Anggaran Pilkada Diduga Digelembungkan

Ada indikasi terjadinya penggelembungan (mark up) anggaran penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri), karena banyak item anggaran yang diajukan Depdagri ke DPR tidak masuk akal. Selain itu, anggaran yang disampaikan ke DPR itu tidak terperinci. Ini membuka peluang terjadi korupsi dana pilkada. Karena itu, DPR diminta untuk memotong sejumlah anggaran yang tidak logis dengan perhitungan yang sangat ngawur seperti itu.

Pendapat itu dikemukakan Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay kepada Pembaruan di Jakarta, Rabu (2/3) pagi. Dia mengomentari anggaran pilkada dari APBN yang sudah diajukan Depdagri ke DPR.

Dalam berkas usulan kebutuhan dana untuk pilkada yang disampaikan ke Departemen Keuangan, Depdagri mengajukan anggaran untuk pemerintah pusat sebanyak Rp 185. 269.526.340. Perinciannya, untuk sosialisasi dan bimbingan teknis sebanyak Rp 86.621.526.340, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pilkada sebanyak Rp 30.648.000.000, dan anggaran untuk administrasi kependudukan sebesar Rp 68.000.000.

Pengajuan anggaran untuk pemerintah pusat tersebut memperjelas bahwa kegigihan Depdagri mengambil alih penyelenggaraan pilkada hanya bertujuan untuk mendapat proyek. Karena tidak ada satu pun pasal baik dalam Undang-Undang (UU) No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memberi kewenangan Depdagri melakukan tugas sosialisasi dan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi dan administrasi penduduk.

Dalam Pasal 66 Ayat (4) UU No 32/2004 disebutkan bahwa monitoring adalah tugas Panitia Pengawas Pilkada. Sedangkan Pasal 66 Ayat (1) Butir k menyebutkan bahwa evaluasi adalah tugas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Dan Pasal 67 Ayat (1) UU yang sama menyebutkan bahwa sosialisasi adalah tugas KPUD. Sedangkan soal administrasi penduduk, kalau pun itu dilakukan oleh Depdagri, anggarannya tidak perlu sebesar Rp 68 miliar. Karena Depdagri hanya melakukan pemutakhiran data atas data kependudukan yang sudah dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004 lalu.

Anehnya lagi, untuk itu Depdagri mengajukan anggaran pengadaan komputer lengkap dengan server canggih seharga Rp 782 juta, ditambah storage eva 5000 seharga Rp 15,7 miliar. Padahal barang-barang seperti ini tidak perlu diadakan lagi. Karena KPU sudah memiliki barang-barang seperti itu. Ini menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah hanya mau mendapat dana besar seperti itu. Padahal kalau KPU yang menyelenggarakan pilkada maka anggaran seperti itu tidak diperlukan lagi, tegas Hadar.

Kecurigaan ada mark up anggaran pilkada oleh Depdagri juga semakin kuat bila memperhatikan beberapa item anggaran yang mereka ajukan. Hadar mencontohkan, Depdagri mengusulkan pengadaan note book dengan harga per unit Rp 27 juta dan printer jet per unit Rp 5 juta. Padahal, di pa-saran harga satu note book tercanggih pun tidak mencapai Rp 27 juta. Begitu pun harga sebuah printer tidak mungkin mencapai Rp 5 juta.

Contoh lain, Depdagri juga mengusulkan anggaran untuk kejaksaan yang akan menyelesaikan masalah selama pilkada. Di sana ditulis bahwa anggaran untuk satu kasus sebesar Rp 2 juta. Depdagri mengasumsikan 200 kasus per kabupaten.

Padahal, selama pemilu legislatif lalu hanya terjadi 1.253 kasus. Sedangkan selama pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama dan kedua jauh di bawah itu. Sehingga anggaran untuk kejaksaan pun akan sangat besar dengan asumsi seperti itu.

Haidar mendesak DPR untuk menghapus anggaran-anggaran yang tidak masuk akal seperti itu.

KPU Harus Memerinci
Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Progo Nurdjaman, mengatakan, KPUD harus segera memerincikan anggaran penyelenggaraan pilkada secara langsung. Hal itu penting untuk menyesuaikan anggaran pilkada pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) daerah masing-masing dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sudah diumumkan pemerintah Selasa (1/3) malam.

Dia ditanyai soal dampak kenaikan harga BBM terhadap anggaran penyelenggaraan pilkada, terutama berkaitan dengan biaya distribusi logistik pilkada.

Progo Nurdjaman menjelaskan, penyusunan anggaran secara detail seperti biaya distribusi logistik pilkada diatur oleh KPUD masing-masing. Kalaupun ada penambahan anggaran pilkada akibat kenaikan harga BBM, kata Progo Nurdjaman, itu kemungkinan tidak signifikan.

Sehubungan dengan itu, dia menghimbau kepada semua daerah untuk segera menganggarkan dana pilkada 100 persen dari APBD. Kemudian seberapa yang harus ditambah oleh APBN untuk pilkada di daerah yang bersangkutan nanti tinggal ditambahkan pada ABPD. Sehingga dengan begitu, masalah anggaran dari APBN tidak dapat menjadi alasan terhambatnya penyelenggaraan pilkada, terutama untuk daerah-daerah yang menyelenggarakan pilkada langsung pada bulan Juni 2005 ini.

Berkaitan dengan dana APBN untuk pilkada pada tahun 2005 ini, lanjut Progo, dana pilkada dari APBN usulan pemerintah masih di-break down per daerah di Departemen Keuangan dan Panitia Anggaran DPR. Dia berharap, hal itu diselesaikan dengan cepat. (A-21)

Sumber: Suara Pembaruan, 2 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan