Anomali Pelayanan Publik
Kesalahan kita dalam memilih pemimpin adalah kita memilih pemimpin yang tidak menjadikan harapan publik sebagai harapan dirinya juga. Tak heran, di kemudian hari muncul kekecewaan eleman-elemen publik setelah diketahui bahwa pemimpin yang telah dipilihnya tersebut ternyata hanya mewujudkan harapan pribadi dan kelompoknya. Sebab, kebijakan yang dilahirkan dan diejawantahkan dalam pelayanan publik hanya tersedia pelayanan anomali.
Praktik tersebut telah sering dikeluhkan banyak orang, terutama dalam hal perizinan (izin usaha, izin prinsip, izin trayek, IMB, dll), pengurusan paspor, sertifikasi tanah, uji kir kendaraan layak operasi, serta denda kelebihan muatan di jembatan timbang yang telah berubah menjadi lahan bisnis.
Teks normatif kebijakan tentang prosedur, syarat, waktu, dan biayanya hampir tidak berarti apa-apa. Sebab, ketika kita berharap memperoleh pelayanan sesuai aturan, hal itu dianggap tidak lumrah. Apalagi jika eksekusinya bergantung pada pimpinan puncak pemerintahan dan pemimpin lembaga.
Contohnya, pelayanan publik di Pemprov Jatim. Menurut Sekda Provinsi Jatim Soekarwo, 251 unit pelayanan publik belum baik dan 121 unit pelayanan publik dinilai sudah cukup baik. Ini baru di Jatim yang telah dijadikan contoh pelayanan publik secara nasional. Bisa dibayangkan kualitas pelayanan publik di derah lain di luar Jatim. Publik tidak hanya butuh transparansi tentang biaya, syarat, serta waktunya saja, tapi butuh konsistensi implementasinya. Pelayanan publik di instansi pemerintah dan lembaga lainnya, meski telah memenuhi unsur transparansi tentang biaya, syarat, dan waktu penyelesaiannya, tataran operasionalnya sarat distorsi.
Kerangka Acuan
Pelayanan publik yang bertumpu pada instansi pemerintah merupakan pelayanan yang monopolistis. Sehingga, publik tidak punya pilihan lain. Men PAN pada 10 Juli 2003 mengeluarkan Keputusan No 63/KEP/M.PAN/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Salah satu hal yang menarik dalam surat keputusan itu adalah ketentuan tentang asas pelayanan publik.
Menurut keputusan Men PAN tersebut, tiga di antara enam asas pokok penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah: (1) transparansi. Sebuah unit pelayanan publik harus bersifat terbuka, mudah, dan bisa diakses semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti; (2) akuntabilitas, setiap proses dan hasil sebuah pelayanan publik harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik; (3) partisipatif, sebuah pelayanan publik hanya bisa bekerja maksimal bila ada ruang partisipasi publik.
Pada tataran operasional, partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat dilakukan melalui tiga cara (CAKAP: 2001). (1) Pembentukan opini publik berupa pendapat, penilaian, atau evaluasi terhadap pelayanan publik. (2) Melakukan pengawasan (public control) terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. (3) Menyampaikan dan menyelesaikan keluhan (public complaint) terhadap jasa pelayanan publik yang dirasa kurang serta tidak memuaskan.
Selain asas, keputusan Men PAN itu mengatur standar pelayanan publik. Ditegaskan, setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan secara terbuka, sehingga mudah diakses publik. Standar pelayanan publik adalah bentuk jaminan/garansi penyedia jasa pelayanan publik, sehingga ada kepastian bagi penerima layanan. Standar pelayanan publik juga merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati pemberi dan atau penerima pelayanan.
Jadi, hal-hal yang perlu dibuat standardisasi dalam pelayanan publik minimal meliputi: (1) prosedur pelayanan; (2) waktu penyelesaian pelayanan; (3) biaya pelayanan; (4) produk pelayanan; (5) sarana dan prasarana penunjang dalam pemberian pelayanan; serta (6) kompetensi petugas pemberi pelayanan. Sehingga, tidak ada lagi jargon birokrasi: kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah dan jika bisa diperas, mengapa tidak? yang merugikan publik.
Rekonstruksi
Baik buruknya pelayanan publik sangat bergantung pada konstruksi kebijakan publik yang mendasarinya. Kita tahu, sebagian besar dasar pelayanan publik saat ini adalah hasil konstruksi kebijakan publik warisan pemerintahan lalu. Konstruksinya sarat kepentingan birokrasi dan politik Orde Baru, kecuali UUD 1945 yang telah diamandemen.
Konstruksi kebijakan publik Orde Baru (UU, perpu, PP, perda prov/kota/kabupaten, sampai peraturan pelaksanaannya) melihat masalah publik dengan kacamata yang salah.
Akibatnya, hasil penyelesaian masalahnya melahirkan penyelesaian masalah yang salah pula. Karena itu, konstruksi kebijakan publik yang sampai kini belum tersentuh reformasi sangat mendesak direkonstruksi berdasarkan kepentingan publik untuk melahirkan wajah pelayanan publik yang ideal.
Kebijakan publik menapasi pelayanan publik. Sebab, kebijakan publik mengandung nilai, kebutuhan, dan kesempatan yang belum terpenuhi, tapi bisa diidentifikasi dan dicapai melalui pelayanan publik. Karena pembuatan kebijakan publik merupakan proses politik, dalam pilkada langsung di beberapa daerah, termasuk Surabaya, yang dimulai Juni 2005 ini, seyogianya kita memilih pemimpin yang menjadikan harapan publik sebagai harapan dirinya juga. Bukan sebaliknya, memilih pemimpin yang menempatkan harapan publik sebagai bukan bagian harapan dirinya.(M. Said Sutomo, ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 2 Juni 2005