Aliran Dana Anggodo ke Pimpinan KPK Belum Terang

Tim Delapan telah memanggil sekaligus memeriksa sejumlah nama untuk memperjelas duduk perkara soal dugaan suap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, hingga kemarin tim belum menyusun kesimpulan final yang dapat disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tim yang diketuai Adnan Buyung Nasution itu kemarin mewawancarai mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Hari ini tim yang bertugas mengumpulkan fakta terkait kasus yang menimpa Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah itu menjadwalkan pemeriksaan sejumlah nama yang terlibat dalam rekaman Anggodo Widjojo. Mereka adalah Wisnu Subroto (mantan JAM Intelijen) dan Abdul Hakim Ritonga (mantan wakil jaksa agung).

Anggota Tim Delapan Anies Baswedan menegaskan, hasil wawancara sejumlah nama telah mampu mengurai benang kusut konflik KPK dengan Polri. Namun, ditanya tentang kesimpulan sementara, Anies masih merahasiakannya.

Sumber di internal Tim Delapan membeberkan, aliran dana ke pimpinan KPK belum terang. ''Yang terlihat (aliran uang) hanya ke Ari Muladi. Dari Ari ke pimpinan KPK itu masih sangat gelap,'' kata sumber yang enggan disebut namanya. Tim juga belum berhasil mengungkap peran Yulianto. ''Bagi kami, Yulianto itu setan gundul atau apa tidak penting. Sebab, kelihatannya (aliran uang) hanya sampai ke Ari,'' ujarnya.

Dia menegaskan, pembuktian kasus pidana tidak bisa berlandaskan keyakinan, tetapi harus sesuai fakta hukum. ''Ini tak seperti ilmu teologi, di mana yang dipelajari keyakinan,'' tambahnya. Tim juga mencurigai, jangan-jangan Yulianto adalah orangnya Anggodo. ''Bisa jadi uang balik ke Anggodo, tapi sasaran tembak Bibit dan Chandra. Soal ini perlu pendalaman pula," tambahnya.

Menurut dia, bukti yang diajukan polisi lemah. Karena itu, bila dipaksakan masuk ke pengadilan, dikhawatirkan hal tersebut menjadi blunder bagi kejaksaan. ''Ini harus sangat hati-hati,'' ungkapnya.

Sumber tersebut mengakui, dari petunjuk sementara disebutkan KPK, polisi, dan kejaksaan bermasalah. Itu terjadi mulai level pejabat menengah ke bawah. "Perilaku kayak begini terjadi di semua institusi," jelasnya. Salah satunya persoalan makelar kasus (markus). Dia mengungkapkan bagaimana seorang markus dapat mengumpulkan informasi dari KPK lalu menceritakannya kepada pengusaha. "Kalau semacam ini diceritakan, pasti para pengusaha ketakutan," ujar sumber itu. Hal semacam ini yang harus segera diselesaikan.

Rekomendasi yang akan dibawa ke meja SBY pagi ini sebenarnya sudah bisa ditebak arahnya. Misalnya, pernyataan Ketua TPF Adnan Buyung Nasution yang menilai masih banyak mata rantai yang hilang pada kasus yang melibatkan dua wakil ketua KPK nonaktif sebagai tersangka itu. Dengan masih adanya alur yang terputus, Buyung menilai kasus itu tak akan berguna bila diajukan ke pengadilan.

"Itu termasuk yang harus kita dalami lagi, di mana missing link-nya. Ini akan menjadi masalah. Apakah perkara yang masih misssing link dibawa ke pengadilan? Kalau ke pengadilan buat apa? Hanya buang waktu, tenaga, pikiran, dan mengecohkan masyarakat. Orangnya pun tersiksa jadi terdakwa," ujar Buyung sebelum pemeriksaan terhadap Antasari Azhar.

Anggota Tim Delapan, Todung Mulya Lubis, secara pribadi menilai, proses penyidikan terhadap Bibit dan Chandra seharusnya bisa dihentikan melalui dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Hal itu terutama karena melihat begitu besarnya gelombang reaksi masyarakat terhadap kasus tersebut. Hingga saat ini, kata Todung, tim masih mengumpulkan data dari pihak terkait. "Kasus ini seharusnya bisa di-SP3-kan. Atau, kalau tidak, Jaksa Agung bisa mengeluarkan SKPP, yaitu surat ketetapan penghentian penuntutan," kata Todung.

Namun, kata Todung, untuk sampai ke tahap itu, harus ada bukti-bukti dan temuan-temuan hingga bisa direkomendasikan. "Kami masih butuh informasi untuk sampai pada rekomendasi akhir. Besok (hari ini) itu baru rekomendasi awal," katanya.

Todung juga melihat, sampai saat ini gelombang reaksi masyarakat sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. "Di berbagai kota ada demo di mana-mana. Perlawanan online tak bisa diabaikan karena terlalu cepat dinamikanya dan mendapat dukungan luas," katanya. (git/rdl/fal/agm)

Sumber: Jawa Pos, 9 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan