Anggota Dewan Terima Uang Alih Fungsi Hutan

Rekomendasi DPR Sebenarnya Tidak Diperlukan

Meskipun rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat tak diperlukan untuk pengalihan fungsi hutan Tanjung Api-Api, Sumatera Selatan, Komisi IV DPR tetap menerima uang Rp 5 miliar dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.

Bahkan, tak ada satu pun pimpinan dan anggota Komisi IV DPR yang menyampaikan kepada Pemerintah Provinsi Sumsel soal tidak perlunya rekomendasi DPR, sekaligus tidak perlu ada pemberian uang.

Hal ini terungkap dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (11/11). Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Edward Pattinasarany ini mendengarkan kesaksian dari mantan Ketua Komisi IV DPR Yusuf E Faisal untuk terdakwa mantan anggota Komisi IV DPR, Al Amien Nur Nasution. Selain Yusuf, anggota DPR Sarjan Tahir dan Sekretaris Daerah Sumsel Sofyan Rebuin juga diperiksa sebagai saksi.

Yusuf mengatakan, pada 7 September 2006 ada permohonan dari Menteri Kehutanan (Menhut) kepada Komisi IV DPR. ”Sebenarnya saat itu kami belum merespons karena masalah ini tidak perlu ditangani DPR. Kami anggap, kalau sesuai dengan Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, masalah permohonan ini cukup dilakukan Menhut karena luasnya cuma 600 hektar, tidak strategis, dan tidak berdampak penting. Jadi, sebenarnya pemda bisa langsung berhubungan dengan Menhut,” katanya.

Jawaban Yusuf mengundang pertanyaan dari anggota majelis hakim, Teguh Hariyanto. Dia bertanya, ”Mengapa pemberian bingkisan Rp 2,5 miliar itu diterima? Apa Saudara selaku ketua tak punya otoritas untuk mengatakan tidak bisa menerima?”

Yusuf mengatakan, ”Tidak, karena di DPR one man one vote. Ketua hanya punya satu suara.” Hakim Teguh kembali bertanya, ”Apa tidak bisa ditolak? Harusnya kan bisa. Yang enggak mau menerima apa ada sanksi?”

Yusuf menjawab, ”Sanksi moral, karena sudah disepakati tidak boleh ada yang saling mengkhianati. Jadi, saat itu kalau tidak mau silakan serahkan ke partai.”

Hakim Hendra Yospin menanyakan, ”Kalau tidak butuh persetujuan DPR, kenapa tidak ada orang DPR yang bilang kepada Pemprov Sumsel? Apa memang seperti ini dipelihara di DPR?”

Yusuf mengatakan, ”Ini akibat dari tidak adanya peraturan pemerintah (PP) tentang kehutanan. Seharusnya ada penjelasan dari PP.”

Hakim Hendra Yospin berkata lagi, ”Lho, masalahnya Saudara di DPR itu pembuat UU. Jadi, tanpa PP pun Saudara di DPR paham bahwa itu tidak perlu.”

Hakim Achmad Linoh pun melanjutkan pertanyaan. ”Ada kata Saudara yang menarik, kisah amplop itu, bisa dipakai sebagai judul lagu. Saya kecewa kalau sudah tahu ada aturan, itu bukan wewenang DPR, kok tetap diterima. Itu tadi yang dikatakan anggota majelis hakim sebagai integritas moral. Kalau emas dimasukkan ke dalam kotoran apa pun tetap emas. Andai kata Saudara katakan tak setuju lalu keluar dari sidang, itu kan bagus. Itu yang saya kecewa kenapa Saudara tidak lakukan itu,” katanya.

Yusuf mengatakan, ia tidak tahu penerimaan Rp 2,5 miliar yang pertama. Ia hanya diberi tahu sekretarisnya bahwa ia mendapat lima lembar cek senilai Rp 125 juta. ”Saya diberi tahu, saya dapat Rp 275 juta, tetapi Rp 150 juta diambil sekretariat. Jadi, yang dicairkan sekretaris saya Rp 125 juta,” katanya.

Selanjutnya, kata Yusuf, ada penerimaan Rp 2,5 miliar. Waktu itu ia mendapat telepon dari Sarjan yang ingin mempertemukan tim Sumsel. Pertemuan dilakukan di Hotel Mulia, Jakarta.

Menurut Sofyan Rebuin, pemberian uang itu berawal dari permintaan Komisi IV DPR melalui Sarjan sebesar Rp 5 miliar. ”Saya lapor ke Gubernur Sumsel Syahrial Oesman. Dana itu disiapkan pelaksana proyek Chandra Antonio Tan,” ujarnya. (vin)

Sumber: Kompas, 12 November 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan