Angka Merah untuk Pemberantasan Korupsi

Penegakan hukum tindak pidana korupsi selama tahun 2009 berada di tingkat yang memprihatinkan. Jika dinilai dengan skala satu sampai sepuluh, nilainya adalah lima atau angka merah.

Demikian disampaikan Laode M Syarif, Kepala Bidang Keamanan dan Keadilan Pemerintahan Kemitraan, dalam evaluasi akhir tahun pemberantasan korupsi dan diskusi bedah buku yang ditulis hakim tindak pidana korupsi (tipikor), Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Jalan Tiada Ujung di Jakarta, Senin (21/12).

”Lima artinya merah. Itu pun sudah kami naikkan. Mestinya bisa di bawah itu,” kata Laode. Buruknya nilai pemberantasan korupsi di Indonesia selama 2009, menurut Laode, karena pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kriminalisasi pimpinan lembaga itu. Pelemahan KPK berarti pelemahan upaya pemberantasan korupsi.

Menurut Laode, pemberantasan korupsi juga tidak didukung lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan umum. Selain itu, terdapat sejumlah produk perundang-undangan yang justru melemahkan pemberantasan korupsi, seperti Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor.

”Yang memperparah nilai itu karena kurangnya ketegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemberantasan korupsi,” kata Laode.

Penilaian mengenai buruknya pemberantasan korupsi juga disampaikan pembicara lainnya, Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch, advokat Bambang Widjojanto, dan Krisna Harahap.

Danang menyebutkan, pemutaran rekaman KPK di Mahkamah Konstitusi mengungkapkan bahwa mafia peradilan masih eksis. Krisna mengatakan, wajah buruk pemberantasan korupsi itu bisa terlihat dalam UU Pengadilan Tipikor. Di UU tersebut, Pasal 1 Ayat 4 akan merenggut eksistensi KPK yang sebelumnya berwenang dalam penuntutan perkara korupsi kemudian diserahkan ke kejaksaan.

Bambang menambahkan, akar masalah dari buruknya penegakan hukum korupsi ada di pusat kekuasaan. (AIK)

Sumber: Kompas, 22 Desember 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan