Alternative Legal opinion: Kewenangan KPK Menangani Tindak Pidana BLBI
Penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan skandal korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta itu bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara.
Penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan skandal korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta itu bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara.
Penuntasan proses hukum kasus BLBI sejatinya menjadi tolak ukur serius atau tidaknya pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam kasus korupsi BLBI, jelas terlihat bahwa pemerintah setengah hati dalam penyelesaian kasus korupsi.
Langkah Kejaksaan Agung membentuk tim khusus penanganan BLBI yang beranggotakan 35 orang pada awalnya menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Penangangan difokuskan kepada penyerahan aset oleh obligor BLBI, yakni Bank Central Asia (BCA) dan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Aset yang semula dikatakan nilainya setara sejumlah utang pemegang saham ternyata saat diaudit nilainya jauh merosot.
Berdasarkan data BPK tahun 2006, dari kewajiban BLBI BCA sebesar Rp 52,7 triliun, yang baru dibayar adalah Rp 19,38 triliun (36,7%) dengan demikian potensi kerugian negara adalah sebesar Rp 33,3 triliun. Sedangkan kewajiban BLBI BDNI sebesar Rp 28,41 triliun, yang baru dilunasi Rp 4,92 triliun (17,4%) dan negara mengalami kerugian sebesar Rp 23,49 triliun.
Penyelidikan yang sudah dilakukan sejak 23 Juli 2007. Semula, ditargetkan selama tiga bulan untuk menuntaskan penyelidikan itu, kemudian diperpanjang lagi dua bulan, hingga akhir Desember 2007 dan kembali diperpanjang hingga akhir Februari 2008.
Hasil akhirnya sungguh mengecewakan, pada 29 Februari 2008 Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan kedua kasus yang diduga melibatkan Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim. Meskipun diakui adanya kerugian negara, namun kejaksaan tidak menemukan adanya unsur melawan hukum yang dilakukan.
Penghentian kasus BLBI tersebut juga diperburuk dengan tertangkapnya Ketua Tim BLBI Kejaksaan Agung, Jaksa Urip Tri Gunawan (Minggu, 2 Maret 2008) yang diduga menerima suap sebesar lebih dari RP 6 mliar dari orang yang dikenal dekat dengan Sjamsul Nursalim.
Atas kondisi carut marutnya penyelesaian kasus korupsi BLBI muncul beberapa alternatif penyelesaian. Salah satunya dorongan agar KPK mengambil alih kasus BLBI yang sebelumnya ditangani Kejaksaan dan Kepolisian. Menurut beberapa ahli hukum, KPK mempunyai kewenangan untuk mengambil alih BLBI, dan publik dari segala daerah terus menerus mendesak KPK mengambil alih BLBI.
Namun demikian desakan publik soal pengambilalihan kasus korupsi BLBI oleh KPK, sejauh ini belum direspon secara positif oleh KPK. Mayoritas pimpinan KPK justru masih berpandangan bahwa KPK tidak dapat mengambil alih kasus korupsi BLBI karena terjadi sebelum KPK terbentuk (tahun 2003). Apakah benar, KPK tidak dapat mengambil alih kasus korupsi BLBI sebelum KPK terentuk? Apakah benar ada persoalan retroaktif dalam dorongan pengambil alihan BLBI ini?
Untuk menjawab beberapa persoalan tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyusun