Anggaran Pilkada masih Angka Estimasi

Menteri Dalam Negeri Muhammad Ma'ruf mengatakan anggaran yang diajukan untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung belum merupakan anggaran final, namun masih sebatas angka estimasi.

Kita baru buat estimasi. Finalisasinya nanti setelah bertemu dengan Panitia Anggaran DPR dan juga Departemen Keuangan, kata Mendagri kepada pers di Jakarta, kemarin. Mendagri mengungkapkan hal itu menjawab pertanyaan pers di Jakarta, kemarin, terkait dugaan adanya penggelembungan anggaran pilkada.

Menurut Mendagri, pemerintah mengajukan anggaran untuk pilkada sebesar Rp1,25 triliun. Pilkada akan dilaksanakan mulai Juni 2005 untuk memilih delapan gubernur dan 173 bupati/wali kota. Pada periode Juni-Desember 2005 akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah untuk tiga gubernur dan 42 bupati atau wali kota.

Mengenai anggaran pengamanan, Mendagri mengatakan bahwa yang mengajukan estimasi adalah pihak kepolisian, dan diyakini Polri sudah membuat rancangan anggarannya. Mendagri menambahkan pemecahan masalah anggaran pilkada itu masih dicari jalan keluarnya, karena pilkada adalah agenda nasional yang harus disukseskan.

Sebelumnya, Panitia Anggaran Komisi II DPR dan Sekjen Depdagri telah membahas anggaran pilkada dan anggaran Depdagri 2005 pada 21 dan 28 Februari 2005. Dasar penetapan APBN untuk pelaksanaan pilkada disebutkan sebagai dana bantuan (kebutuhan daerah), dana supervisi (kebutuhan pemerintah pusat), dan dana pendukung (pengamanan dan yudisial).

Biaya pilkada akan ditanggung 50 persen oleh APBD, dan sisanya dari APBN. Dengan demikian, kata Mendagri, dukungan dana APBN untuk pilkada sekitar Rp744,3 miliar, dan sekitar Rp116,4 miliar di antaranya sebagai bantuan khusus untuk dua provinsi dan 33 kabupaten/kota hasil pemekaran.

Pada bagian lain, Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay mengatakan ada indikasi yang jelas bahwa Depdagri telah secara sengaja memanfaatkan pilkada sebagai proyek mencari untung. Salah satunya, diduga ada upaya penggelembungan dana dengan cara memanfaatkan ajang pilkada ini, kata dia.

Dia menunjuk, untuk pos dana pendukung, pada item dana POLRI disebutkan ada 567.511 tempat pemungutan suara (TPS). Sementara untuk satu TPS ditempatkan dua orang anggota Polri yang masing-masing dibayar Rp250 ribu. Total dana yang dibutuhkan Rp283,75 miliar.

Padahal, menurut Hadar, pilkada tahun ini hanya mencakup sebagian daerah pemilihan pada pemilu tahun lalu. Pemilu lalu saja cuma ada sekitar 263 ribu TPS, ini maksudnya apa, ujarnya.

Selain itu, pada pos dana untuk kejaksaan terdapat anggaran untuk 276 kabupaten/kota, yang masing-masingnya diperkirakan ada 200 kasus (total perkiraan kasus pilkada tahun ini mencapai 55.200 kasus) dan per kasusnya dianggarkan Rp2 juta. Total keseluruhan dana sebesar Rp110,40 miliar.

Hadar juga mempertanyakan pelaksanaan administrasi kependudukan. Dalam program ini, ada proyek pemutakhiran data pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan (P4B) yang dilakukan KPU. Lebih dari Rp50 miliar program ini adalah untuk membeli perlengkapan. Dan sebagian nominalnya agak ganjil, jelasnya.

Dia mencontohkan ada pembelian komputer jenis notebook senilai Rp27 juta per buah. Padahal, lanjut dia, ada produk senilai Rp20 juta.

Jadi, dalam pilkada ini pemerintah diduga ingin mengintervensi dan mendapat keuntungan ekonomi, kata Hadar.

Senada dengan Hadar, Direktur Eksekutif Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti menduga ada penyelewengan dalam pengajuan kebutuhan dana pemerintah pusat untuk penyelenggaraan pilkada secara langsung. (CR-45/Hnr/P-5)

Sumber: Media Indonesia, 4 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan