Ancaman Swastanisasi Rumah Sakit

Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, tidak harus dengan perubahan status hukum rumah sakit dan sebaliknya, perubahan status hukum rumah sakit tidak menjamin pelayanan kepada masyarakat semakin baik.

Di tengah situasi semakin banyaknya anggota masyarakat kesulitan mengakses pelayanan kesehatan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru mengeluarkan kebijakan kontroversial berupa Perda DKI Nomor 15/2004 tentang Perubahan Status Hukum Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo menjadi Perseroan Terbatas Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta dan penyertaan modal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada perseroan tersebut.

Mengubah status hukum rumah sakit sebagai cara untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah cara pandang yang keliru. Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, tidak harus dengan perubahan status hukum rumah sakit dan sebaliknya, perubahan status hukum rumah sakit tidak menjamin pelayanan kepada masyarakat semakin baik. Banyak fakta yang menunjukkan rumah sakit yang dikelola unit pelaksana teknis dinas kesehatan atau yayasan dapat memberikan pelayanan kesehatan secara baik kepada masyarakat. Sebaliknya juga banyak fakta rumah sakit yang dikelola badan hukum komersial perseroan terbatas justru berlayanan buruk, salah satu indikatornya banyaknya pasien yang sering komplain. Baik-buruknya pelayanan kesehatan kepada masyarakat lebih dominan ditentukan oleh pihak manajemen rumah sakit dalam mengelola (governance) rumah sakit, bukan ditentukan oleh status hukum rumah sakit.

Menjadikan pelayanan kesehatan sebagai komoditas ekonomi semata adalah ancaman bagi keadilan sosial. Apabila pelayanan kesehatan menjadi obyek bisnis yang dikelola olah badan hukum komersial (perseroan terbatas), dari segi etika menimbulkan kesulitan. Pertama, pelayanan kesehatan merupakan suatu hak dan karena itu tidak pantas dijadikan komoditas ekonomi. Jika pelayanan kesehatan diserahkan kepada mekanisme pasar, bagi banyak orang bisa muncul situasi yang sangat tidak adil dan karena itu tidak etis. Kedua, bisnis dan pelayanan medis merupakan dua bidang yang disertai tuntutan etis yang cukup berbeda sehingga mudah timbul konflik kepentingan, bila dua bidang ini dikombinasikan dalam orang atau lembaga yang sama (Dr K. Bertens, 1995).

Rumah sakit berbadan hukum komersial berupa perseroan terbatas mendapatkan uang lebih banyak sah-sah saja, asal dilakukan secara fair. Masalahnya, dalam pelayanan kesehatan hampir tidak mungkin terjadi transaksi yang fair. Sebab, pasien tidak punya pilihan, pasien tidak mengetahui apakah ia memang benar sakit, apakah ia memang membutuhkan obat yang mahal, apakah ia memang butuh operasi, dan segala macam ketidaktahuan lainnya.

Selain ketidaktahuan, pasien memiliki ketakutan yang luar biasa bahwa penyakitnya dapat menimbulkan kematian, kecacatan, atau penderitaan lain yang berkepanjangan.

Pasien sudah menyerahkan sepenuhnya kepercayaan kepada dokter, yang diberi wewenang oleh hukum untuk melakukan intervensi yang berbahaya kepada dirinya, seperti menyuntikkan obat atau membedah (melukai) tubuh pasien. Profesi dokter yang merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan adalah satu-satunya profesi yang diberi kewenangan hukum yang begitu besar dari seseorang. Itulah sebabnya, seorang dokter harus disumpah.

Akan berpotensi menjadi masalah, apabila dokter tergiur atau terdesak atau dipaksa untuk menghasilkan uang dari transaksi antara dokter dan pasien. Di Rumah sakit yang nirlaba pun perilaku dokter yang menyimpang dapat terjadi. Bisa dibayangkan apabila rumah sakit sudah berbadan hukum komersial berupa perseroan terbatas yang orientasinya mencari keuntungan. Dalam sebuah rumah sakit yang berbadan hukum perseroan terbatas dokter akan ditarget, dijadikan revenue center, pusat produksi dan pusat laba. Maka dengan kondisi pasien yang pasrah, ketidaktahuan (ignorance) dan apalagi punya uang, dengan mudah pasien berada dalam posisi di bawah todongan senjata. Mau bayar atau nyawa hilang. Dalam kondisi seperti ini, berapa pun akan dibayar. Dalam ilmu ekonomi, permintaan pasien ini inelasticterhadap harga dan penghasilan.

Seseorang yang sakit tidak bisa bekerja, tidak bisa berproduksi, tidak bisa belajar, dan segala tidak bisa lainnya. Kalaupun yang sakit seorang anak, kegiatan produksi orang tuanya juga akan terganggu. Bahwa meskipun seseorang tidak tergolong miskin, orang sakit adalah orang yang tidak berdaya. Di beberapa negara, seperti Jepang, Korea, dan Taiwan, sampai saat ini rumah sakit swasta pun tidak diperkenankan berbentuk perseroan terbatas yang berorientasi mencari untung. Karena pemerintahnya sangat memahami bahwa rakyatnya dalam keadaan tidak berdaya, ignorance, dan setiap saat dapat menjadi korban dari sifat alamiah transaksi pelayanan kesehatan yang hampir tidak mungkin fair.

Pelayanan sosial bagi pasien miskin dan pasien korban kejadian luar biasa menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan kewajiban rumah sakit berbadan hukum perseroan terbatas. Dalam Pasal 3 ayat 4 Perda DKI Jakarta Nomor 15/2004 disebutkan bahwa Perseroan Terbatas Rumah Sakit Pasar Rebo mempunyai kewajiban untuk pelayanan sosial, termasuk pasien miskin dan pasien korban kejadian luar biasa.

Menyerahkan urusan pelayanan sosial bagi pasien miskin dan pasien korban wabah kepada rumah sakit berbadan hukum perseroan terbatas adalah bentuk pengingkaran sekaligus bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam UUD 1945, Undang-Undang Kesehatan Tahun 1992 dan Undang-Undang tentang Pemda Tahun 2002.

Menyerahkan urusan pelayanan sosial bagi pasien miskin dan korban wabah kepada rumah sakit berbadan hukum perseroan terbatas adalah ancaman serius terhadap kemanusiaan. Ketentuan ini apabila dipaksakan, hanya akan mengulangi kegagalan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/1986 yang mewajibkan rumah sakit swasta menyediakan 25 persen tempat tidurnya untuk orang miskin, yang terbukti tidak efektif.

Karakter badan hukum komersial berupa perseroan terbatas adalah mencari untung, bukan lembaga sosial. Dengan demikian, membebani rumah sakit berbadan hukum perseroan terbatas untuk melakukan pelayanan sosial kepada pasien tidak mampu adalah hal yang justru bertentangan dengan karakter badan hukum komersial, yaitu mencari keuntungan.

Sudaryatmo, Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 27 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan