Amputasi atau Ampunan? Memberantas Korupsi di Indonesia

Tak satu pun orang atau lembaga yang menyimpulkan bahwa pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-Kalla) berhasil baik. Namun, harus jujur kita akui bahwa ada sedikit kemajuan yang diraih pemerintahan SBY-Kalla dalam upaya pencegahan korupsi baru.

Pertama, kita bisa melihat bahwa lingkungan kerja kabinet relatif lebih bersih dari korupsi. Menteri-menteri sekarang ini tidak ada yang disorot karena menggunakan jabatannya untuk korupsi atau bermain kucing-kucingan untuk menjual aset negara dan melelang jabatan-jabatan publik.

Kita mencatat pula kesungguhan presiden membuka jalan untuk membawa kasus korupsi ke pengadilan dengan segera memberikan izin pemeriksaan bagi pejabat yang diduga terkait dengan kasus korupsi.

Dan itu tak berhenti hanya sampai keluarnya izin, tetapi ditindaklanjuti sehingga banyak pejabat daerah (bupati, wali kota, gubernur, pimpinan DPRD) yang benar-benar menjadi terdakwa. Dulu berita semacam itu agak langka kita temui. Mau tak mau, ini memberikan efek jera dan efektif untuk menangkal munculnya korupsi-korupsi baru. Pejabat publik tampak lebih berhati-hati dalam mebelanjakan uang negara di berbagai lembaga pemerintahan.

Upaya pemerintah untuk membuat Perpu Pemberantasan Korupsi (yang kemudian mandek karena banyak ditentang) dan dukungannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi hingga berhasil memperoleh fatwa Mahkamah Agung untuk memblokir dan membuka rekening bank orang yang diduga melakukan korupsi juga dapat dicatat sebagai bagian dari sedikit kemajuan itu.

Keberhasilan dan Noda
Harus diakui pula, bersamaan dengan sedikit kemajuan tersebut, muncul ekses lain. Perintah mengungkap kasus korupsi di berbagai daerah dengan target tertentu ditengarai digunakan sebagian penegak hukum untuk melakukan korupsi baru. Yakni, memeras pejabat-pejabat di daerah dengan ancaman akan diproses hukum karena dugaan korupsi. Proses hukum itu tidak akan dilanjutkan jika si pejabat menyetorkan sejumlah uang atau menyatakan tidak akan maju sebagai calon di dalam pilkada untuk menyaingi orang tertentu. Ini tengara yang cukup kuat berdasar laporan, meski untuk membuktikan secara telanjang tidak mudah.

Jadi, kemajuan kecil yang dicapai adalah agak efektifnya upaya preventif (penangkalan) terhadap munculnya korupsi baru di lingkungan pemerintahan pada umumnya, dengan catatan, ada noda di sebagian kecil aparat (penegak hukum), berupa munculnya korupsi baru dalam bentuk pemerasan uang dan pemerasan politik.

Sedangkan kegagalannya yang paling terasa ialah tidak adanya kemajuan sama sekali untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar (kakap) yang bermunculan sejak awal reformasi seperti kasus BLBI, Bank Bali, Scorpion, Balongan, dan sebagainya. Apalagi, belakangan muncul kasus pelelangan gula ilegal yang juga diduga tak beres.

Jadi, meski harus diakui ada kemajuan, terutama untuk menangkal korupsi baru, namun secara umum upaya pemerintahan SBY-Kalla untuk memberantas korupsi dinilai kurang berhasil. Ini disebabkan tak tertanganinya kasus-kasus kakap yang pernah menggegerkan dan pernah dijanjikan untuk diprioritaskan penanganannya.

Kibijakan Radikal
Kegagalan memberantas korupsi, terutama kasus-kasus kakap warisan masa lalu, disebabkan kenyataan bahwa birokrasi atau aparat dan prosedur-prosedur penegakan hukum merupakan warisan Orde Baru yang semua lininya korup sehingga kasus-kasus korupsi yang kini diwariskan kepada kita menjadi seperti benang kusut.

Karena semua lini sudah korup, maka jika A harus membongkar kasus atau memeriksa B karena dugaan korupsi, maka B menunjuk C dan D yang juga pelaku korupsi, bahkan sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab.

Kemudian, C atau D balik menuding A sebagai orang yang pernah korupsi juga sehingga jika meneruskan proses hukum kasus korupsinya akan dilaporkan juga. A kemudian menjadi tidak berani melanjutkan pemeriksaan. Maka, banyak kasus yang dinyatakan tak cukup bukti, bahkan bisa diberi Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Di sini yang terjadi ialah situasi saling mengunci dan saling mengancam yang tak jarang pula disertai dengan penyuapan sehingga memperrumit keadaan yang menyebabkan upaya menyelesaikan kasus-kasus korupsi selalu menghadapi jalan buntu.

Melihat keadaan yang njlimet seperti itu, maka diperlukan semacam kebijakan yang radikal untuk menggunting benang kusut dan membabat belantara korupsi. Kebijakan radikal yang dimaksud adalah memutus hubungan secepatnya dengan kasus-kasus korupsi peninggalan masa lalu.

Tak mungkinlah pemerintah bisa menyelesaikan kasus-kasus korupsi peninggalan masa lalu jika situasinya saling ancam dan saling mengunci seperti sekarang ini. Keadaannya akan begini-begini terus, stagnan. Secara senda, sekalipun malaikat yang memimpin Indonesia, takkan bisa mengatasi korupsi tanpa memutus hubungan dengan kasus masa lalu.

Ada dua kebijakan radikal yang bisa ditawarkan. Pertama, kebijakan lustrasi nasional atau amputasi terhadap pejabat-pejabat, yakni memberhentikan dengan sebuah UU semua pejabat dan aparat penegak hukum yang pada akhir era Orde Baru telah menduduki jabatan, pangkat, dan umur tertentu. Setelah itu, diangkat pejabat-pejabat baru yang bersih dan berani untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi secepatnya. Di sebagian negara kawasan Amerika Latin, kebijakan lustrasi itu berhasil menurunkan indeks korupsi secara signifikan.

Kedua, kebijakan pengampunan atau pemutihan. Ini dipilih jika kebijakan lustrasi nasional tak bisa dilakukan, misalnya, karena hambatan atau penolakan dari internal pemerintah yang begitu kuat. Dengan kebijakan itu, semua kasus korupsi peninggalan masa lalu diampuni sehingga tidak lagi perlu proses hukum. Tentu saja, pengampunan ini disertai syarat-syarat tertentu, termasuk kemungkinan pengembalian kekayaan negara tanpa dipersoalkan lagi aspek pidananya.

Yang paling penting, setelah hari pengampunan itu, setiap tindak pidana korupsi diproses secara cepat dengan ancaman hukuman yang berat, termasuk hukuman mati di depan publik. Tindakan keras seperti yang dilakukan China, misalnya, yang pada beberapa tahun terakhir telah menghukum mati atau memenjarakan ribuan pejabat karena korupsi, ternyata efektif menurunkan angka korupsi sampai ke indeks yang jauh lebih kecil daripada sebelum 1998.

Kita mau pilih yang mana? Berputar-putar seperti sekarang tanpa bisa bergerak maju, melakukan kebijakan lustrasi (amputasi), atau membuat kebijakan pengampunan (pemutihan)? Tanpa radical departure, rasanya, tetap saja kita takkan berhasil.(Moh. Mahfud M.D., guru besar di beberapa universitas, wakil ketua umum DPP PKB)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 22 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan