Anggaran Presiden Bakal Dievaluasi
SBY Disebut Hamburkan Uang Negara
Jajaran Komisi II DPR akan mengevaluasi kembali anggaran kepresidenan. Pembicaraan mengenai hal itu akan dilakukan secara spesifik setelah presiden menyampaikan nota keuangan RAPBN 2011 pada 16 Agustus mendatang. Sikap tersebut menyusul sinyal yang muncul bahwa terjadi pemborosan dalam pembelanjaan pos anggaran presiden.
''Pasti akan kami evaluasi. Apakah itu layak atau tidak. Selama ini memang ada keluhan anggaran presiden terlalu besar,'' kata anggota Komisi II DPR Arif Wibowo saat dihubungi kemarin (5/7). Dia mencontohkan anggaran kunjungan ke luar negeri presiden sebagai salah satu item yang akan dievaluasi secara ketat.
Setiap melakukan kunjungan, ujar Arif, presiden selalu membawa rombongan. Terkait hal itu, DPR akan melihat apakah rombongan tersebut sudah cukup efektif, proporsional, atau sesuai kebutuhan. Menurut Arif, jumlah anggota rombongan akan berpengaruh signifikan terhadap anggaran yang harus dikeluarkan.
''Apakah rombongan presiden harus selalu dalam jumlah besar atau mungkin beberapa sebenarnya yang tidak diperlukan. Kalau Paspampres sebagai pengamanan, jelas butuh. Namun, staf-staf dari bidang yang lain kan belum tentu,'' ujar politikus PDIP itu.
Di tempat terpisah, Koordinator Investigasi dan Advokasi Seknas Fitra (Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) Uchok Sky Khadafi menyatakan, anggaran presiden banyak dipakai untuk kunjungan ke luar negeri. Menurut dia, sepanjang 2005-2009, Presiden SBY telah menghabiskan Rp 813 miliar untuk kunjungan ke luar negeri. Rata-rata per tahun, ungkap dia, mencapai Rp 162 miliar. ''Itu dibelanjakan baru hanya untuk carter pesawat dengan penerbangan VVIP,'' katanya.
Pada 2010, Setneg mengalokasikan anggaran Rp 179 miliar. Sedangkan, untuk 2011, setneg mengajukan alokasi anggaran ke DPR Rp 181 miliar. ''Jadi, selain diminati anggota DPR, hobi kunjungan wisata pelesiran ke luar negeri ini juga diminati Presiden SBY,'' sindir Uchok.
Menurut dia, SBY selalu mempunyai beragam argumentasi untuk melakukan kunjungan ke luar negeri. Mulai studi banding, pertemuan internasional, sampai urusan keagamaan. ''Padahal, semua itu hanya alibi politik untuk menghabiskan anggaran negara dan meyakinkan publik bahwa presiden benar-benar melakukan kunjungan ke luar negeri untuk kepentingan negara dan bangsa,'' kritiknya lagi.
Bahkan, imbuh Uchok, setiap SBY akan berangkat ke luar negeri, negara juga harus menyediakan pakaian dinas presiden Rp 893 juta. ''Ini jelas sangat menghambur-hamburkan uang negara dan sangat menyakiti hati nurani rakyat,'' katanya.
Kesan bermewah-mewahan, tambah Uchok, juga tampak dalam anggaran pengadaan road blocker untuk istana presiden Rp 49 miliar. Termasuk, pengamanan fisik dan nonfisik VVIP presiden Rp 52 miliar dalam APBN 2010 dan Rp 81 miliar yang akan diusulkan dalam APBN 2011.
''Kami prihatin presiden tidak konsisten dengan pernyataan-pernyataannya selama ini yang selalu mengajak rakyat untuk berhemat,'' ujarnya. Karena itu, Seknas Fitra meminta Komisi II DPR berani melakukan rasionalisasi atau pemangkasan anggaran presiden.
Sementara itu, Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo menyoroti penggunaan pengawalan polisi untuk menteri, pimpinan DPR, DPD dan MPR tak perlu kawalan polisi. Menurut dia, pejabat di luar luar presiden dan wapres serta tamu negara, tidak layak mendapatkan fasilitas pengamanan tersebut.
''Menteri kabinet dan pimpinan DPR, DPD, dan MPR saya kira tidak perlu kawalan. Sepertinya sudah mode, biar gagah,menunjukkan aku pejabat," ujar Tjahjo di gedung DPR, kemarin.
Menurut Tjahjo, diperlukan aturan tegas agar tidak ada pejabat yang menggunakan kawalan polisi kemana-mana. Pasalnya selama ini banyak yang menyalahgunakan pengawalan Polri karena begitu mudahnya Polri melepas anggotanya untuk ikut pejabat negara. ''Harusnya ada aturan tegas bahwa yang boleh hanya Presiden, Wapres, dan tamu negara yang dikawal polisi dan Paspampres. Kalau ditambah ya hanya pejabat khusus lainnya misal ketua lembaga tinggi negara, mantan presiden/mantan wapres cukup satu mobil saja,'' terang Tjahjo. (pri/c5/agm)
Sumber: Jawa Pos, 6 Juli 2010