Anggodo Divonis 4 Tahun, Pengacara Ajukan Banding

Tak Terbukti Halangi Penyidikan KPK

Terdakwa kasus suap dan dugaan menghalangi penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Anggodo Widjojo akhirnya menghadapi vonis. Majelis hakim yang diketuai Tjokorda Rai Suamba menjatuhkan hukuman empat tahun penjara kepada Anggodo di Pengadilan Tipikor kemarin (31/8).

Anggodo dianggap terbukti bersalah karena berupaya menyuap pimpinan KPK melalui Ari Muladi. "Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," ujar Tjokorda.

Selain dikenai hukuman badan, Anggodo diwajibkan membayar denda Rp 150 juta subsider tiga bulan penjara. Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut enam tahun penjara plus denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan untuk Anggodo.

Majelis hakim menguraikan, berdasar fakta hukum, Anggodo terbukti bermufakat jahat dalam upaya menyuap pimpinan KPK. Tujuannya, kasus korupsi proyek SKRT (Sistem Komunikasi Radio Terpadu) yang menjerat kakak kandungnya, Anggoro Widjojo, tidak diproses. Anggodo juga telah menemui serta berhubungan dengan Ari dan Eddy Sumarsono untuk mengurus perkara itu. Dia sudah menyerahkan uang Rp 5,15 miliar kepada Ari. "Uang tersebut merupakan atensi untuk pimpinan KPK," papar Tjokorda. Untuk itu, terang dia, unsur pemufakatan jahat dengan menjanjikan atau memberikan sesuatu telah terpenuhi.

Selain itu, papar majelis hakim, Anggodo terbukti bersama-sama dengan Ari dan Eddy menyuap pimpinan KPK. Berdasar uraian dakwaan pertama, Anggodo terbukti melanggar pasal 15 juncto pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Meski begitu, Anggodo yang juga direktur PT Saptawahana Mulia itu tidak terbukti melanggar pasal 21 UU No 31/1999 yang tercantum dalam dakwaan kedua. Pasal tersebut mengatur upaya merintangi dan menghalangi penyidikan KPK. Majelis hakim memutuskan Anggodo tidak terbukti melanggar pasal itu.

Hakim anggota Anwar menguraikan, tindakan pengacara Anggodo, Bonaran Situmeang, dan kliennya, yakni melaporkan pimpinan KPK ke Mabes Polri dengan tudingan pemerasan atau penyalahgunaan wewenang, tidak dianggap sebagai upaya merintangi penyidikan. "Tindakan tersebut tidak bisa dikualifikasikan sebagai langkah pencegahan atau perbuatan merintangi, mencegah, atau menggagalkan yang mengakibatkan tercegahnya suatu penyidikan dan penuntutan," ujar Anwar.

Anwar melanjutkan, perbuatan terdakwa yang melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atas nama Anggoro tidak bertentangan dengan hukum. "Hak seseorang melapor ke LPSK. Untuk itu, (Anggodo) harus dibebaskan dari dakwaan kedua," imbuhnya.

Dalam putusan, majelis membeberkan fakta yang memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan hukuman, Anggodo terbukti menghambat upaya pemberantasan korupsi dengan memberikan sejumlah uang kepada Ari dan Eddy untuk menggagalkan proses hukum Anggoro. Sedangkan hal yang meringankan, majelis hakim menilai Anggodo berlaku sopan selama sidang. Padahal, Anggodo beberapa kali membuat ulah. Mulai tertidur di sidang hingga berpura-pura sakit ketika dakwaan hendak dibacakan.

Kubu Anggodo senang dengan amar putusan majelis. Pengacara Anggodo, O.C. Kaligis, mengapresiasi pertimbangan majelis yang menghukum kliennya lebih rendah dua tahun daripada tuntutan jaksa. ''Saya cukup senang dengan pertimbangan-pertimbangan hakim. Yang terbukti, Ari Muladi meminta atensi kepada Anggodo,'' kata Kaligis setelah sidang.

Menurut dia, jika pertimbangan majelis seperti itu, kliennya seharusnya bebas dari tuntutan. Sebab, Anggodo tidak pernah menawarkan sesuatu kepada pimpinan KPK melalui Deputi Bidang Penindakan KPK Ade Rahardja. Tetapi, Ari Muladi-lah yang meminta uang kepada Anggodo atas permintaan Ade Rahardja. ''Anggodo hanya kenal Ari Muladi, sedangkan Ari Muladi bukan pimpinan KPK,'' jelas Kaligis.

Kecewa Anggodo tidak diputus bebas, Kaligis memastikan akan mengajukan banding ke pengadilan tinggi.

Anggodo juga tampak semringah mengetahui putusan majelis. Begitu sidang berakhir, Anggodo yang mengenakan setelan kemeja batik biru itu tersenyum kegirangan dan mendekati tim pengacaranya. Dia lantas mencium pipi salah satu pengacaranya, Bonaran Situmeang, yang juga pernah menjadi saksi dalam persidangan tersebut.

Bukan hanya itu. Mereka juga tidak melewatkan momen dalam persidangan kemarin. Mereka menyempatkan berfoto bersama dan bersalam-salaman dengan tim pengacara. ''Putusannya begitu, ya mau bagaimana,'' kata Anggodo lantas tersenyum.

Pada bagian lain, KPK mempertimbangkan keputusan untuk banding atau tidak. "Kami masih berpikir untuk naik banding, terutama yang berkaitan dengan pasal 21 itu," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. ketika dihubungi kemarin (31/8). KPK, lanjut Johan, juga akan terus mengembangkan kasus seperti penetapan status Ari Muladi dan juga Eddy Sumarsono, yang berkali-kali disebut namanya dalam amar putusan. "Siapa pun bisa kami jerat, asal ada dua alat bukti yang cukup. Saat ini kami masih menyidik Ari Muladi," katanya.

Jauhi Rasa Keadilan

Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D. kecewa terhadap vonis Anggodo. Menurut Mahfud, hukuman empat tahun yang diberikan kepada koruptor sekelas Anggodo sangat ringan. ''Memang secara formal putusan wewenang hakim. Tapi, kalau dari rasa keadilan, tidak terpuaskan," kata Mahfud di gedung MK kemarin (31/8). Dia juga menduga akan banyak orang yang kecewa atas keputusan hakim tersebut.

Selain itu, divonisnya Anggodo, lanjut Mahfud, membuktikan bahwa kasus yang menjerat dua pimpinan KPK Bibit-Chandra adalah rekayasa. Hal itu juga diperkuat dengan rekaman pembicaraan Anggodo yang pernah diputar di MK.

Menhan di era Presiden Gus Dur itu mengatakan, seorang koruptor kelas kakap sebaiknya dihukum dengan bobot maksimal. Tapi, kenyataannya, banyak terdakwa kasus korupsi dihukum lebih ringan daripada seorang pembunuh. Padahal, lanjut Mahfud, koruptor membunuh lebih banyak orang tanpa darah yang terlihat.

Belum lagi tentang diskon yang nanti diberikan kepada para terpidana koruptor. Yakni, dalam bentuk remisi maupun grasi. Mahfud menilai pemberian potongan masa tahanan biasanya lebih mengutamakan koruptor daripada pemohon lain yang sudah bertahun-tahun meminta potongan hukuman. "Itu kan memberikan kesan kita tidak bersungguh-sungguh. Malah terkesan bermesraan dengan koruptor-koruptor," kata Mahfud ketus.

Menkum HAM Patrialis Akbar enggan berkomentar banyak mengenai putusan penjara empat tahun terhadap Anggodo Widjojo. Dia mengatakan, masyarakat yang bisa menilai suatu keadilan. Dia lantas mencontohkan, saat dirinya berkunjung ke Rutan Pondok Bambu pekan lalu, ada seorang nenek yang dipenjara dua tahun hanya karena masalah uang Rp 5 juta. "Saya tak mau memberikan penilaian, tapi saya memberikan komparasi berdasar pengalaman saya di lapangan," ujarnya di kantor presiden.

Di tempat yang sama, Jaksa Agung Hendarman Supandji juga menolak berkomentar. "Saya belum baca (salinan putusan). Bagaimana mau komentar?" ujar Hendarman.

Secara terpisah, salah seorang pengacara Bibit-Chandra, Taufik Basari, mengatakan, divonisnya Anggodo yang terbukti mencoba menyuap pimpinan KPK memberikan dampak pada kasus Bibit-Chandra. "Dengan begitu, konstruksi hukum yang dituduhkan kepada Pak Bibit dan Pak Chandra menjadi gugur," kata Taufik tadi malam. (ken/kuh/sof/fal/c11/c2/agm)
Sumber: Jawa Pos, 1 September 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan