Ancaman RUU Badan Hukum Pendidikan

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan.Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Mansyur Ramly, BHP diharapkan mampu membuat penyelenggaraan pendidikan terlepas dari birokrasi pemerintah, khususnya di perguruan tinggi.

Karena itu, paling lambat RUU ini disahkan akhir 2007. RUU BHP merupakan turunan dari Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 53 ayat (1) sampai (3) menyebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Badan hukum pendidikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Selama ini banyak persepsi keliru mengenai BHP, tidak terkecuali di kalangan mahasiswa,guru,serta dosen.Mereka menganggap seolah-olah RUU tersebut hanya ditujukan bagi perguruan tinggi, sebagai bagian dari upaya pemerintah memperkuat dan memperluas kebijakan mengenai badan hukum milik negara (BHMN) yang kini baru diterapkan oleh beberapa perguruan tinggi ternama, seperti Institut Teknologi Bandung atau Universitas Indonesia.

Pada kenyataannya, RUU BHP mencakup semua tingkat pendidikan formal, baik yang berstatus negeri maupun swasta. Mulai dari tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas atau yang sederajat.Pasal 2 ayat (2) RUU BHP yang menyatakan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat dapat berbentuk badan hukum. Titik utama masalah dalam BHP adalah legalisasi pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kondisi tersebut paling tidak tergambar oleh dua hal. Pertama, berkaitan dengan pendanaan. Dalam Pasal 21 ayat (2) RUU BHP disebutkan bahwa pemerintah dan/ atau pemerintah daerah dapat memberikan sumber daya pendidikan yang berupa dana, pendidikan dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana kepada BHP. Pemerintah tidak memasukkan kata wajibdalam penyediaan sumber daya pendidikan. Kata yang digunakan adalah dapat.

Padahal, keduanya memiliki konsekuensi yang berbeda. Kata pertama mengandung unsur paksaan, sedangkan yang kedua bersifat sukarela. Karena itu, apabila RUU BHP disahkan, warga tidak lagi dapat menuntut pemerintah jika gagal menyediakan pelayanan pendidikan. Kedua, dari sisi tenaga kependidikan. Walau pemerintah tengah menggulirkan program sertifikasi untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru, tapi dalam RUU BHP langkah yang ditempuh justru sebaliknya. Nasib guru dan dosen akan diserahkan kepada BHP. Hak dan kewajiban mereka sangat bergantung kepada kemampuan negosiasi dalam menentukan isi perjanjian kerja. Hal tersebut tergambar dengan jelas dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2).

Disebutkan bahwa karyawan BHP terdiri atas pendidik, tenaga kependidikan lain, dan tenaga penunjang. Pengangkatan, pemberhentian, status, jabatan, hak dan kewajiban karyawan BHP ditetapkan dalam perjanjian kerja berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta peraturan perundang- undangan yang berlaku. Secara tidak langsung, melalui RUU BHP, pemerintah tengah bersiap memproklamasikan liberalisasi pendidikan nasional.

Tanggung jawab penyediaan sumber daya pendidikan secara formal dipindahkan kepada warga. Kualitas pelayanan akan diatur oleh mekanisme pasar,dengan jumlah uang yang mampu disediakan oleh warga sebagai tolok ukur utamanya. Padahal, Undang- Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak konstitusi warga. Misalnya untuk penyelenggaraan pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama atau sederajat, warga tidak diperbolehkan dibebani biaya apa pun.Sesuai penegasan Pasal 31, semua sumber daya wajib ditanggung pemerintah.

Selain bertentangan dengan konstitusi negara,RUU BHP akan mengorbankan kelompok miskin karena pelayanan pendidikan hanya dapat diperoleh mereka yang memiliki uang untuk mengambil alih limpahan biaya yang sebelumnya ditanggung pemerintah. Kelompok miskin yang tidak memiliki modal mesti melupakan impian dapat sekolah, apalagi kuliah. Dampak lain adalah semakin lebar jurang antara kelompok kaya dengan kelompok miskin.

Penyelenggaraan pendidikan berkualitas yang sangat mahal hanya dapat dijangkau oleh kelompok kaya, sedangkan kelompok yang kemampuan finansial minim menerima pelayanan seadanya. Pada akhirnya institusi pendidikan, sekolah maupun perguruan tinggi, akan terkelompok- kelompok dan membentuk semacam kasta. Sekolah dan perguruan tinggi akan terbagi atas beberapa kelompok.

Ada yang berada di kasta tinggi, sedang,dan bawah, bergantung pada jumlah biaya yang ditetapkan. Semakin tinggi kasta, semakin mahal biaya yang dipatok. Institusi pendidikan tidak lagi diharapkan menjadi alat untuk melakukan mobilisasi sosial, tapi sebaliknya tempat terbesar untuk menciptakan status quo. Dalam jangka panjang, institusi pendidikan memberi modal untuk mendorong terjadinya konflik sosial. Dari sisi sumber daya, pemerintah akan mengalami banyak kerugian.

Potensi kelompok miskin yang menjadi mayoritas tidak terakomodasi. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa sumber daya manusia berkualitas merupakan modal utama untuk mencapai kemajuan suatu bangsa.Beberapa negara seperti Jepang, Amerika, bahkan Malaysia, bisa dijadikan contoh. Terlalu banyak yang akan dikorbankan apabila RUU BHP disahkan.Karena itu, harus ada upaya untuk menolak.

Banyak cara dapat digunakan,bisa dengan menekan pemerintah maupun DPR yang tengah melakukan pembahasan. Bisa pula melalui jalur hukum dengan cara mengajukan peninjauan ulang UU Sisdiknas 20/2003 yang menjadi dasar RUU BHP. (*)

Ade Irawan, Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch dan Sekretaris Koalisi Pendidikan

Tulisan ini disalin dari Koran Seputar Indonesia, 18 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan