Angin Surga di Kantuk Birokrasi
Rencana pemerintah memberikan gaji ke-13 kepada pegawai negeri sipil disambut positif oleh publik. Sayangnya, pemberian gaji tambahan itu diyakini belum cukup untuk mengangkat kesejahteraan maupun kinerja pegawai negeri.
Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2001 tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), gaji terendah PNS ditetapkan Rp 500.000 dan gaji tertinggi Rp 1,5 juta. Dibandingkan dengan rata-rata gaji karyawan swasta, jumlah itu hanya mencapai 20-30 persennya. Padahal, di negara lain, PNS dibayar oleh pemerintah dengan jumlah yang hampir sejajar dengan pegawai swasta. Di Singapura, misalnya, gaji pegawai negeri rata-rata mencapai 80 persen dari gaji pegawai swasta. Di Jepang bahkan lebih tinggi lagi, mencapai 95 persen dari gaji pegawai swasta.
Rendahnya gaji PNS itu juga bisa menjadi indikasi kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan pegawai negeri. Dalam jajak pendapat Kompas yang diadakan pada akhir 2005, sekitar 64,9 persen responden mengungkapkan bahwa pemerintah masih kurang begitu peduli terhadap tingkat kesejahteraan pegawai negeri.
Namun, agaknya upaya pemerintah belakangan ini untuk memperbaiki kondisi ekonomi PNS mendapat respons positif. Dalam jajak pendapat kali ini keprihatinan responden terhadap perhatian pemerintah atas kesejahteraan pegawai negeri turun menjadi 49,5 persen. Bagi dua pertiga bagian (71,7 persen) responden, PNS memang perlu ditingkatkan kesejahteraannya di tengah meningkatnya biaya hidup saat ini.
Bayangkan saja, jika gaji pegawai negeri golongan rendah, yang berkisar Rp 500.000-Rp 1 juta, dipakai untuk membiayai kehidupan keluarganya hingga satu bulan di tengah mahalnya harga-harga saat ini, bisa dipastikan jumlah tersebut tidak akan mampu memenuhi kebutuhan mereka selama satu bulan. Karena itulah, pemberian insentif atau tambahan penghasilan di luar penghasilan reguler yang diterima, entah berupa bonus, kenaikan gaji, maupun pemberian gaji ke-13, disambut positif oleh publik.
Selama ini pemerintah sudah melakukan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan PNS dengan menganggarkan secara khusus pemberian gaji ke-13 pada pos belanja pegawai dalam APBN. Anggaran itu merupakan anggaran pasti yang harus disiapkan pemerintah di luar gaji reguler. Itu artinya, pemerintah telah menambah jumlah anggaran untuk membayar gaji ke-13 dalam APBN.
Meskipun belum bisa meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri secara signifikan, langkah pemerintah memberikan gaji ke-13 diapresiasi secara positif oleh publik. Setidaknya, antusiasme publik tersebut tercermin dalam pendapat 74,1 persen responden yang mengekspresikan dukungan mereka terhadap langkah pemerintah ini.
Kendati demikian, tidak semua tingkatan pegawai negeri dipandang layak menerima gaji ke-13. Pemerintah harus memprioritaskan pegawai negeri biasa terutama golongan I dan golongan II yang tingkat kesejahteraan mereka masih terbilang rawan. Bagi 86,2 persen responden, pegawai negeri golongan rendahlah yang paling layak menerima gaji ke-13.
Adapun PNS dengan golongan yang lebih tinggi, terlebih pejabat negara, seperti presiden dan wakil presiden, menteri, pejabat eselon, pejabat daerah, termasuk pimpinan dan anggota DPR/MPR, dianggap tidak layak menerima gaji ke-13. Mayoritas responden memandang para pejabat negara tidak perlu menerima insentif yang diberikan setahun sekali ini karena penghasilan dari gaji dan tunjangan bulanan mereka sudah sangat memadai untuk bertahan hidup.
Bagi para pegawai negeri, gaji ke-13 merupakan rezeki yang mereka tunggu untuk mengisi kekurangan anggaran rumah tangga. Karena itu, keberadaan insentif ini mempunyai nilai yang sangat berarti bagi mereka. Ungkapan ini terekam dari hampir semua (89,6 persen) responden yang bekerja atau yang berasal dari keluarga dengan profesi pegawai negeri. Menurut mereka, gaji ke-13 memberi dampak positif bagi perekonomian keluarga.
Sayangnya, pemberian gaji ke-13 ini diyakini hanya bisa membantu untuk menanggulangi kesulitan keuangan dalam jangka pendek. Karena itu, separuh bagian (48,2 persen) responden pun pesimistis bahwa pemberian gaji tambahan ini akan meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri.
Upaya pemberian gaji ke-13 masih terlalu jauh apabila dikaitkan dengan perbaikan kinerja. Apresiasi positif kalangan PNS terhadap gaji ke-13 ini dalam kenyataannya belum diimbangi dengan peningkatan semangat kerja mereka. Setidaknya, bagi sebagian responden dari kalangan PNS, semangat kerja mereka pascapenerimaan gaji ke-13 tidak ada bedanya dengan yang sudah-sudah. Sekitar 47,7 persen dari mereka memang mengaku adanya gaji ke-13 akan mengangkat semangat mereka sehingga semakin giat bekerja. Namun, sebagian lainnya (45,9 persen) dengan nada datar mengatakan semangat kerja mereka sama saja, baik ada gaji ke-13 maupun tidak.
Posisi pegawai negeri selaku kepanjangan tangan dari penentu kebijakan memang berhadapan langsung dengan kepentingan publik. Mereka menjalankan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan menangani pekerjaan-pekerjaan tertentu dalam organisasi pemerintahan. Oleh karena lemahnya kultur dan etos kerja, serta tidak adanya kontrol masyarakat, citra birokrasi kerap terpuruk dalam stigma kelambanan, kurang disiplin, tidak efektif, tidak cermat, serta tidak sigap dalam menjalankan pekerjaan mereka.
Kelambanan kerja yang selama ini diperlihatkan aparat birokrasi atau PNS juga dirasakan responden. Padahal, kecepatan kerja merupakan model kerja yang harus dimiliki organisasi modern seperti birokrasi. Kenyataannya, sekitar 54,8 persen responden mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap kecepatan pegawai negeri dalam melayani kepentingan publik. Kondisi yang sama juga dirasakan 58,2 persen responden terhadap kedisiplinan pegawai negeri.
Kendati demikian, dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan kepada publiknya, peran pegawai negeri dihargai oleh responden. Penampilan pegawai negeri yang dinilai ramah merupakan nilai positif yang diberikan 67,9 persen responden. Kemudian, dalam pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP, akta kelahiran, dan paspor, mayoritas responden mengaku puas dengan kinerja pegawai negeri ini.
Meski demikian, masih ada urusan lain yang belum bisa ditangani secara optimal oleh pegawai negeri. (SULTANI-LITBANG KOMPAS)
Sumber: Kompas, 17 Juli 2006