Anggota Komisi VIII Terancam Dipecat [19/06/04]

Anggota Komisi VIII DPR terancam dipecat oleh fraksinya masing-masing jika terbukti melakukan kebohongan publik dalam kunjungan ke Hong Kong dan Korea Selatan untuk melihat proses pembuatan tanker milik Pertamina.

Menurut Ketua DPP PPP Endin Soefihara, kini pihaknya sedang meminta klarifikasi terhadap seorang anggota fraksi PPP, Maksum Z, yang ikut dalam rombongan tersebut.

''Bila terbukti yang bersangkutan melakukan kebohongan publik, tidak tertutup kemungkinan fraksi menghentikan keanggotaannya,'' kata Endin kepada Media tadi malam.

Kini Fraksi PPP sudah memperoleh pernyataan lisan, tetapi masih perlu diklarifikasi secara tertulis. Nanti pimpinan yang akan menilai apakah yang bersangkutan melakukan kebohongan publik atau tidak. Berdasarkan keterangan lisan kepada fraksi, yang bersangkutan menjelaskan bahwa pembiayaan ke Hong Kong tidak ditanggung PT Pertamina (pesero).

Hal senada juga dikemukakan Wakil Ketua DPP PKS Almuzamil. Menurutnya, partainya tidak segan-segan memecat anggotanya jika terbukti telah melakukan kebohongan publik. Namun, PKS akan meneliti terlebih dulu sebelum menetapkan sanksi tersebut.

''Jika memang terbukti, insya Allah akan dipecat,'' tegas Almuzamil.

Sedangkan Ketua Fraksi PDIP DPR Tjahyo Kumolo mengatakan, kepergian anggota Fraksi PDIP yang tergabung dalam Komisi VIII sudah meminta izin. Hal ini penting agar mereka lebih mengetahui proses dan mekanisme penjualan tanker tersebut.

''Jadi tidak liar. Semua anggota Komisi VIII berangkat atas dasar keputusan komisi yang telah disepakati oleh semua anggota DPR,'' ujarnya.

Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR Yahya Zaini juga menyatakan bahwa fraksinya akan menggelar rapat internal sebelum memutuskan apa sikap fraksi mengenai hal tersebut.

''Kami harus mengetahui dulu duduk persoalan sebenarnya,'' kata Yahya seraya menjelaskan sedianya Fraksi Golkar akan menggelar pertemuan itu kemarin, tetapi terpaksa ditunda karena alasan kesibukan.

Namun, sebelumnya Fraksi Golkar akan meminta klarifikasi dari pimpinan Komisi VIII dengan tujuan untuk mengetahui sejauh apa keterlibatan anggotanya jika dikatakan melakukan kebohongan publik.

Wakil Ketua DPR bidang Ekonomi dan Keuangan Tosari Wijaya, meminta Komisi VIII membuktikan kepada publik bahwa perjalanan itu tidak dibiayai Pertamina.

''Itu penting agar perbuatan yang sedang menjadi sorotan publik itu tidak mengotori citra Dewan,'' papar Tosari kemarin.

Sebagai pejabat publik, anggota Komisi VIII tidak perlu main kucing-kucingan. DPR adalah lembaga terhormat, jangan sampai dibuat kacau karena kelemahan administrasi.

Armada lokal
Sementara itu, Direksi PT Pertamina (pesero) bersikukuh akan melaksanakan penjualan dua kapal tanker very large crude carrier (VLCC). Pasalnya, perusahaan pemenang tender telah membayar 20% dari harga yang disepakati sebesar US$184 juta dan BUMN migas ini ingin fokus ke bisnis inti, yakni eksplorasi dan eksploitasi migas.

''Uang itu sudah kami terima dan rencananya keuntungan dari penjualan kapal akan digunakan untuk mengembangkan armada tanker di dalam negeri,'' jelas Direktur Pertamina, Ariffi Nawawi, di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, dengan terjualnya kedua tanker itu, Pertamina meraup keuntungan US$54 juta karena dua kapal VLCC itu dibeli pada 2003 dengan harga US$130 juta. Dengan demikian, pihaknya dapat membayar sisa dari pembayaran VLCC tersebut sehingga tidak mengganggu arus kas perusahaan yang belakangan ini kritis.

Pembayaran termin pertama kapal VLCC yang tengah dibangun di Korea Selatan ini menggunakan dana talangan (bridging fund) sendiri yang tentunya memengaruhi kondisi arus kas perusahaan.

Pada 8 April 2003, Pertamina telah menyelesaikan pembayaran uang muka dan angsuran pertama pembelian tanker sebesar US$26,16 juta. Angsuran kedua diselesaikan pada 10 November 2003 sebesar US$26,16 juta. Total harga kedua kapal tersebut US$130,8 juta.

Sedangkan pembayaran angsuran ketiga jatuh tempo Mei 2004 senilai US$13,08 juta. Semua itu di luar pembayaran empat kapal tanker lain yang dibuat di galangan kapal dalam negeri. Pasalnya, untuk yang terakhir Pertamina baru membayar 20% dari nilai kontrak atau sekitar US$8,4 juta. (Hnr/Ims/Faw/Nur/Sub/Wis/E-2)

Sumber: Media Indonesia, 19 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan