Ancaman Politik Uang di Pilkada
Salah satu kekhawatiran dalam pemilihan kepala daerah serentak gelombang ketiga ini adalah semakin maraknya politik uang.
Bagaimana tidak, dari awal pencalonan saja sudah ramai diperbincangkan bagaimana partai politik meminta sejumlah uang kepada calon. Hitungan tersebut berdasarkan berapa jumlah kursi yang mereka miliki di DPRD sebagai syarat pencalonan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Tidak ada cara bagi calon kepala daerah kecuali harus menyiapkan uang mahar ini jika ingin didukung, berikut uang untuk kampanye dan bahkan uang untuk pemilih. Uang untuk pemilih inilah yang sering dikaitkan dengan praktik politik uang yang akan disebar menjelang pencoblosan.
Hampir setiap perhelatan demokrasi elektoral yang melibatkan massa selalu ditemukan praktik politik uang. Sebagian calon kepala daerah memang menyandarkan pada strategi politik uang ini untuk mendapatkan suara pemilih. Hanya dengan membagi-bagi uang kepada pemilih dan meminta komitmen mereka untuk memilih satu aktivitas pilkada, yaitu kampanye tidak perlu dilakukan oleh calon kepala daerah. Artinya, dengan politik uang, calon kepala daerah tidak perlu lagi bekerja keras menjual ide dan gagasan mereka untuk meyakinkan pemilih agar sudi memilihnya. Apalagi tak semua calon kepala daerah memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan massa agar memilihnya.
Sulitnya menghentikan praktik politik uang ini tidak lepas dari berkembangnya budaya politik subyektif di Indonesia. Realitas ini dapat dilihat dari menguatnya hubungan patron-klien di tengah masyarakat. Hampir di setiap daerah dapat ditemukan budaya patron-klien tersebut. Karena itu, tak mengherankan ada korelasi yang kuat antara budaya klientelisme ini dengan perilaku politik uang yang marak setiap pilkada.
Dalam studinya, Tomsa dan Ufen (2013:2-3) menjelaskan klientelisme ini dapat dipraktikkan dalam bentuk tradisional seperti hubungan personal antar-individu ke bentuk modern yang mengalami transformasi ke bentuk anonim dan hubungan yang sistematis. Menariknya, praktik ini juga melibatkan partai politik dalam pola-pola organisasi yang formal.
Karena itu, tak mengherankan klientelisme ini menyebabkan munculnya perilaku koruptif elite politik ini dengan relasi patron-klien yang dibangun dengan pendukungnya. Apalagi dalam pilkada, ketika elite politik butuh dukungan massa yang banyak untuk memenangi pemilihan, pilihannya adalah menghubungi para broker politik yang ada di setiap daerah pemilihan yang dapat menggalang dukungan untuknya. Tentu dukungan tersebut tidak gratis.
Berkembangnya budaya klientelisme ini tidak terlepas dari berkembangnya budaya dalam masyarakat yang mengakui kedudukan elite yang menjadi pengayom dan harus dipatuhi. Apalagi dalam masyarakat pedesaan, budaya klientelisme ini berkembang subur sehingga jadi sasaran politik uang. Jarang sekali politik uang yang dilakukan calon kepala daerah menyasar masyarakat yang tergolong pada strata menengah. Umumnya, yang disasar adalah mereka yang berada pada strata bawah. Sebab, kelompok masyarakat ini tidak memiliki pengetahuan dan efikasi politik sebagaimana kelompok menengah yang kritis pada ide dan gagasan calon.
Upaya pencegahan
Selain itu, budaya klientelisme ini juga jadi bagian keseharian masyarakat sehingga sulit bagi penyelenggara pilkada menghentikan praktik politik uang tersebut. Bagi sebagian besar masyarakat, politik uang yang dilakukan elite adalah rezeki yang datang kepada mereka sehingga tidak perlu ditolak. Jadi, menurut mereka, menerima uang dari calon kepala daerah adalah sesuatu yang wajar. Malah, praktik bagi-bagi uang dalam kampanye pilkada menjadi harapan masyarakat karena mereka memang butuh uang.
Patut disayangkan, adanya budaya seperti ini memang telah membuka ruang bagi calon kepala daerah untuk memanfaatkannya. Dengan mengandalkan uang yang banyak, calon kepala daerah berusaha membeli dukungan masyarakat. Karena itu, tidak mengherankan apabila demokrasi elektoral yang dilaksanakan diwarnai transaksi politik yang justru mengurangi kualitas pilkada.
Jelas harus ada upaya untuk mencegah praktik politik uang ini agar tidak berkembang, apalagi sengaja dibiarkan. Dengan hanya mengandalkan kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menghentikan praktik politik uang ini, jelas tidak akan efektif.
Sebenarnya, dalam jangka pendek, mencegah praktik politik uang dapat dilakukan dengan aktif menyosialisasikan ancaman sanksi pidana bagi penerima politik uang, serta pembatalan pencalonan bagi calon kepala daerah yang melakukannya. Sayangnya, sosialisasi mengenai sanksi pelaku politik uang yang diatur oleh UU No 10/2016 tentang Pilkada masih banyak yang belum diketahui oleh calon kepala daerah, juga masyarakat sebagai pemilih.
Bahkan, parpol yang diharapkan bisa mendiseminasikan aturan main dalam pilkada malah tidak begitu peduli dengan bahaya politik uang yang dilakukan oleh calon yang mereka usung. Sepertinya parpol lebih fokus memenangkan kandidatnya dengan cara apa pun, termasuk melalui politik uang. Perilaku seperti ini kian menegaskan rendahnya akuntabilitas partai politik sebagai pilar demokrasi dalam mengembangkan pilkada yang berkualitas.
Sementara solusi jangka panjang juga harus terus diupayakan oleh masyarakat kelas menengah yang menjadi penghubung relasi kekuasaan yang ada dalam pilkada. Kelas menengah harus terus menyuarakan bagaimana membangun relasi politik yang rasional di antara individu-individu, baik sebagai elite maupun massa. Hal ini dimaksudkan agar budaya klientelisme yang sudah jadi tradisi masyarakat secara berangsur-angsur dapat dikurangi.
Menghilangkan budaya klientelisme ini tidak saja mencegah praktik politik uang, tetapi juga mengurangi perilaku dominatif, manipulatif, dan koruptif kepala daerah setelah terpilih. Upaya ini memang tak mudah. Namun, sepanjang niat dari elite itu ada, politik uang sesungguhnya bisa dihentikan.
Asrinaldi A Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas
Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 26 Januari 2018