai ekonomis pada jangka pendek. Akan tetapi, dalam jangka panjang, hasil pilkada yang dimenangi melalui praktik politik uang justru mengurangi kesempatan masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap kesejahteraan.
Di samping itu, praktik politik uang juga dapat menyerang fondasi demokrasi, menghancurkan nilai etik politik, serta meningkatkan perilaku koruptif, baik pada tingkat pemilih maupun elite politiknya.
Jika pelaksanaan pemilu telah dicemari dengan praktik manipulasi yang sangat serius, bisa dimengerti dalam jangka panjang akan terjadi krisis ketidakpercayaan publik terhadap lembaga demokrasi seperti partai politik dan DPR/DPRD, termasuk pejabat publiknya.
Publik akan semakin asing dengan proses pengambilan keputusan politik, sementara elite politik akan semakin kuat relasinya dengan para kelompok kepentingan yang bermain untuk mendapatkan keuntungan dari keputusan politik yang dilahirkan.
Demikian halnya pemimpin politik yang lahir dalam sebuah proses pemilu yang penuh korupsi akan membentuk sebuah pemerintahan yang tidak kredibel. Maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah telah memberikan konfirmasi atas sebuah proses pilkada yang kotor.
Sulit untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik, melakukan reformasi birokrasi, mengefektifkan APBD untuk tujuan pembangunan, dan membangun kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan publik luas dalam kondisi di mana tingkat korupsi pejabat publiknya sangat tinggi.
Masyarakat luas juga tak luput dari imbas korupsi dalam pelaksanaan atau hajat besar demokrasi bernama pemilu/ pilkada. Dengan politik uang, masyarakat dididik untuk menghalalkan segala cara, mencari jalan keluar yang cepat, dan percaya bahwa suap akan memberikan keuntungan ekonomi.
Masyarakat menjadi pesimistis terhadap pemilu karena pemenangnya ditentukan oleh uang, sementara jika tidak ada pemberian uang, masyarakat juga menjadi alergi terhadap kandidat.
Pada akhirnya, pemilih hanya akan mencoblos kandidat-kandidat yang memberikan uang atau logistik paling besar. Hal inilah yang telah menghancurkan esensi demokrasi karena pemilih tidak lagi menggunakan pertimbangan logis dalam menentukan calon pemimpin mereka, tetapi sudah ditentukan oleh kekuatan uang. Dalam kondisi demikian, bandarlah yang menentukan pemenang pilkada, bukan pemilihnya. Lantas, di mana kita akan menempatkan vox populi vox dei?
Adnan Topan H, Wakil Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 Juli 2010