Ancaman bagi Kebebasan Pers

Pengadilan lagi-lagi telah menjadi ancaman serius dan "kuburan" bagi kebebasan pers di negeri ini. Setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan perdata PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) atas Koran Tempo pada 3 Juli 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 10 September 2008 juga memenangkan gugatan PT Asian Agri atas majalah Tempo. Kemenangan Asian Agri ini tidak hanya janggal karena dinilai mengabaikan banyak fakta hukum di persidangan, namun juga kontroversial, khususnya jika dikaitkan dengan semangat kebebasan pers.

Asian Agri menggugat berita majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007 yang menyebutkan dugaan penggelapan pajak oleh kelompok perusahaan bidang agrobisnis itu. Asian Agri menuntut Tempo membayar kerugian materiil Rp 500 juta dan imateriil Rp 5 miliar. Setelah melalui proses persidangan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Tempo telah menyerang kehormatan dan nama baik Sukanto Tanoto sebagai pemilik Asian Agri. Hakim juga menghukum Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi Tempo, membayar denda Rp 50 juta dan meminta maaf tiga hari berturut-turut di majalah Tempo, Koran Tempo, dan harian Kompas.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan berita Tempo merupakan penghakiman oleh pers (trial by the press). Tempo dianggap mengabaikan asas praduga tak bersalah karena menurunkan berita sebelum ada keputusan pengadilan yang mengikat, serta menganggap Tempo tak meladeni hak jawab Asian Agri secara memadai (Koran Tempo, 11 September 2008 ).

Kekalahan Tempo ini sesungguhnya sudah dapat diperkirakan jauh sebelum putusan dihasilkan. Hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, dari rekam jejak (track record) ketua majelis hakim yang mengadili perkara ini, Panusunan Harahap. Bukan suatu kebetulan, Panusunan adalah hakim yang pernah mengadili Tempo ketika digugat Tomy Winata pada 2004. Gugatan ini terkait dengan pemberitaan Tempo berjudul "Ada Tomy di Tenabang?". Tempo saat itu dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp 500 juta dan diwajibkan membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 300 ribu per hari apabila lalai melaksanakan putusan. Tempo juga harus menyatakan permintaan maaf di tiga koran, yaitu Media Indonesia, Koran Tempo, dan Warta Kota.

Kedua, kecenderungan pers selalu menjadi pihak yang dikalahkan ketika berhadapan dengan pengusaha di pengadilan. Pihak pengusaha saat ini lebih sering menggunakan cara melakukan kriminalisasi pers dan gugatan perdata kepada pers daripada menggunakan hak jawab atas pemberitaan yang dimuat. Mereka menilai, dengan cara ini, pers lebih mudah dibungkam.

Dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers, selama 2003-2008 sedikitnya 53 perkara pencemaran nama baik dan 108 gugatan perdata yang dialamatkan pada media pers. Dalam putusannya, mayoritas hakim pengadilan mengesampingkan Undang-Undang Pers dan mengadili berdasarkan hukum perdata dan hukum pidana. Pengadilan menganggap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sekadar mengatur hak jawab dan tidak mencakup semua sengketa perdata maupun delik pers.

Sesungguhnya ancaman kebebasan pers tidak hanya datang dari pengusaha, namun juga datang dari negara yang seharusnya memberikan perlindungan bagi kebebasan pers. Laporan Aliansi Jurnalis Indonesia 2008 bahkan menyebutkan bahwa insan pers saat ini menghadapi ancaman kekerasan tidak langsung yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dari kejaksaan sampai Mahkamah Agung.

Sederet perkara penuntutan, pelarangan terbit, dan penghukuman oleh pengadilan terjadi sepanjang Mei 2007-Mei 2008. Risang Bima Wiyaja (Radar Yogya), Dahri Uhum (tabloid Oposisi, Medan), majalah Time (Asia), dan Edy Sumarsono (tabloid Investigasi, Jakarta) adalah sederet nama yang dipaksa menjalani tuntutan dan putusan pemidanaan akibat pemberitaan pers. Mereka adalah korban kriminalisasi oleh negara justru pada saat Indonesia telah memiliki Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang "bersifat" lex specialis.

Putusan pengadilan yang "menghukum" pers dan insan pers, seperti yang juga dialami dalam perkara Tempo, pada satu sisi dapat dimaknai sebagai cermin ketidakpahaman hakim ihwal pekerjaan jurnalis dan fungsi pers serta terutama peran jurnalisme investigasi. Sedangkan pada sisi lain, menjadi sangat diragukan keberpihakan hakim terhadap kepentingan publik dan dukungan atas kebebasan pers di negeri ini.

Hakim tidak dapat memisahkan pemberitaan mengenai kepentingan publik, yang telah melalui proses ketat yang menjadi standar dalam praktek jurnalistik, dengan pemberitaan untuk menyerang kehormatan atau kepentingan individu. Seharusnya majelis hakim lebih membela kepentingan publik dan melindungi pers, yang telah berupaya membongkar kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat. Celakanya, kepentingan individu selalu dimenangkan hakim dengan mengabaikan kepentingan publik secara lebih luas.

Saat ini Tempo yang menjadi korban ketidakpahaman dan ketidakberpihakan institusi peradilan, khususnya hakim pengadilan, terhadap kedudukan dan kemerdekaan pers. Namun, di masa mendatang bukan mustahil hal yang sama akan juga terjadi pada media-media lain. Karena itu, vonis hakim yang dijatuhkan kepada Tempo harus dilihat dan disikapi sebagai permasalahan pers Indonesia secara keseluruhan.

Jika kebebasan media untuk menyebarkan informasi kepada publik dibungkam dengan putusan pengadilan sebagaimana telah terjadi, yang paling dirugikan sebenarnya bukan hanya kalangan media, tapi terutama sekali adalah publik yang sangat bergantung pada media massa dalam memperoleh informasi tentang kinerja pemerintahan dengan segala skandal dan penyelewengannya. Jika media telah dibatasi, masyarakat akan kehilangan sarana untuk mengontrol dan melakukan public scrutiny atas proses penyelenggaraan pemerintahan dengan berbagai bentuknya.

Dampak negatif lain yang timbul dari perkara Tempo ini adalah dapat mengendurkan upaya pers untuk mengungkap dan memberitakan penyimpangan yang dilakukan oleh pengusaha dan atau pengusaha yang telah merugikan negara. Pers tidak lagi dapat kritis, dan akan berpikir seribu kali untuk menginvestigasi atau membongkar praktek korupsi, pembalakan liar, maupun penggelapan pajak. Padahal harus diakui bahwa pers memiliki peran yang sangat penting dalam upaya membongkar praktek korupsi dan penyimpangan di negara paling korup di dunia ini.

Hal yang paling menakutkan adalah hakim-hakim di pengadilan lain akan menjadikan putusan perkara Asian Agri versus Tempo sebagai yurisprudensi (acuan) untuk mengancam dan membungkam pers. Berbahaya jika semua hakim di negeri ini bersikap seperti yang dilakukan oleh majelis hakim dalam perkara Tempo. Kepentingan publik selalu terinjak-injak, kebebasan pers terancam, bahkan dapat terkubur, dan semakin cepat negara ini menuju jurang kehancuran.

Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 17 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan