Anggota Pengurus KPU Bantul Dipidana
Kepala Subbagian Umum Komisi Pemilihan Umum Bantul Marsono yang menjadi salah satu terdakwa kasus korupsi pengadaan barang dan jasa Pemilu 2004 lalu, divonis penjara satu tahun empat bulan dan denda Rp 50 juta subsider dua bulan kurungan.
Ini lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni tiga tahun. Menurut Majelis Hakim yang diketuai RM Fajarisman dan beranggotakan Lingga Setiawan dan Abu Ahmad S pada sidang di Pengadilan Negeri Bantul, Senin (30/7), tindakan Marsono yang dilakukan bersama tiga pejabat KPU Bantul waktu itu, telah merugikan keuangan negara dari dana penyisaan KPU Bantul sekitar Rp 471 juta.
Namun, sebagian uang telah dikembalikan sehingga nilai akhir korupsi adalah Rp 353 juta. Selain Marsono, korupsi melibatkan Arif Iskandar serta Suwandi (Ketua dan anggota KPU Bantul). Keduanya sudah divonis penjara satu tahun. Sementara, anggota lainnya, yakni Kundaryatno, sekarang masih dalam proses persidangan. Tindakan Marsono, antara lain membayarkan uang guna membeli sebuah mobil untuk operasional KPU Bantul dan membeli ponsel untuk ketua serta lima anggota KPU Bantul yang lain. Selain itu, memberi uang (fee) pada beberapa perusahaan yang dipinjam namanya guna pemalsuan proyek pengadaan barang KPU Bantul.
Pikir-pikir Vonis satu tahun empat bulan bagi Marsono lebih rendah dari tuntutan jaksa tiga tahun. Menyikapi vonis tersebut, Bastari Ilyas selaku kuasa hukum terdakwa menyatakan akan pikir-pikir. Ia sendiri mengaku kecewa karena menganggap kliennya bukanlah pelaku utama. Klien saya bukanlah pelontar ide korupsi dan ia juga tidak menikmati uang sendirian, karena pejabat KPUD yang lain juga menikmati.
Karena itu, saya heran mengapa vonisnya malah lebih tinggi ketimbang Arif dan Suwandi. Saya juga kecewa karena Marsono justru terkena dobel tuntutan, tutur Bastari. Menurut Majelis Hakim, hal yang memberatkan terdakwa adalah mencoreng gerakan pemberantasan korupsi yang selama ini gencar disuarakan. Hal yang meringankan terdakwa berlaku sopan dan baru pertama kali melakukan tindakan korupsi. Jaksa penuntut umum yang beranggotakan Rahayu Dwi, Nanik, dan Dwi Nur menyatakan melakukan banding terhadap putusan hakim. (PRA)
Sumber: Kompas, 31 Juli 2007